Pada tahun 1962, McLuhan memprediksi bahwa akan hadir sebuah masa dibentuk oleh komunitas yang berkumpul karena perkembangan teknologi. Lalu, komunikasi informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat. Inilah kemudian yang dalam bukunya berjudul “Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man”, McLuhan menyebutnya sebagai konsep global village (desa global).
Meski teorinya sempat jadi kontroversi disepanjang tahun 70-an hingga tahun 1980, namun lahirnya internet di tahun 1989 seakan menjadi katalis atas metafor McLuhan. Revolusi industri 4.0 dengan lahirnya internet mampu mewujudkan digital citizens atau warga digital. Melalui perangkat digital seperti smartphone dan komputer, kini setiap orang bisa belajar, bekerja, dan berinteraksi tanpa ada batasan ruang dan waktu.
Sayangnya, percepatan teknologi ini berbarengan dengan kecepatan penularan wabah Coronavirus Disease (COVID-19). Sebagai informasi, berdasarkan data pemerintah yang dimuat pada laman covid19.go.id, hingga Kamis (8/5), pasien positif COVID-19 di Indonesia telah mencapai 13.112 orang. Dari jumlah tersebut, 943 di antaranya meninggal dunia dan 2.494 orang lainnya dinyatakan sembuh.
Merespon penyebaran COVID-19 yang semakin meluas, pemerintah menerbitkan PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Sekala Besar (PSBB). Prakteknya, masyarakat dihimbau untuk belajar, beribadah, dan bekerja dari rumah (work from home). Sekolah dan kampus ditutup, agar siswa/mahasiswa bisa belajar di rumah (distance learning). Bahkan, lembaga keagamaan (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang menganjurkan ibadah di rumah dan tidak ke masjid sementara waktu.
Hijrah Digital
Sebenarnya, sekuat dan semasif apapun COVID-19 berkembang, wabah ini tidak akan bisa merubah manusia sebagai makhluk sosial. Seperti yang diungkapkan Dr. Everett Kleinjan sebagaimana dikutip oleh Hafied Cangara (2005) bahwa “komunikasi sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti hal nya bernafas”. Artinya, sepanjang manusia itu ingin hidup, ia perlu berkomunikasi dengan manusia lainnya.
Namun kenyataannya, COVID-19 dan penerapan PSBB telah mendorong hadirnya realitas baru, yaitu dunia digital. Segala aspek kehidupan seperti politik, bisnis, dan pendidikan yang biasanya dilakukan secara face to face (tatap muka), kini harus hijrah (pindah) dengan metode online. Akibatnya populasi dunia maya (cyberspace) mengalami peningkatan, sebagai konsekuensi logis dari penggunaan akses internet.
Kita bisa melihat bagaimana saat ini banyak orang membagikan tangkapan layar kegiatan “teleconference” di medsosnya masing-masing. Umumnya, gambar atau video teleconference tersebut menunjukan kegiatan rapat, pengajian, proses pembelajaran, maupun kordinasi dengan teman organisasi. Melalui perangkat digital, kini setiap orang bisa berinteraksi tanpa ada batasan ruang dan waktu.
Kehadiran internet dengan konsep Information, Communication, Technologi (ICT) menjadi katalis agar masyarakat tetap bisa terkoneksi tanpa ada batasan ruang dan waktu. Rapat kenegaraan baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, kini dilakukan dengan memanfaatkan layanan pertemuan virtual. Keadaan ini disadari atau tidak, telah mengubah cara bertatanegara ke arah perspektif disruptif.
Untuk menghindari resiko penularan COVID-19, proses pembelajaran dilakukan secara jarak jauh (distance learning) dengan metode daring. Fasilitas pembelajaran jarak jauh seperti Whats App Group (WAG), Google classroom, dan aplikasi pembelajaran lainnya, digunakan sebagai pengganti ruang kelas antara guru dan murid. Hal ini mendorong setiap rumah menjadi “ruang guru” versi baru, lengkap dengan para orang tua yang mendadak menjadi asisten dosen atau asisten guru.
Bersamaan dengan itu, dengan bantuan teknologi internet bekerja bisa dilakukan dari manapun dan kapanpun (telecommuting). Bekerja tidak perlu datang secara fisik ke kantor atau pabrik, melainkan cukup melaksanakan tugas di rumahnya masing-masing (WFH).
Hal ini seperti ungkapan Alvin Toffler dalam “The Third Wave” (1980), bahwa perubahan masyarakat post-industrial akan menuju abad informasi dan teknologi, dimana proses pertukaran data informasi menjadi sebuah motif penggerak utama.
Pola kerja telecommuting atau WFH sendiri sudah diterapkan oleh industri sejak lama, tetapi kita tidak bisa menutup fakta bahwa kebijakan WFH belum bisa diterapkan oleh semua kalangan. Selalu ada titik kontras antara kecepatan perubahan digital yang tidak linier, dengan kepentingan kekuasaan yang kerap berstatus quo. Akibatnya, sebagian besar masyarakat masih dirundungi kehawatiran dalam mencari pekerjaan ditengah situasi pandemi.
Di sisi lain, banyaknya pengguna internet tidak serta merta menjamin “kedewasaan” dalam bermedia digital. Sebagaimana kajian James Curran et all, dalam “Misunderstanding the Internet” (2012), bahwa tidak ada ruang bebas nilai serta bebas kepentingan, termasuk jagat internet dan digital. Singkatnya, kejahatan digital seperti cybercrime, cyberbullying, cyberhoax, dan cyberporn, masih menjadi persoalan masyarakat digital saat ini.
Memaksimalkan Peran Digital
Berkaca dari kondisi tersebut, diperlukan suatu gerakan mengenai pemanfaatan teknologi dan media digital, terutama dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19. Dalam hal ini, ada tiga hal penting yang bisa kita maksimalkan.
Pertama, memaksimalkan teknologi digital sebagai sarana edukasi publik. Kita semua sadar bahwa kehadiran teknologi saat ini, telah menjadi salah satu diantara tiga sumber daya dasar (basic resource) selain potensi material dan energi. Oleh karena itu, teknologi digital harus kita manfaatkan untuk saling mengedukasi dengan konten yang lebih kreatif dan inovatif.
Kedua, menjamin partisipasi publik lewat teknologi digital. Andrzej Kaczmarczky (2010) berpandangan keberadaan digital/internet hakikatnya akan memberi ruang lebih besar bagi publik dalam keterlibatan perumusan kebijakan-kebijakan yang berorientasi publik. Dengan kata lain, dalam situasi COVID-19 ini ruang partisipasi dan keterlibatan masyarakat perlu diperluas areanya.
Dalam konteks ini, negara sepatutnya dapat merumuskan aturan yang adaptif dengan keberadaan digital sebagai instrumen penyampai aspirasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.
Hal ini dilakukan, demi mewujudkan iklim pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan. Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam menghadapi COVID-19, benar-benar tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Ketiga, bijak dalam bermedia digital. Kita sedang menghadapi pandemik di tengah kondisi banjir informasi (disrupsi) dalam kecamuk politik penuh intrik. Oleh karenanya, salah satu cara menyelamatkan diri ialah menggunakan media dengan cerdik dan bijak. Sehingga kita tidak terseret kebohongan informasi (hoax) dan tenggelam dalam ketakutan.
Pada ahirnya, perubahan-perubahan karena pandemi COVID-19 ini sudah ada di depan mata kita. Bila prakondisi ini telah mampu dipersiapkan, maka kita dapat bersiap menyongsong gegap gempita masyarakat digital. Tinggal PR kita adalah mendorong penggunaan teknologi digital ini lebih efektif, efisien, dan transparan.
Oleh: Dadan Rizwan Fauzi, S.Pd. / Ketua Umum Forum Intelektual Muda Nahdliyyin (FIMNA)
Email: [email protected]