Menjadi Jaksa Penulis, Mengapa Tidak?

Tri Apriyani | taufik e purwanto
Menjadi Jaksa Penulis, Mengapa Tidak?

Berdasarkan UU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2014, Jaksa merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut umum serta pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Meskipun terdapat banyak Jaksa yang berkualitas kinerjanya dalam melaksanakan tugas pokok fungsinya di bidang hukum, namun sangat sedikit masyarakat yang mengetahui sepak terjang para Jaksa, hal tersebut dikarenakan sangat jarang dipublikasikannya kegiatan yang telah dilaksanakan para Jaksa melalui media massa.

Selain itu, sangat jarangnya diterbitkannya pendapat Hukum para Jaksa dalam memberikan opini dari perspektif hukum terhadap kejadian yang sedang hangat di masyarakat, menyebabkan penilaian oleh masyarakat yang kurang bagus terhadap kinerja para Jaksa sebagai aparat penegak hukum.

Hal itu sejalan dengan kutipan Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Maka apabila pendapat hukum para Jaksa tidak diterbitkan di suatu media, maka kinerja Kejaksaan akan memudar dari benak masyarakat.

Tidak adanya Jaksa yang menonjol dalam memberikan pandangan hukum terhadap peristiwa di masyarakat dapat dimaklumi, mengingat adanya larangan mengirim tulisan atau artikel untuk dimuat di Surat Kabar/ Media Massa tanpa izin Jaksa Agung sebagaimana Surat Edaran Jaksa Agung nomor 5 Tahun 1984. Surat Edaran tersebut dipertegas pada tahun 2008, dengan adanya surat Jaksa Agung Muda Intelijen Nomor 778/D/L.2/04/2008 yang mengatur perihal yang sama.

Latar belakang dari terbitnya Surat Edaran pada tahun 1984 tersebut karena adanya kekhawatiran dari pimpinan Kejaksaan kala itu mengenai potensi atau opini yang dimuat dalam media massa yang akan merusak citra Kejaksaan. Adanya regulasi internal tersebut menghambat kreatifitas para Jaksa untuk menyalurkan pemikirannya melalui tulisan di media cetak lokal maupun nasional.

Padahal hampir seluruh Jaksa sudah akrab dengan jenis penulisan akademik dalam setiap pelaksanaan tupoksinya, seperti saat Jaksa Penuntut Umum menyusun kontruksi hukum dalam Surat dakwaan yang berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu (tempus) dan tempat (locus) tindak pidana dilakukan.

Kemudian dalam membuat Surat Tuntutan, Jaksa harus menguraikan pembuktian unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada Terdakwa berdasarkan fakta beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang.

Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara juga melakukan pemberian bantuan hukum, pertimbangan hukum dan tindakan hukum kepada negara atau pemerintah meliputi lembaga atau badan negara untuk menyelamatkan,

memulihkan kekayaan negara, menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara. Selain itu, Kejaksaan merupakan salah satu lembaga negara yang masuk dalam UU nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dalam UU tersebut tupoksi Kejaksaan melakukan Intelijen Penegakan Hukum (Intelijen Yustisia).

Menurut penulis, pelarangan para Jaksa untuk menuliskan pendapat di Media Massa sejatinya telah melanggar Amanat Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke empat Pasal 28 E Ayat (3), yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Merujuk pada UUD tersebut, setiap orang adalah seluruh penduduk Indonesia tak terkecuali insan Adhyaksa.

Pada era modernisasi, proses globalisasi mengakibatkan munculnya fenomena baru yang dapat berdampak positif seperti demokratisasi, tuntutan supremasi hukum, transparansi maupun akuntabilitas, sehingga seluruh instansi pemerintahan khususnya Kejaksaan dituntut untuk melakukan perubahan agar tak tergilas oleh jaman.

Banyaknya hoax tentang penegakan hukum yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka Kejaksaan harus memerangi dengan cara yang santun oleh yaitu menanggapinya dengan pendapat hukum melalui media massa.

Pemilihan Media Massa baik cetak maupun elektronik merupakan sarana yang efektif dalam menyampaikan informasi yang dapat membentuk opini dan mengubah gaya hidup masyarakat karena media massa merupakan pilar demokrasi yang keempat. Selain itu media massa khususnya media cetak memiliki hak jawab atas opini yang diberikan.

Dengan adanya paradigma baru supaya Kejaksaan bersentuhan langsung dengan masyarakat melalui gagasan yang disampaikan para Jaksa melalui media massa untuk memperkuat eksistensi dan membangun kepercayaan masyarakat (Public Trust), maka Jaksa Agung ST Burhanudin menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 05 Tahun 2020 tentang Penulisan pada Media Massa. Surat edaran ini mencabut seluruhnya Surat Edaran Tahun 1984 tentang pelarangan penulisan di media massa.

Hal tersebut menunjukkan arah kebijakan Jaksa Agung ST Burhanudin yang mendukung para Jaksa berpikir kritis melalui tulisan yang mengangkat isu penegakan hukum atau isu lain yang relevan, sebagaimana yang disampaikan Jaksa Agung melalui Video Conference Persatuan Jaksa Indonesia pada 14 Mei 2020, dalam kesempatan tersebut Jaksa Agung berpesan kepada seluruh insan Adhyaksa untuk menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan dengan alur yang sistematis sehingga mudah dipahami oleh masyarakat selaku pembaca agar membentuk pola perilaku masyarakat yang taat hukum.

Namun euphoria kebebasan Jaksa untuk berpendapat di Media Massa harus dibatasi agar tidak menjadi bumerang bagi Instansi Kejaksaan. Dalam surat edaran juga memberikan batasan supaya topik yang diangkat tetap memperhatikan arah kebijakan pimpinan Kejaksaan dan situasi kondisi sosial politik, untuk menghindari kontroversi di ruang publik.

Dengan adanya Surat Edaran ini, diharapkan banyak muncul bibit-bibit Jaksa insan adhyaksa berkualitas seperti Burhanudin Lopa (Jaksa Agung periode 6 Juni 2001-3 Juli 2001) yang menjadi Jaksa Agung yang paling dikenang oleh masyarakat baik dalam perilakunya maupun pendapat hukumnya yang dia tulis. Meskipun ia telah tiada, namun hasil pemikirannya akan terus abadi memberikan cahaya bagi penegakan hukum di negeri ini.

Penulis mengharapkan dengan dicabutnya Surat Edaran yang melarang Jaksa untuk menulis di Media Massa, menjadikan tumbuhnya semangat insan adhyaksa untuk mengutarakan pendapatnya melalui tulisan yang dasar hukumnya dapat dipertanggungjawabkan dan menunjukkan eksistensi Instansi Kejaksaan. Salam Adhyaksa.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak