Dunia sangat mengapresiasi dengan baik terhadap negara kita dalam konteks usaha menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia). Mulai dari Pemerintah yang aktif mengirimkan pasukan perdamaian dibawah misi PBB dan produktif meratifikasi instrumen penting dari hukum HAM internasional.
Selain itu, pemerintah juga memberikan perhatian yang serius pada kemajuan dan perlindungan HAM secara global. Sehingga keterlibatan aktif tersebut diganjar dengan terpilihnya Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB selama 5 (lima) periode (2006-2007, 2007-2010, 2011-2014, 2015-2017, 2020-2022).
Namun ironisnya, pemerintah kurang menunjukkan keseriusan dalam konteks penanganan HAM di tingkat nasional. Sudah hampir dua dasawarsa sejak berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang menjadi dasar hukum mengenai tata cara pelaksanaan acara pidana HAM.
Peraturan perundang-undangan ini berlaku sejak awal jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode pertama hingga sekarang. Akan tetapi jumlah penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat, tidak menunjukkan peningkatan penanganan yang signifikan.
Sejak diundangkannya UU Pengadilan HAM, terdapat 15 kasus pelanggaran HAM yang berat telah ditangani oleh Komnas Ham selaku penyelidik dan Jaksa Agung selaku penyidik sekaligus penuntut umum. Namun hanya tiga perkara yang naik sampai pada tahap penuntutan antara lain kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura tahun 2000.
Sementara sisanya sebanyak 12 perkara belum selesai, dengan rincian sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM terdapat 8 perkara, salah satunya Kasus Penembakan Misterius (Petrus) pada tahun 1982 sampai 1985. Sementara 4 perkara terjadi sesudah terbitnya UU Pengadilan HAM, salah satunya yang paling terkenal adalah peristiwa Paniai di Papua pada tahun 2014.
Dua belas perkara yang belum selesai tersebut masih dalam tahap Penyelidikan oleh Komnas HAM. Sebenarnya perkembangan hasil penyelidikan sudah di berikan Komnas HAM kepada Jaksa Agung selaku Penyidik, namun setelah dipelajari dan diteliti, masih dinyatakan belum lengkap dan tidak memenuhi syarat formil maupun materiil. Sehingga dilakukan pengembalian berkas hasil penyelidikan ke Komnas HAM, dengan petunjuk untuk dilengkapi.
Rendahnya kuantitas maupun kualitas penanganan perkara pelanggaran HAM yang berat, menunjukkan adanya beberapa kekurangan dalam pelaksanaan regulasi yang mengatur para pihak yang terkait dan harus segera dilakukan perbaikan.
Criminal Justice System
Sebagaimana dalam UU nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM.
Sementara itu, Jaksa Agung menjadi satu-satunya penyidik dan penuntut umum (dominus litis) yang berwenang menangani perkara HAM yang berat.
Meskipun dalam pelaksanaannya, Jaksa Agung dapat memberikan mandat kepada para Jaksa dengan mengangkat penyidik maupun penuntut umum ad hoc, untuk melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM yang berat, mengingat Jaksa adalah satu dan tak terpisahkan (een en ondelbaar).
Mengenai belum optimalnya pelaksanaan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan disebabkan karena belum terbentuknya Criminal Justice System pada penanganan pelanggaran HAM yang berat serta belum berjalannya komunikasi yang terintegrasi dengan baik antar penyelidik dengan penyidik sehingga menyebabkan bolak-baliknya laporan hasil penyelidikan dari Komnas HAM kepada Jaksa Agung.
Di satu sisi penyelidik Komnas HAM menyatakan penyelidikan perkara tersebut sudah terdapat bukti permulaan yang cukup, sementara disisi lain Jaksa Agung selaku penyidik menyatakan penyelidikan belum memenuhi dugaan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Dalam pandangan penulis, dalam proses penanganan perkara pelanggaran HAM yang berat, baik penyelidik maupun penyidik harus menghindari untuk mementingkan masing-masing institusi (ego sektoral).
Selain itu, seharusnya sejak awal proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM, telah dilakukan pendampingan secara aktif oleh penyidik Kejaksaan Agung untuk mengantisipasi kegagalan penyelidikan atau bolak-baliknya berkas penyelidikan.
Dengan adanya pendampingan tersebut, akan berimplikasi terhadap persamaan pandangan antar lembaga dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat. Sehingga, penegakan hukum menjadi tujuan bersama yang hendak dicapai.
Kemudian, perlu adanya penguatan terhadap kelembagaan Komnas HAM dan Kejaksaan untuk bisa independen melaksanakan tupoksinya dalam penanganan perkara HAM yang berat. Sehingga tidak terjadi intervensi dalam proses penyelidikan maupun penyidikan, yang dapat mencederai keadilan di masyarakat, mengingat perkara HAM yang berat, mayoritas pelakunya merupakan oknum pemerintah.
Kelemahan Pengadilan HAM Ad Hoc
Setelah penyidikan dinyatakan lengkap, maka perkara segera dilimpahkan oleh Jaksa Agung ke Pengadilan HAM Ad Hoc, yang selanjutnya dilakukan proses pembuktian oleh Penuntut Umum maupun pembelaan dari terdakwa, kemudian para hakim Ad Hoc melakukan pemeriksaan dan memutus perkara HAM yang berat tersebut berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di persidangan.
Namun dalam peraturan perundang-undangan, masih belum mengatur secara rinci mekanisme pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia. Sebagaimana dalam pasal 43 UU Pengadilan HAM, Pengadilan Ad Hoc ini dibentuk atas usul DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Sampai sekarang masih belum terdapat peraturan pelaksana terkait pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
Adanya campur tangan DPR dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, sebenarnya bertolak belakang dengan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam setiap putusannya.
Selain itu, turut andilnya DPR dalam pembentukan pengadilan HAM dikhawatirkan rawan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mengingat perkara pelanggaran HAM yang berat berkaitan dengan banyak kepentingan berbagai pihak.
Seyogyanya harus segera dibentuk Lembaga Pengadilan HAM Ad Hoc, yang langsung berada di bawah kewenangan Mahkamah Agung, sehingga penanganan perkara HAM yang berat dapat langsung dilimpahkan dari jaksa penuntut umum ke pengadilan, untuk selanjutnya segera diperiksa dan disidangkan.
Dengan adanya lembaga pengadilan HAM, tidak lagi perlu usulan oleh DPR untuk segera dibentuk pengadilan HAM ad hoc apabila terdapat dugaan perkara pelanggaran HAM yang berat. Karena untuk proses pembentukan pengadilan HAM saat ini, membutuhkan waktu yang tak pasti.
Selain itu, urgensi dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc adalah karena Indonesia merupakan negara hukum sehingga perkara HAM yang berat harus diselesaikan di peradilan.
Mengingat Mahkamah Konstitusi telah mancabut seluruhnya UU nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang merupakan upaya penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan. Jadi penyelesaian penanganan HAM yang berat harus diselesaikan di pengadilan demi menjamin kepastian hukum bagi semua pihak.
Kemudian Pemerintah juga harus meratifikasi Statuta Roma 1998 untuk menjamin hadirnya aspek keadilan bagi para korban HAM yang berat. Karena sistem pengadilan pidana Internasional atau ICC (International Criminal Court), mensyaratkan agar sistem hukum pidana di tingkat nasional dapat bekerja secara efektif melalui jalur pengadilan.Sehingga ICC merupakan harapan terakhir para korban HAM yang berat untuk mencari keadilan di tingkat internasional.
Semoga ini menjadi perhatian pemerintah, khususnya DPR selaku pembuat regulasi, Komnas HAM maupun Kejaksaan. Karena upaya penegakan pelanggaran HAM yang berat merupakan salah satu indikator terlaksananya pemerintahan yang baik (good governance) dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam menjunjung tinggi HAM setiap masyarakatnya.