Politik Klepon dan Cap Cemilan Tidak Islami

Tri Apriyani
Politik Klepon dan Cap Cemilan Tidak Islami
Kue Klepon. [Shutterstock]

Sejak kemarin jagad maya dihebohkan oleh berita tentang Klepon. Kudapan yang jadi favorit saya itu tiba-tiba menjadi headline di berbagai media massa dan media sosial. Katanya, kue mungil yang umumnya berwarna hijau dan bertabur parutan kelapa itu dicap "tidak Islami". Lalu saya bertanya dalam hati, yang mungkin juga jadi pertanyaan banyak orang: sejak kapan makanan dinilai dari aspek keagamaan?

Dari pertanyaan lalu timbullah rasa emosi, bukan jawaban. Ya, emosi yang timbul karena saya tidak habis pikir bagaimana proses berpikir seseorang hingga pernyataan atas klepon itu tercipta. Untunglah, sebelum energi saya terkuras oleh kutub negatif akibat emosi, saya mendapat pencerahan untuk membuat suatu tulisan mengenai hal ini. Ya anggap saja saya ini tengah mendapat logos seperti seorang filsuf Yunani zaman dahulu.

Terlintas di benak saya beberapa dugaan soal klepon tidak Islami ini. Pertama, ini adalah hasil kerja orang iseng yang tidak punya pekerjaan tetap, atau orang yang memang pekerjaan tetapnya membuat sensasi. Kedua, ini adalah satu bentuk "perang" baru antara kelompok pro-Arabisasi versus kelompok Islam moderat alias Islam Nusantara. Ketiga, ini adalah pengalihan isu. Artinya pemerintah adalah dalang dibalik semua ini. Entah apa motifnya. Bisa jadi terkait omnibus law, Covid-19, atau menjelang pilkada tahun 2020. Bisa jadi ada dugaan ke-4, atau ke-5. Anda bisa tambahkan sendiri.

Yang membuat saya emosi adalah kenapa Klepon yang harus dijadikan sebagai objek? Lebih jauh lagi, kenapa makanan yang dijadikan objek sensasi berbalut agama? Apakah tidak ada objek lain? Atau apakah sudah kehabisan ide atau gagasan? Akal sehat kita mengatakan bahwa makanan tidak mengenal agama. Sebaliknya agama-lah yang mengenal makanan.

Bahkan mengkategorisasikannya menjadi makanan halal dan makanan haram. Saya tidak tahu apakah ada kategorisasi selain yang dua itu. Yang jelas saya menolak makanan dijadikan sebagai objek perselisihan. Karena faktanya, makanan justru bisa mempersatukan dan menjadi alat diplomasi politik.

Mantan Presiden AS, Barack Obama, saat berkunjung ke Indonesia pada November 2010 silam, menyatakan rasa kangennya kepada makanan khas negeri ini yang dia nikmati saat kecil dulu seperti Nasi Goreng dan Bakso. Di tahun yang sama, saat menerima kunjungan Presiden Rusia, Dmitri Medvedev di Washington D.C., Obama mengajak Medvedev untuk makan bersama di Ray's Hell Burger, sambil membahas tentang isu-isu penting antar kedua negara adikuasa tersebut. Kedua peristiwa tersebut menjadi headline media massa.

Tidak hanya Obama, Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un pun menggunakan makanan sebagai alat diplomasi. Saat menghadiri pertemuan bilateral dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Istana Cheongwadae, Korea, Kim Jong-Un menyuguhkan naengmyeon, yaitu sejenis hidangan Mie dingin khas Korut.

Selain itu Kim juga menghibahkan jamur khas Korut yang hanya tumbuh di daerah gunung Chilbosan seberat 2 ton. Nilainya pun fantastis. Dilansir dari detik.com, nilai hadiah tersebut adalah Rp19,9 miliar. Hasilnya? Kesepakatan damai antara dua Korea yang tertuang dalam Deklarasi Panmunjeon di tahun 2018. Inilah yang disebut sebagai gastro diplomacy.

Dalam sejarah Islam pun dikisahkan jika Baginda Nabi Muhammad SAW pun menggunakan gastro diplomacy dalam dakwahnya. Pada periode Mekkah, Baginda Nabi pertama kali berdakwah dengan cara mengundang anggota keluarga dari Bani Hasyim untuk menghadiri sebuah jamuan makan. Lalu dalam jamuan tersebut, para anggota keluarga Bani Hasyim diajak untuk masuk Islam.

Makanan juga merupakan identitas suatu bangsa. Kita bisa melihat identitas atau kebudayaan suatu bangsa melalui kulinernya, seperti yang ada pada makanan tradisional. Misalnya, kudapan yang dimiliki oleh orang Jawa sangat mencerminkan kebudayaan lokal karena dari bahan-bahan yang digunakan, proses yang dilakukan, serta fungsi dari makanan itu merupakan hasil dari kebudayaan yang ada di Indonesia, khususnya Jawa (Ferdi Arifin:2017). Salah satu dari jenis kudapan tersebut adalah Klepon. Yang lainnya, saya kira Anda sudah tahu jadi tidak perlu saya sebutkan.

Kita juga mengenal rijsttafel, yaitu akulturasi budaya makan ala Eropa dan Nusantara, di mana berbagai macam hidangan disajikan di atas satu meja dan dinikmati bersama-sama. Ya bersama-sama, bukan sendirian. Indahnya berbagi itu ternyata bukan dari zaman now saja, tapi juga dari zaman old.

Dari uraian di atas kita bisa pahami bahwa makanan, apapun jenisnya, dari manapun asalnya, bukan sekedar alat penghilang lapar. Tetapi lebih dari itu.

Makanan adalah identitas, sekaligus budaya, dan anugerah Tuhan itu sendiri yang perlu untuk ditempatkan secara baik dan mulia. Bukan menjadi alat sensasi tanpa motif yang jelas. Apalagi sebagai alat pemecah-belah yang memperlawankan budaya Arab dan Nusantara.

Saya khawatir, jika hal seperti ini berulang, maka kita akan dapati "korban-korban" lainnya. Jangan kaget jika di masa mendatang kita akan menemukan meme yang "mengharamkan" nastar atau kastangel sebagai hidangan khas lebaran, karena dianggap kurang Islami jika dibandingkan kue khamir atau luqaimat.

Saya jelas akan menolak semua itu. Saya menolak politik klepon ini berlanjut episodenya. Saya tidak tega jika sampai melihat ada meme tentang kue putu, kue lupis, kue bugis, lapis legit, gemblong, lemper, semar mendhem, dan lain-lain, dengan cap tertentu. Tidak Islami-lah, tidak Kristiani-lah, atau cap-cap lainnya, karena semuanya enak menurut saya. Untuk urusan makanan, la syarkiya wa la gharbiya. Yang penting halal.

Oleh: Ryo Disastro / Pegiat literasi Revolusi Kesadaran

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak