Dengan lebih dari seratus ribu kasus konfirmasi positif, pandemi Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda akan segera berakhir. Pandemi ini memberikan efek domino pada semua aspek termasuk kesehatan, sosial, ekonomi dan keuangan. Dampak pandemi ini salah satunya menyebabkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang disusun pemerintah sebelum adanya pandemi Covid-19 sudah tidak relevan lagi dan memerlukan revisi.
Bulan April 2020 pemerintah melakukan revisi pertama APBN dengan diterbitkannya Perpres 54 tahun 2020. Pada bulan Juni 2020 pemerintah kembali mengeluarkan Perpres 72 tahun 2020 yang merupakan revisi kedua APBN 2020. Dalam revisi ini defisit APBN meningkat drastis dari sebelumnya 1.76% di APBN 2020 menjadi 5,07% di revisi pertama.
Pada revisi kedua defisit APBN semakin melebar menjadi 6,34% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan nilai Rp 1.039 triliun. Tingginya angka defisit disebabkan menurunnya penerimaan negara dari sisi pajak, bea cukai dan PNBP serta meningkatnya belanja yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19.
Ketentuan Defisit
Defisit terjadi bila jumlah pendapatan lebih kecil dari jumlah belanja. Defisit APBN merupakan selisih kurang antara pendapatan negara dan belanja negara pada tahun anggaran yang sama. Pada Undang-Undang no. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan dalam hal anggaran diperkirakan defisit batas maksimal adalah 3% dari PDB.
Tetapi dalam menghadapi keadaan krisis dan mengurangi dampak akibat pandemi Covid-19 pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Dalam peraturan tersebut pemerintah berwenang untuk menetapkan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan Covid-19 paling lama sampai tahun anggaran 2022. Untuk tahun anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi 3% dari PDB.
Memburuknya keadaan keuangan akibat penurunan aktivitas ekonomi di Indonesia menyebebkan pemerintah harus segera mengambil langkah luar biasa dibidang keuangan negara dalam rangka penyelamatan perekonomian. Belanja negara yang meningkat untuk penyelamatan kesehatan, pemulihan perekonomian masyarakat terdampak dan menjaga stabilitas sektor keuangan menyebabkan perlunya penyesuaian besaran defisit anggaran menjadi lebih dari 3%. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kenaikan defisit APBN ini akan terus dijaga dan dipantau perkembangannya.
Menutup Defisit APBN
Sesuai Undang-Undang Keuangan Negara pemerintah perlu menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit APBN. Pemerintah dapat memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan non-utang dan utang. Untuk pembiayaan non-utang pemerintah dapat menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL), Dana Abadi Pemerintah dan dana dari Badan Layanan Umum (BLU).
Sedangkan pembiayaan utang pemerintah didapatkan dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) melalui pasar yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) Konvensional dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Untuk pembiayaan defisit APBN ini pemerintah mencari sumber pembiayaan yang paling aman dengan biaya paling kecil sebelum mengambil sumber lain yang memiliki biaya dan risiko lebih tinggi.
Beberapa SBN telah diterbitkan pemerintah untuk memenuhi pembiayaan. Pada bulan April 2020 pemerintah menerbitkan Global Bond seri RI1030, RI1050 dan RI0470 yang diikuti dengan penerbitan ORI017 dibulan Juni. Dalam waktu dekat pemerintah berencana akan menerbitkan lagi tujuh SUN.
Oleh: Ema Lihdya Sari, Mahasiswa tugas belajar Politeknik Keuangan Negara STAN