Mengacu pada teori social contract yang diuraikan oleh ilmuwan politik klasik yakni Locke, Hobbes, dan Rouseau bahwa hadirnya negara pada dasarnya sebagai hasil kontrak yang dilakukan oleh masyarakat guna melindungi, menjamin hak asasi, menyejahterakan, dan memberikan rasa keamanan.
Social contract tersebut kemudian diturunkan menjadi sebuah sistem mekanisme kompetitif yakni pemilihan umum yang digunakan untuk memilih wakil-wakil mereka dan duduk di dalam negara atas nama rakyat. Memahami konsep tersebut berarti wakil-wakil rakyat yang terpilih idealnya bekerja sebagai mandataris rakyat, atas nama rakyat terlepas dari kepentingan apapun.
Hal ini sejalan dengan konsep demokrasi yang dilakukan oleh Abraham Lincoln yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat”.
Demokrasi selalu menempatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sehingga muncul konsep “Vox Populli Vox Dei” (suara rakyat suara Tuhan). Oleh karena itu begitu esensialnya kedudukan warga negara dalam negara demokrasi yang sebenarnya menunjukkan jika sehat kuatnya demokrasi dipengaruhi oleh kepercayaan publik.
Tidak ada satupun negara demokrasi di dunia yang kokoh tanpa ada partisipasi aktif dari warga negara. Konsekuensinya adalah keaktifan warga negara baik dalam partisipasi melalui pemilu, berdiskusi, berpendapat, mengkritik, ataupun kebebasan lainya menjadi ukuran konkret jika demokrasi dalam sebuah negara sedang berfungsi sebagaimana mestinya.
Demokrasi di Masa Pandemi
Wajah demokrasi nampaknya telah berubah dari waktu ke waktu. Tidak terkecuali perubahan wajah demokrasi dalam merespon persoalan pandemi Corona Virus Disease 19. Hadirnya pandemi virus yang berasal dari Kota Wuhan Hubei China ini nampaknya secara tidak langsung menunjukkan raut wajah demokrasi yang sejatinya.
Selama ini mungkin tanpa disadari bahwa dalam pelaksanaan sistem demokrasi yang telah berjalan banyak menyimpan konflik baik itu barter kepentingan, elit yang diuntungkan, dan kebobrokan sistem yang dibungkus oleh kotak Pandora. Namun pandemi ini memunculkan wajah baru demokrasi yang cenderung menempatkan warga negara tidaklah begitu esensial. Bagaimana suara publik hanya diakumulasi secara nominal dalam pemilu dan sebatas formalitas semata sehingga pada intinya ada kontestasi di layar panggung negara akan perebutan kepentingan semata.
Benarkah Keselamatan Warga Negara Hukum Tertinggi?
Demokrasi menjadi bagian dari sistem politik yang berusaha menempatkan warga negara tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek. Apapun alasanya suara mayoritas warga negara selama itu menyangkut hajat hidup banyak orang berarti itulah keputusan ideal yang dikehendaki warga negara. Konsep demokrasi menekankan pada “will of all” sehingga ketika konsep itu dikesampingkan maka memunculkan upaya pengingkaran konsep demokrasi yang telah disepakati.
Jati diri demokrasi di masa pandemi ini nampaknya perlu dipertanyakan kembali. Apakah konsep demokrasi di tengah krisis pandemi yang sedang kita alami menunjukkan bahwa demokrasi ini sedang baik-baik saja?
Jika publik ragu atas keadaan demokrasi di tengah krisis pandemi ini maka pertanyaanya menjadi “apakah pengabaian suara publik di tengah krisis pandemi ini hal yang lumrah dalam negara demokrasi?”.
Harus diakui bahwa krisis pandemi ini telah merubah wajah lini kehidupan berbangsa dan bernegara diberbagai sektor. Lebih jauh itu bahwa krisis pandemi ini juga merubah tatanan sistem politik yang semestinya berjalan. Walaupun demikian ada hal yang lebih penting dari pada itu semua, yakni berkaitan dengan keselamatan warga negara dari krisis pandemi tersebut.
Tatanan sistem politik berubah adalah hal yang dimaklumi karena bagaimanapun keadaanya negara memiliki tanggung jawab atas keselamatan warganya karena bekerja atas nama rakyat. Pengabaian keselamatan warga negara sama halnya menolak esensi jati diri demokrasi yang sesungguhnya.
Pemilu di Tengah Pandemi dan Perebutan Kepentingan
Pemilihan umum menjadi salah satu cara ataupun instrumen sebagai parameter dalam konsep demokrasi. Terlepas dari pemilu langsung maupun tidak, pemilu telah menjadi alat untuk memilih wakil-wakil rakyat yang dikehendaki untuk mewakilinya. Namun pernahkah dibayangkan jika pesta rakyat tersebut dilaksanakan di tengah bencana epidemik?
Tidak salah jika ada penafsiran bahwa terselenggaranya pemilu di tengah krisis pandemi seoalah-olah memaksakan yang seharusnya tidak dilakukan. Bahkan lebih liar lagi jika penyelenggaranan pemilu di tengah pandemi adalah bukti nyata adanya kepentingan dibalik kepentingan.
Pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pilkada telah menyepakati jika pesta demokrasi akan tetap digelar. Di sisi lain pandemi virus ini masih terus bergejolak dan bahkan sampai saat ini belum menunjukkan indikasi penurunan jumlah kasus. Artinya, kasus dari hari ke hari terus bertambah dan juga kematian akibat pandemi ini Indonesia termasuk menjadi negara yang dinilai gagal dalam menanggilangi pandemi ini.
Keadaan tersebut nampaknya tidak membuat aktor-aktor kebijakan pemilu memikirkan ulang kondisi keselamatan warga negara, tetapi justru lebih memikirkan mekaniasme dan prosesur pemilu yang akan digelar nanti saat pandemi.
Menggelar pemilihan umum di tengah gejolak pandemi yang sangat brutal sangat berisiko atas keselamatan warga negara. Negara-negara demokrasi yang telah berhasil melakukan pemilu di tengah pandemi tidak bisa menjadi contoh negara lainya termasuk Indonesia.
Hal tersebut karena mereka melakukan pesta demokrasi karena kasus pandemi dalam negara-negara tersebut melandai sementara Indonesia bersikukuh melakukan pemilu di saat terjadi peningkatan yang masih masih.
Berbagai elemen masyarakat sipil misalnya ada Muhammadiyah, NU, dan LSM lainya menyuarakan agar terjadi penundaan dari pemilu 9 Desember 2020 mendatang. Namun faktanya suara publik tidak didengar dan aktor kebijakan tetap pada keputusan untuk melakukan Pilkada mendatang.
Hal ini jika dipaksakan akan menciderai nilai-nilai demokrasi yang selama ini sudah terbangun dengan baik. Apabila suara mayoritas saja diabaikan lalu demokrasi seperti apa yang akan diciptakan?
Ada hal yang harus dirumuskan ulang jika pemilu dilaksanakan saat krisis pandemi ini bergejolak masif. Seberapa peka nilai demokrasi terhadap keselamatan jiwa warga negara adalah fokus utamanya. Sebenarnya demokrasi yang dikehendaki adalah demokrasi elit dan kepentingan atau rakyat?
Risiko pemilu di tengah pandemi sama halnya mengorbankan keselamatan warga negara dan hal tersebut menyimpang jauh dari demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Sudah semestinya penundaan wajib dilakukan menunggu kasus pandemi ini melandai sebagaimana negara-negara yang telah menyelenggarakan pemilu di saat pandemi.
Namun di depan layar negara yang dipertontonkan ke publik justru ngototnya aktor kebijakan dalam pelaksanaan pemilu. Hal tersebut jelas ketika suara publik tidak diindahkan lantas inilah demokrasi sejatinya di saat wabah pandemi ini melanda.