Ojek Online: Pekerja Rentan dalam Industri Transportasi Online

Tri Apriyani | Ahmad Sholikin
Ojek Online: Pekerja Rentan dalam Industri Transportasi Online
Ilustrasi ojek online. (Suara.com/Ema Rohimah)

Go-Jek dan Grab merupakan dua penyedia jasa transportasi online terbesar di Indonesia. Go-Jek begitu mendominasi pasar Indonesia sehingga valuasinya kini telah mendekati Grab yang telah beroperasi di delapan Negara (Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja). Grab juga telah mengakuisisi Uber di Asia Tenggara.

Hasil studi perusahaan penyedia data finansial dan perangkat lunak Pitchbook yang dikutip CNBC, valuasi PT Go-Jek Indonesia kini mencapai US$ 5 miliar atau setara Rp70 triliun. Nilai itu hanya selisih US$ 1 miliar atau Rp14 triliun dibanding Grab, yang nilainya US$ 6 miliar atau sekitar Rp84 triliun (katadata.co.id).

Keduanya pun masuk dalam daftar 30 perusahaan privat yang memiliki valuasi tertinggi berkat dukungan oleh Venture Capital (VC). Grab menempati posisi 22 dan Go-Jek di urutan ke 27 di antara perusahaan-perusahaan yang belum melantai di bursa tersebut.

Di Indonesia, kemunculan transportasi online diiringi dengan diskursus bahwa para "mitra" atau pekerja dapat sejahtera dan bebas menentukan waktu kerjanya. Namun, realitanya, para pekerja dikendalikan oleh aplikasi terkait mekanisme kerja mereka.

Berbagai aksi juga beberapa kali dilancarkan oleh pekerja transportasi online ini karena merasa ada yang salah dan tidak adil dalam proses kerja mereka. Para pengemudi ojek online (roda dua) dan pengemudi taksi online (roda empat) juga pernah melakukan aksi besar menuntut perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap mereka, untuk mendapatkan jam kerja layak, jaminan kesehatan, dan upah layak.

Beberapa waktu yang lalu, para pengemudi online roda empat yang tergabung dalam Front Indonesia melakukan aksi mogok makan di kantor Grab, Yogyakarta untuk menuntut keadilan. Front Independent Driver Online Indonesia menggelar aksi mogok makan pada Selasa (22/10/2019) dan masih berlanjut hingga hari kelima Sabtu (26/10/2019) di depan kantor Grab Yogyakarta.

Mereka tetap bertahan sampai tuntutan dipenuhi oleh pihak manajemen. Terdapat tujuh tuntutan di antaranya: 1). Hapuskan Sistem Skema yang Diskriminatif dan Tidak Transparan; 2). Buka Fitur Grabcar di Area Bandara; 3). Hapuskan Pungli Rp2.000/trip atau Hilangkan Potongan 20%; 4). Tuntaskan Pemutakhiran Data/Open Suspen Driver Real Individu; 5). Transparansi Aturan Putus Mitra agar Lebih Fair; 6). Hapuskan Potongan Tambahan Dari Koperasi; 7). Pemerataan Order Untuk Semua Mitra.

Dari beberapa tuntutan diatas, maka muncul berbagai pertanyaan kritis seperti  apakah para pekerja transportasi online benar-benar dapat mengatur jam kerja mereka dengan merdeka? Apakah para pekerja transportasi online mendapatkan upah layak, jam kerja 8 jam/hari, jaminan kesehatan, jaminan hari tua? Sebenarnya kondisi struktural apa dan akar masalah apa yang melatarbelakangi protes para ‘mitra’ aplikator ini ? Apa implikasinya?

Sampai saat ini yang terjadi seolah-olah Pemerintah Indonesia terbius dengan perkembangan yang terjadi, lupa memikirkan nasib mitra kerja yang semakin lama mengalami expolitasi. Skema kerja baru berbasis kemitraan ini menihilkan perlindungan kerja seperti halnya buruh/karyawan yang medapatkan kepastian jam kerja, upah minimum, perjanjian kontrak kerja yang jelas, jaminan kecelakaan kerja, dll.

Sistem kemitraan tidak mendapatkan hal tersebut sama sekali, disisi lain pemerintah sama sekali belum mengatur aplikasi yang ada sehingga secara anarkis aplikasi membuat skema yang berorientasi profit tanpa memikirkan sisi keadilan dan kemanusiaan.

Sistem Skema yang Diskriminatif dan Tidak Transparan

Skema merujuk pada sistem aplikasi yang bekaitan dengan perjalanan pengantaran penumpang/ trip dan insentif atau bonus. Bonus akan diperoleh setiap driver ketika mencapai jumlah trip tertentu. Biasanya, semakin banyak jumlah trip yag dilakukan, maka semakin besar pula bonusnya.

Contoh kasus di Jogja sendiri terdiri dari beberapa skema insertif (bonus), diantaranya 17 trip dengan bonus Rp260.000, kemudian 14 trip Rp200.000, 12 trip sebesar 120.000, 11 trip bonus Rp80.000, ada juga yang 8 trip Rp45.000.

Skemanya acak dan berpindah sendiri sesuai kehendak dari aplikasi. Problemnya, selama ini baik Grab dan Go-Jek membuat skema bonus yang berbeda-beda antara satu driver dengan yang lain. Sehingga menimbulkan distribusi order yang tidak merata, ada yang mendapatkan order selalu tinggi ada pula yaang sangat rendah padahal seringkali di tempat yang sama.

Hal ini menimbulkan diskriminasi antara satu driver dengan yang lain. Ketidakadilanlah yang ditampakkan secara terang-terangan diperlihatkan oleh Grab dan Go-Jek pada para mitranya.

Pemutakhiran Data

Aplikasi banyak membuat aturan yang dalam prakteknya membebani driver online. Hal tersebut berimplikasi pada driver yang terkena pelanggaran bahkan putus mitra. Parahnya, keputusannya dilakukan secara sepihak dari Grab dan Go-Jek. Padahal fakta dilapangan memperlihatkan fakta yang miris, dikarenakan masih banyak driver yang mencicil mobil.

Driver yang sudah putus mitra tidak memiliki pilihan banyak, ada yang akhirnya terpaksa meminjam/membeli akun. Pemutahiran data merupakan jawaban, dengan kembali menampung mitra lama dengan perjanjian yang baru sebagai mitra Grab dan Go-Jek. Mengembalikan akun yang real dengan komitmen baru.

Pemutusan Mitra Sepihak

Konsep mitra kerja dari aplikasi daring termasuk Grab dan Go-Jek menambah masalah tersendiri, dikarenakan driver sebagai mitra tidak mendaptkan hak-hak sebagaaimana buruh/karyawan. Hak seperti kepastiaan UMR, mekanisme pemecatan yang jelas, ganti kerugian dalam kecelakaan kerja sama sekali tidak dimiliki oleh para draiver online. Hal yang paling kentara dan dirasakan menjadi masalah mendesak driver online adalah adanya putus mitra sepihak dari Grab dan Go-Jek.

Jangankan untuk mendapatkan pesangon, bahkan mendapatkan penjelasan yang rasional tentang alasan putus mitra seringkali tidak dilakukan. Selain itu standarisasi tentang putus mitra juga tidak jelas, bersifat karet tidak pernah terbuka dan trasparan.

Gamifikasi dalam Industri Trasportasi Online

Sehingga yang muncul dalam sistem industri transportasi online ini adalah fenomena gamifikasi. Ada dua jenis gamifikasi yang tepat digunakan untuk melihat fenomena kemitraan industri transportasi online dengan mitranya (pengemudi).

Gamifikasi pertama merujuk pada “penggunaan cara berpikir game dan mekanik game untuk memperkuat hubungan dengan pengguna dan menyelesaikan masalah” (Dale, 2014). Istilah gamifikasi yang pertama ini dikenal sebagai “enterprise gamification”.

Model gamifikasi ini sering digunakan untuk membuat para pekerja menjadi lebih aktif dengan menciptakan seperangkat aturan yang terdiri dari misi-misi, poin, dan ketercapaian tertentu, agar pekerja merasakan bahwa aturan perusahaan seperti misi dalam game yang harus diselesaikan secara sukacita seperti sedang bermain game (Dale, 2014).

Gamifikasi pada level pertama digunakan meningkatkan motivasi bekerja dari para driver ojek online ini. Hal ini menyebabkan banyak digunakannya model gamifikasi ini dalam ekonomi berbasis digital. Dalam kasus Go-Jek dan Grab, penggunaan sistem poin dan target harian merupakan bentuk dari gamifikasi (Nastiti 2017). Namun, bukan berarti bahwa “gamifikasi” ini tidak menimbulkan permasalahan.

Definisi “gamifikasi” yang kedua, mengikuti analisis dari Nastiti (2017), adalah “labour process as a game” (Burawoy 1979). Gamifikasi yang kedua ini merujuk pada proses dimana untuk menyesuaikan diri dengan peraturan mengikat dari perusahaan, maka buruh membuat seperangkat aturannya sendiri (biasanya berupa target pribadi) agar bisa memotivasi diri dan mengurangi stres yang dialaminya.

Pembuatan target pribadi ini dapat menciptakan kepuasan sesaat yang dapat memacu buruh untuk bekerja lebih demi mencapai target berikutnya. Kepuasaan sesaat inilah yang disebut sebagai “reflective satisfaction” di mana kepuasan dicapai melalui refleksi pribadi dari buruh terhadap peraturan yang dikenakan kepadanya (Burawoy 1979). Dalam kasus gamifikasi yang pertama, proses “gamifikasi” yang kedua ini menjadi tujuan utama dari diterapkannya model “gamifikasi” yang pertama.

Dengan menjadikan segala peraturan yang ada dalam bentuk poin, misi, target, ataupun yang lainnya, maka kontrol ketat dari perusahaan terhadap pekerjanya menjadi semakin natural. Pola eksploitasi yang terjadi pun menjadi tidak terlihat (Nastiti, 2017). Dalam kasus Go-Jek dan Grab aturan-aturan seperti standar kualifikasi, target harian, dan penentuan tarif sebenarnya mengaburkan posisi mitra pengemudinya sebagai “kontraktor independen”.

Alih-alih independen, justru para mitra menjadi buruh dengan tidak adanya jaminan karena tidak diatur dalam Drivers Contract yang menjadi perangkat “permainan” antara Go-Jek dan Grab dengan mitranya. Selain itu, tidak jelasnya posisi perusahaan platform Go-Jek dan Grab ini, apakah sebagai perusahaan teknologi atau transportasi, serta digunakannya terma “mitra” alih-alih “buruh”, menyebabkan tidak adanya payung hukum yang melindungi para “kontraktor independen” ini. Dengan tidak adanya payung hukum ini juga menyebabkan kerugian di pihak konsumen karena tidak ada jaminan yang jelas siapa yang harus bertanggung jawab dengan kemungkinan kesalahan yang ada (Arthurs 2018; Tucker 2018).

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak