Pandemi Covid-19 yang sedang melanda Indonesia sekarang ini tidak bisa lagi dianggap sepele. Tak hanya berdampak buruk terhadap bidang kesehatan, tatanan perekonomian negara juga merasakan dan mengalami hal yang sama. Sebagai contoh, banyak investor asing yang sudah bersiap untuk angkat kaki dari Indonesia demi menghindari dampak buruk dari pandemi yang sedang terjadi.
Selain itu, ancaman resesi juga terus menghantui pikiran seluruh masyarakat Indonesia dan membuat sebagian orang sulit tidur. Menanggapi hal tersebut, pemerintah tak tanggung-tanggung menerbitkan berbagai macam peraturan atau undang-undang guna meminimalisasi dampak buruk yang mungkin timbul.
Salah satu hal yang menjadi fokus pemerintah dalam pemulihan kondisi ekonomi adalah dengan meng-upgrade fitur-fitur yang saat ini ada di dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Setidaknya terdapat dua peraturan pemerintah dan satu bab dalam undang-undang yang diproyeksikan dapat memperbaiki dan menambah fitur baru KEK.
Di antaranya adalah PP No. 1/2020 tentang Penyelenggaraan Khawasan Ekonomi Khusus, PP No. 12/2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan KEK, dan Bab IX UU Ciptaker. Namun, UU Ciptaker paling banyak menuai kontroversi dibanding yang lain.
Area yang menjadi Kawasan Ekonomi Khusus akan memperoleh perlakuan spesial dari pemerintah untuk menjalankan fungsi perekonomiannya. Fasilitas, izin lingkungan, dan kemudahan para pelaku usaha adalah diantara perlakuan spesial yang diberikan oleh pemerintah.
Misalnya, dalam hal perizinan lingkungan, UU Ciptaker mengganti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) menjadi hanya persetujuan lingkungan. Sebagai informasi, persetujuan lingkungan merupakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat.
Pada sektor pendidikan, seluruh perizinan harus dilakukan sesuai aturan Izin Berusaha. Hal ini dikarenakan Indonesia sudah terikat dengan persetujuan mengenai GATT (General Agreement on Tariffs and Trade).
Namun, fitur baru yang ditawarkan pemerintah dalam KEK tidak sepenuhnya sejalan dengan pemikiran masyarakat. Adanya peraturan baru tersebut semakin menegaskan kebiasaan atau budaya buruk pemerintahan Indonesia dimana ganti pemerintah berarti ganti kebijakan.
Praktik ganti pemerintah ganti kebijakan sangat tidak menguntungkan di sektor manapun. Adanya kebijakan baru mengharuskan segala macam hal untuk beradaptasi lagi dari awal. Hal tersebut akan memperlambat atau bahkan menghambat proyek yang sedang dikerjakan. Apalagi kebanyakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lebih condong mementingkan kepentingan partai atau kelompoknya sendiri.
Kekhawatiran mengenai proyeksi jangka panjang pun selalu menghantui masyarakat. Lingkungan mungkin menjadi konsiderasi utama masyarakat dalam penerapan aturan atau izin baru KEK. Penghapusan amdal dikhawatirkan bisa memperburuk kondisi lingkungan.
Terlebih lagi, pada sektor pendidikan, masuknya klaster pendidikan dalam UU Ciptaker juga semakin menekankan praktik cari untung. Pasal ‘menyelundup’ itu ditakutkan masyarakat akan membuat sekolah semakin mahal. Dalam kata lain, pendidikan berpeluang untuk dikomersialisasikan.
Memang benar, pemerintah membuat aturan-aturan baru tersebut dengan tujuan untuk mempermudah izin usaha yang bisa mendongkrak kondisi ekonomi negara. Namun, jangka panjang dari peraturan tersebut masih belum begitu jelas bagi masyarakat.
Disamping itu, pemerintah juga terlalu terburu-buru seolah-olah seperti sedang mengejar setoran dalam mengesahkan undang-undang. Kurangnya sosialisasi membuat banyak masyarakat belum paham betul tentang peraturan baru tersebut. Apalagi ditambah dengan banyaknya berita simpang siur dan hoax.
Komersialisasi Pendidikan
Banyak kalangan merasa tidak puas ketika RUU Ciptaker telah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Terutama pada bidang pendidikan, sejumlah orang merasa seperti dibohongi oleh pemangku kepentingan dengan lolosnya beberapa pasal ‘menyelundup’ yang disebut akan memperbaiki kualitas pendidikan.
Sebelumya, DPR mengatakan akan mencabut klaster pendidikan dalam UU Ciptaker. Namun, salah satu anggota badan legislatif tersebut, Ledia Hanifa Amalia, menjelaskan bahwa klaster pendidikan tetap masuk dalam undang-undang dikarenakan Indonesia sudah terikat dengan GATT.
Dalam UU Ciptaker, perizinan dalam sektor pendidikan dapat dilakukan sesuai aturan Izin Berusaha yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Di lain sisi, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 menjelaskan bahwa lembaga yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba.
Lantas, dua peraturan tersebut saling bertolakbelakang satu sama lain. Sejumlah masyarakat pun mengkhawatirkan apabila pendidikan di Kawasan Ekonomi Khusus hanya akan digunakan sebagai praktik cari untung. Aturan tersebut juga akan membuat pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau.
Kekhawatiran tersebut muncul bukan tanpa alasan. Sebelum klaster pendidikan dijadikan sebagai badan usaha, setidaknya hanya 40% dari orang-orang yang berusia 18-23 tahun memperoleh akses terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
Selain itu, pemerintah menyebut bahwa aturan Izin Berusaha dalam UU Ciptaker tersebut hanya berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus. Hal tersebut bepotensi akan menimbulkan ketimpangan pendidikan dengan daerah selain KEK. Anak-anak yang tinggal di KEK harusnya dinaungi dengan aturan yang sama mengingat mereka juga merupakan putra-putri bangsa.
Dengan adanya aturan ‘spesial’ ini, beberapa pelaku pendidikan dapat terkena imbas buruknya. Sekolah asing akan semakin mudah beroperasi tanpa mengikuti standar nasional yang diterapkan oleh pemerintah. Alhasil, akan tiba masanya dimana guru lokal hanya mendapat secuil dari uang yang mereka gali di negara kita ini.
UU Ciptaker dalam klaster pendidikan di Kawasan Ekonomi Khusus ini bisa menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan merugikan banyak khalayak. Mulai dari masyarakat hingga instansi pendidikan, tak dapat dipungkiri lagi mereka akan menghadapi situasi tersebut.
Pengujian Ulang
Pasal ‘menyelundup’ dalam UU Ciptaker yang tak lama telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dinilai sangat membahayakan, utamanya pada sektor pendidikan dalam Kawasan Ekonomi Khusus seperti yang sudah dijelaskan. Hal ini menuai amarah publik yang menilai bahwa DPR tidak konsisten dalam membuat kebijakan.
Memang, Indonesia sudah terikat dengan peraturan atau persetujuan GATT yang membuat para pemangku kebijakan tetap memasukkan pasal tersebut kedalam UU Ciptaker. Namun, apakah tidak ada alternatif lain yang sekiranya bisa tidak menimbulkan penafsiran negatif dari masyarakat? Oleh karena itu, perlu adanya pengujian ulang materi undang-undang khususnya mengenai pasal ‘menyelundup’ ini.
Faktanya, wakil ketua DPR menyebut bahwa Kawasan Ekonomi Khusus itu pasti berbicara mengenai bisnis atau ekonomi yang isinya orang-orang punya duit sehingga komersialisasi pasti ada. Pendidikan tentu bersifat nirlaba, tetapi tidak dalam KEK. Hal tersebut sangat bertentangan dengan UU tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Seolah-olah para elit saat ini sedang menggadaikan nasib bangsanya hanya demi pamor.
Mereka menyebut KEK berisi orang-orang kaya yang mana sebagai investor. Namun, bagaimana dengan masyarakat setempat yang notabenenya jauh dari peradaban sebelum wilayahnya dijadikan KEK? Apabila pendidikan dikomersialisasikan, harga pasti akan naik. Harga yang naik akan susah dijangkau oleh masyarakat. Akibatnya, akan terjadi diskriminasi baik siswa maupun guru di daerah tersebut.
Pengujian materi sangat diperlukan guna memperbaiki keadaan. Negara perlu mempertimbangkan masyarakatnya, dan masyarakat perlu mendukung negaranya. Hal tersebut bisa saja terjadi ketika kedua pihak merasa sama sama diuntungkan. Dengan melihat berbagai macam kerugian yang mungkin timbul, memang masyarakat seperti didiskrimnasi sendiri oleh negaranya.