Hubungan Jepang-Indonesia merupakan fenomena menarik dalam hubungan internasional untuk dikaji lebih lanjut. Di bidang ekonomi, ada keintiman yang terjalin di antara keduanya. Di bidang politik, memasuki pertengahan paruh pertama abad kedua puluh, terjadi pemutusan hubungan di antara keduanya.
Memasuki tahun 1940-an, perpisahan keduanya berujung pada perang. Kemudian Indonesia menjadi koloni Jepang. Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, ada kebencian umum terhadap Jepang, tetapi pada tahun 1951, tuntutan ganti rugi perang mulai muncul.
Hubungan Indonesia dan Jepang terjalin sejak VOC (Verenijde of Indische Company) berkuasa di Bumi Nusantara. Sebagai kemitraan dagang terpenting di Asia, pada saat itu VOC berdagang dengan kerajaan Jepang. Berbeda dengan negara Eropa lain yang kesulitan, bahkan tidak bisa membuka perdagangan dengan Jepang, sebenarnya VOC memiliki tempat perdagangan khusus di Jepang. Tempat pedagang VOC berada di sebuah pulau bernama Deshima.
Dinamika pembangunan terus berlanjut. Kebijakan pintu tertutup Jepang yang mengisolasi negara ini dibuka pada tahun 1853. Setelah armada angkatan laut Amerika yang dipimpin oleh Komodor Perry menginginkan perdagangan dan juga mengancam Jepang.
Pintu terbuka bagi negara-negara Barat untuk berkembang secara ekonomi dan teknologi. Jepang menyadari kemajuan teknologi Barat. Oleh karena itu, Jepang menyadari perlunya pendidikan dan keterbukaan yang lebih modern dan terbuka. Maka ketika pemerintahan Meiji melakukan perubahan mendasar pada tahun 1868, Jepang memulai kehidupan yang modern dan maju. Restorasi Meiji menandai dimulainya industrialisasi dan modernisasi di Jepang.
Kemajuan di Jepang menimbulkan gejolak tersendiri di negara yang secara geografis terdiri dari rangkaian pulau. Kehidupan sosial industrial menciptakan ketidaksetaraan antara mereka yang memilikinya dan tidak. Antara yang terhormat secara feodal, dan yang terpelajar yang tercerahkan. Mobilitas sosial terjadi dan perubahan sosial tidak bisa dihindari.
Orang Jepang yang bertualang di luar negerinya memang tidak sedikit. Jumlahnya terus bertambah setiap tahun. Dari 2.800 tahun 1907, menjadi 36.600 tahun 1917, dan terus meningkat. Dari sini lah Kerjasama Indonesia dan Jepang terus meningkat. Utamanya di sector otomotif.
Sebenarnya, pada awalanya Presiden Soeharto enggan bekerja sama dengan Jepang. Beliau lebih memilih meningkatkan otomotif dalam negeri. Namun, pada tahun 1970an pemerintah Indoneisa mencanangkan program KBNS. Dan disinilah lahirnya Toyota Kijang mulai di pasarkan.
Toyota Kijang sendiri tidak lepas dari dorongan pemerintah untuk mengembangkan Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana (KBNS) di tahun 1970-an. KBNS merupakan kendaraan multiguna dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Kemudian nama "Kijang" dipilih untuk menggambarkan kelincahannya.
Generasi Pertama 1977 - 1980: Kijang Buaya Setahun kemudian, orang mulai melihat kegunaan lain dari Kijang, yaitu untuk mengantar keluarga. Fenomena ini terekam oleh sejumlah carroseries dengan membuat bodi minibus Kijang. Masyarakat menerimanya dengan baik karena Kijang memiliki kabin yang lapang serta hadirnya kap mesin (mesin depan) sehingga memberikan rasa aman.
Dari sinilah legenda Kijang sebagai mobil keluarga dimulai. Ciri khas generasi pertama yang masih diingat hingga saat ini adalah pintunya yang tidak disertai jendela, melainkan terbuat dari terpal atau plastik. Selain itu, keberadaan kap mesin atau hidung juga menjadi daya tarik tersendiri karena saat itu kendaraan KBNS lainnya belum memiliki kap mesin.
Selain ciri-ciri tersebut, Kijang Generasi Pertama memiliki nama panggilan yang cukup unik yaitu Kijang Buaya. Konon julukan ini muncul karena struktur tudung yang tumpang tindih dengan sisi badan sehingga ketika dibuka mirip dengan buaya yang menganga.
Generasi ini menggunakan mesin Corolla 3K 1.200 cc yang dikenal "bandel". Presiden Suharto tersenyum saat memegang kemudi mobil "kotak sabun" di tangannya. Usahakan Sutrisno, yang masih menjadi pembantunya, berada di tengah barisan depan.
Momen Soeharto dan Try diabadikan pada pertengahan tahun 1977 saat sama-sama menjajal Toyota Kijang Generasi I. Masyarakat umum sering menyebut mobil tersebut sebagai "Kijang Buaya".
Toyota Kijang hanyalah salah satu mobil produksi Grup Astra yang akan menjadikan Astra sebagai raja industri otomotif di Indonesia dengan pangsa pasar di atas 50 persen. James Luhulima menceritakan dalam bukunya History of Cars and the History of Car Presence in this Country (2012: 119) dari awal mula Toyota Kijang.
Sebelum Kijang diluncurkan pada 9 Juni 1977, 43 tahun yang lalu hari ini, dua jenis kendaraan lainnya didatangkan langsung dari Jepang oleh Toyota Motor Corporation - pelanggan Jepang yang menjadi mitra Astra di Indonesia. Namun, saat itu Soeharto mendorong tumbuhnya industri dalam negeri yang dicanangkan Kementerian Perindustrian, sehingga kedua mobil tersebut tidak dipamerkan di arena Pekan Raya Jakarta.
Soeharto telah memberlakukan larangan impor total atas mobil, terutama sedan. Sebagai imbalannya, Soeharto menawarkan insentif bagi kendaraan niaga dengan mendirikan industri kendaraan niaga lokal dengan harga terjangkau atau melalui Kendaraan Niaga Sederhana (BUV) atau yang disebut "mobil murah".
“Kedua BVU CBU (Completely Built Up) tidak dipamerkan karena bertentangan dengan semangat lokalisasi yang dicanangkan divisi industri,” (Luhulima 2012:122) Politik Soeharto ditangkap oleh William Soeryadjaya, pendiri Astra. Kelahiran Toyota Kijang sebagai jawabannya.
Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy dalam Ehrenmann: Life, Spirit and Wisdom William Soeryadjaya (2012: 142) menggambarkan William sebagai pebisnis ulet. “Misalnya ketika pemerintahan Orde Baru membuat Repelita I yang berfokus pada pertanian, William berpikir jauh ke depan,” kata Paul A. Lapian, teman dari adik bungsu William, Benjamin. Dia ingin punya mobil dan motor nasional."
Bahkan sebelum 1960-an, Toyota Kijang tidak mudah merebut hati konsumen di Indonesia. Tahun 1970-an akrab dengan mobil-mobil Eropa yang dikenal tangguh. Awalnya, mobil Jepang kerap dibenci para "kerupuk kaleng" yang memikat peminat di Indonesia.
Generasi Kedua 1981-1986 adalah seri lanjutan dalam Kerjasama Indonesia Jepang ini. Mobil Kijang generasi kedua ini muncul sekitar tahun 1981 yang dikenal dengan nama “Kijang Doyok”. Konon nama ini diambil dari salah satu komik terkenal di era tersebut.
Kijang generasi kedua merupakan facelift atau penyempurnaan dari generasi pertama, namun tetap memiliki desain yang hamper mirip dengan generasi pertama. Namun, ada perubahan pada gril depan dan permukaan pintu yang mirip bodi mobil. Keberadaan engsel pintu sudah rapi dan bagian dalam serta jendelanya sudah menggunakan kaca. Kijang generasi kedua ini juga telah diperkenalkan sebagai mobil MPV tidak hanya sebagai pikap.
Kijang generasi kedua ini mengalami ubahan lebih besar dengan kapasitas 1,3 L (1.290 cc) I4 4K bensin dan 1,5 L (1.486 cc) I4 5K bensin. Dalam catatan yang ada, Kijang Doyok mampu terjual lebih dari 100.000 unit dalam kurun waktu lima tahun. Ya, seperti diketahui, saat itu selain sebagai mobil keluarga juga banyak digunakan sebagai angkutan umum.
Toyota Kijang KF20 mulai dijual pada tahun 1981. Bentuk model ini tidak terlalu berbeda dengan model KF10, akan tetapi mengalami beberapa perubahan, di antaranya adalah peningkatan kapasitas silinder mesin dari 100 cc menjadi 1300 cc, kemudian kapasitas silindernya pun semakin besar, ditingkatkan lagi sebesar 200 cc menjadi 1.500 cc.
Meski mobil ini disebut-sebut telah mengalami banyak perubahan, namun tetap memiliki bentuk yang tidak jauh berbeda dengan model KF10. Lampu mobil masih bulat di kanan dan kiri depan serta gril masih simpel dengan tulisan TOYOTA di depan. Garis-garis pada kap mesin masih sederhana dan curam.
Toyota Kijang KF20 ini akrab dengan julukan “Doyok” (istilah yang diambil dari sebuah iklan paku TL pada era Pos Kota) sehingga dikenal juga dengan sebutan “Kijang Doyok”. Pintunya lebih manis dengan kaca dan engselnya tidak lagi seperti engsel pintu rumah dan sudah dilengkapi kunci. Perjalanan mobil tersebut diiringi dengan perkembangan baru seperti perbaikan transmisi dan differential serta peningkatan brake booster pada tahun 1983.
Pada tahun 1984 terjadi perubahan gril dan bumper, termasuk penggunaan boks lampu. Lampu sein yang tadinya masih ada di bumper depan di awal produksi kini naik ke gril yang mengapit tulisan TOYOTA. Hingga tahun 1983, permintaan publik akan model ini tetap tinggi. Hingga akhirnya Toyota melakukan ubahan pada mesinnya, lahirlah mesin berkode 5K berkapasitas 1.500 cc, namun diklaim tetap menjaga konsumsi bahan bakar sesuai permintaan pasar Indonesia.
Toyota Kijang KF20 juga menghadirkan dua macam mobil yang dilakukan oleh perusahaan karoseri yang ditunjuk oleh Astra, antara lain: Toyota Kijang Family: minibus 3 pintu (2 di depan dan 1 di kiri) dengan tambahan bagasi di samping. Bagian belakang sebenarnya adalah bukaan pada dudukan plat nomor.
Toyota Kijang Commando: minibus 4 pintu (dengan pintu belakang tipe ambulans terbelah dua di kedua sisi), dengan jok belakang saling berhadapan. Mobil ini dapat memuat 8 penumpang. Trah ini berlanjut sampai Kijang KF42.
Sumber:
- Luhulima, James (2012). Sejarah Mobil & Kisah Kehadiran Mobil di Negeri Ini. Jakarta: Kompas.
- Hidayat, Arief (1985-11-11). "Corona EX-Saloon '86". Mobil & Motor (dalam bahasa Indonesia). Vol. XV no. 10. PT Inscore Indonesia.
- B.J., Zulkifli (1984-01-01). "Loncatan Kijang" (Kijang climbs). Motor80 (dalam bahasa Indonesian). Vol. IV no. 1. PT Blora Mulya.