Tragedi kemanusiaan yang paling umum adalah setelah perang, seperti kemiskinan, meningkatnya angka kriminalitas, kelaparan di mana-mana, hancurnya infrastruktur dan sebagainya, hingga yang paling parah dalam konteks perang dunia dua adalah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.
Radiasi dari nuklir ini menyebabkan banyaknya kecacatan lahir, korban meninggal dalam jumlah besar, serta hilangnya sumber daya manusia yang berarti. Oleh karena kerusakan, kejahatan, dan tragedy tersebut.
Protoko Geneva ada untuk menanggunglangi kejadian-kejadian dan peristiwa tersebut. Ada berberapa hal yang sangat ril dalam pelaksanaan tersebut, terutama dalam bidang medis dan Kesehatan, serta logistik.
Sekutu waktu menjalani perang, banyak medis menyelamatkan korban sehingga menghindari korban lebih banyak, lalu bantuan makanan dan dana dari negara-negara sekutu untuk negara terjajah, penduduk lokal, maupun bekas negara yang kalah perang itu sendiri.
Selama Perang Dunia II, pemerintah Amerika Serikat memperluas perannya dalam bantuan kemanusiaan dan rehabilitasi. Ia juga menegaskan kendali atas banyak lembaga sukarela yang merupakan ciri khas pengalaman Amerika dalam bantuan kemanusiaan.
Undang-undang kenetralan tahun 1939 membutuhkan informasi rinci dari organisasi yang terlibat dalam aktivitas dengan negara yang berperang. Organisasi filantropi yang terlibat dalam kegiatan luar negeri, termasuk organisasi bantuan, harus mendapat izin dari Departemen Luar Negeri.
Departemen tersebut menolak untuk memberikan bantuan bantuan bagi para pengungsi di negara-negara yang diduduki Poros. Batasan ini, tentu saja, berlanjut setelah Amerika Serikat memasuki perang.
Terlepas dari upaya Herbert Hoover, yang mengorganisir Komite Pangan untuk Demokrasi Kecil untuk memberikan bantuan sesuai dengan CRB dalam Perang Dunia I, Presiden Franklin D.Roosevelt menolak untuk memberikan bantuan ke negara-negara yang diduduki Jerman dengan alasan bahwa ini akan membantu Jerman.
Selain pembiayaan pemerintah dan kerja sama dari angkatan laut dan tentara, ARC menghabiskan lebih dari $ 6 juta untuk memberikan bantuan kepada tawanan perang dengan paket makanan mingguan untuk tawanan perang Amerika dan paket bulanan untuk banyak tawanan perang Sekutu. Persediaan lain, termasuk pakaian, perlengkapan mandi, dan obat-obatan, juga dikirim.
Komite Palang Merah Internasional juga melakukan inspeksi untuk memastikan otoritas kamp mematuhi ketentuan Konvensi Jenewa.
Standar tidak merata di berbagai kamp dan dari waktu ke waktu, tetapi mengingat kesulitan perang, jelaslah bahwa Konvensi Jenewa dan kegiatan Palang Merah memastikan perlakuan yang manusiawi bagi tawanan perang negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut.
Sayangnya, karena Uni Soviet belum menandatangani Konvensi Jenewa, tawanan perangnya diperlakukan dengan buruk oleh Jerman, dan tawanan pasukan Soviet juga menghadapi kondisi yang keras dan perlakuan brutal.
Kebanyakan tawanan perbekalan bantuan perang pergi ke tawanan di Eropa. Beberapa pejabat Palang Merah Internasional diizinkan untuk memeriksa tahanan kamp perang Jepang di beberapa bagian Filipina dan Jepang, tetapi inspektur tidak diizinkan di sebagian besar kamp di Asia.
Pejabat Jepang mengizinkan pengiriman terbatas persediaan bantuan, tetapi tidak secara teratur, dan beberapa persediaan bantuan ada di Vladivostok sampai akhir perang, ketika mereka akhirnya didistribusikan kepada tahanan yang dibebaskan.
Pengadilan Nuremberg dilakukan setelah perang dunia dua berakhir untuk mengadili penjahat-penjahat perang, baik dari Poros, maupun berberapa pasukan sekutu yang terlibat dalam pemberontakan, pengkhianatan, ataupun melakukan desersi.
Tetapi yang terpenting dalam pengadilan ini juga adalah penegakan keadilan dan juga niatan kerja sama antara negara-negara yang berhasil selamat dari tragedi perang dunia dua untuk membuat dunia yang lebih baik.
Adapun juga bantuan langsung dari sekutu berupa makanan, uang, dan logistik lainnya untuk memperbaiki kelayakan hidup yang hancur akibat perang.
Daftar Rujukan:
- Banatvala, N., & Zwi, A. B. (2000). Public health and humanitarian interventions: developing the evidence base. Bmj, 321(7253), 101-105.
- Reinisch, J. (2008). Introduction: Relief in the aftermath of war.
- Grossmann, A. (2012). Remapping relief and rescue: Flight, displacement, and international aid for Jewish refugees during World War II. New German Critique, 39(3 (117)), 61-79.
- Den Hertog, J. (2010). The Commission for Relief in Belgium and the Political Diplomatic History of the First World War. Diplomacy & Statecraft, 21(4), 593-613.
- Weinberg, G. L. (1994). A world at arms: A global history of World War II. Cambridge University Press.