Dilema Etika Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam PILKADA

Tri Apriyani | Andini Melia Fi
Dilema Etika Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam PILKADA
Ilustrasi ASN

Di indonesia, Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung telah berlangsung sejak tahun 2005. Hal itu didasarkan pada pasal UU No. 32 Tahun 2004 dan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara Demokratis”(Ade Kosasih,2017:37-46). Kata “Demokratis” tersebut dapat diartikan bahwa setiap masyarakat mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri dalam Pilkada.

Pilkada harus dilaksanakan dengan mengutamakan prinsip kejujuran, transparansi dan kehati-hatian karena jika tidak, hal tersebut dapat memicu pemanfaatan birokrasi oleh kelompok tertentu demi kepentingan politiknya. Oleh karena itu, netralitas ASN sangat diperlukan untuk menjamin berjalannya Pilkada secara Langsung, Umum, Bebas Rahasia, dan Adil (LUBERJURDIL).

Namun, pada kenyataannya, hingga saat ini persoalan netralitas ASN masih belum terselesaikan dengan baik.  Padahal menurut Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan Pasal 12, seorang ASN harus profesional, bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan atau partai politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran etika netralitas ASN karena berbagai macam faktor.

Netralitas ASN

ASN memiliki asas netralitas yang sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 sebagai upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh intervensi politik, ASN dilarang untuk berpihak dalam segala bentuk pengaruh manapun dan dilarang memihak kepada kepentingan siapapun. Selain itu juga, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 ASN dilarang mencalonkan diri sebagai anggota maupun pengurus partai politik dengan tujuan untuk menjaga keutuhan dan persatuan ASN, serta agar seluruh ASN dapat memfokuskan pikiran, tenaga dan waktunya untuk melayani masyarakat Indonesia.

Hal yang harus dilakukan seorang ASN dalam menjaga netralitasnya terutama di masa pilkada ini adalah ASN harus menjaga kerahasiaan pilihannya tanpa bertanya dan memberi informasi kepada siapapun, ASN juga tidak boleh mengikuti kampanye, mendukung calon pasangan tertentu melalui media sosial dan berbagai kegiatan lainnya yang dapat diindikasikan mendukung satu pasangan calon tertentu. Namun pada kenyataannya, terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan ASN selama masa Pilkada serentak.

Data Pelanggaran Netralitas ASN pada PILKADA 2020
Data Pelanggaran Netralitas ASN pada PILKADA 2020


Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) tertanggal 26 November 2020 terdapat 1005 kasus netralitas ASN yang dilaporkan. Jumlah tersebut menunjukan masih tingginya tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh ASN di masa Pilkada serentak tahun 2020. Lantas apa saja faktor pendorong maraknya pelanggaran netralitas ASN di masa Pilkada?

Menurut hasil survei Badan Pengkajian dan Pengembangan Sistem KASN 2018, faktor penyebab terbesar pelanggaran netralitas ASN adalah adanya motif untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan atau materi yang dimiliki saat ini dengan persentase sebesar 43,4%. Angka tersebut menyebutkan bahwa ASN kita masih mencari aman dengan segala cara untuk mempertahankan posisi yang dimilikinya saat ini.

Disusul di urutan kedua dengan persentase 15,45 yaitu adanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Faktor inilah yang seringkali menimbulkan dilema etika yang dirasakan oleh ASN. Pada posisi ini ASN harus berpegang teguh pada prinsip netralitas yang dimilikinya tetapi di satu sisi lainnya ada keluarga yang membutuhkan bantuan. Hal tersebut yang menyebabkan banyaknya pelanggaran netralitas ASN.

Etika terapan

Etika terapan merupakan sebuah konsep etika khusus yang berlaku dalam suatu bidang yang jika dikaitkan dalam pembahasan ini menyangkut tentang etika profesi ASN. Konsep etika tersebut  salah satunya diterapkan melalui kode etik dan kode perilaku ASN.

Jika dilihat dari kacamata etika terapan dalam bidang etika profesi, ASN sebagai bagian dari abdi negara sudah seharusnya mengedepankan netralitas mereka dalam Pilkada karena netralitas merupakan sebuah ketentuan hukum sekaligus kode etik dan kode perilaku yang harus mereka jalani atas profesi mereka.  Kode etik dan kode perilaku ASN pada saat ini masih mengacu pada PP 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil serta PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Dwiputrianti, S., Dewi. A.F., Destiasona, S., Hutomo, N. & Juniarto, R., 2019).

Kode etik ASN sendiri meliputi etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama ASN. Jika para ASN tidak berlaku netral, maka itu sama saja mereka melanggar hukum, melanggar nilai-nilai organisasi publik itu sendiri, sekaligus merupakan tindakan yang tidak profesional karena melanggar kode etik dan kode perilaku mereka sebagai ASN.

Karena, dalam mewujudkan cita-cita negara, integritas dan netralitas merupakan salah satu modal yang penting agar hal tersebut dapat terwujud. Jika ASN mampu bersikap netral dan memiliki integritas yang kuat, maka mereka akan kokoh sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh pihak luar, akan berlaku netral dan adil pada masyarakat, yang pada akhirnya akan menghasilkan pelayanan yang baik bagi masyarakat.

Memang pada kenyataannya menjaga integritas dan netralitas sangat tidak mudah, apalagi pada masa-masa Pilkada. Akan banyak sekali tantangan dan dilema yang dihadapi ASN dalam menjaga integritas dan netralitasnya.

Dilema tersebut umumnya merupakan pertentangan atas nilai yang dipegangnya sebagai individu dengan kewajibannya sebagai ASN yang tetap harus bersikap netral. Selain itu, ASN bisa saja menghadapi dilema antara dapat menduduki jabatan yang lebih tinggi, tetapi harus mengalami pertentangan hati nurani karena mengabaikan nilai integritasnya. Namun, dilema tersebut tetap tidak dapat dijadikan alasan untuk dapat melanggar netralitas mereka.

ASN tersebut tetap harus mengikuti standar etika yang berlaku dalam kode perilaku meskipun hal tersebut bertentangan dengan nilai yang ia pegang diluar profesinya. Karena kode etik sendiri berfungsi agar dapat menumbuhkan kesadaran moral pejabat atas kedudukan yang diperoleh dari negara atas nama rakyat. Kesadaran pejabat akan menempatkan kewajiban atas nama pemerintah di atas kepentingan-kepentingan karir dan kedudukan.

Kode etik juga memberikan pegawai negeri sipil rasa tanggung jawab karena mencerminkan profesinya sebagai pelayan publik (Gilman, 2005). Hal tersebut menunjukan bahwa ASN juga sudah seharusnya memiliki kesadaran masing-masing akan pentingnya netralitas mereka karena hal itu merupakan tanggung jawab dan juga kewajiban yang sudah terpatri dalam diri mereka sebagai abdi negara.
 
Berbagai pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN dalam Pilkada mencerminkan bahwa masih banyak ASN yang mengesampingkan nilai dasar, kode etik, dan juga kode perilaku mereka, tidak memiliki integritas yang kuat sehingga mementingkan kepentingan dirinya sendiri maupun suatu golongan, tidak mencerminkan asas keadilan, dan yang lebih parahnya lagi tidak menjalankan sikap anti-korupsi yang dimana nilai-nilai tersebut sangat bertentangan dengan cita-cita dari ASN sebagai aparatur dan abdi negara.

Efektivitas penerapan netralitas ASN

Berdasarkan data dari BKN terkait dengan pelanggaran netralitas ASN yang berjumlah 1005 kasus, terlihat bahwa masih banyak kasus yang terjadi sehingga diperlukan penegakan hukum yang tegas. Penegakan netralitas ASN, pada kenyataannya dapat dibilang susah-susah gampang karena hal ini menyangkut kesadaran dari pribadi masing-masing sehingga sulit untuk dilakukan pengawasan yang optimal. Penanganan penegakan netralitas ASN sendiri saat ini  ditangani oleh dua Lembaga yakni Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Karena pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN bermacam-macam, penegakan netralitas ASN tidak bisa dilakukan secara parsial. Harus terdapat konektivitas dan sinergitas seluruh elemen yakni antara Bawaslu, KASN, Ombudsman, Kemendagri, LPSK, dan lain-lain.  Perlu adanya sistem penanganan yang terintegrasi sebagai wujud keseriusan dari penegakan netralitas ASN ini.

Proses pengawasan dan penegakan hukumnya pun harus terdapat jaminan di dalamnya untuk menghindari campur tangan pihak yang tak diinginkan serta hasil yang diinginkan yakni ASN yang netral dan berkurangnya pelanggaran dapat tercapai.

Netralitas ASN akan lebih mudah diwujudkan seiring dengan keefektifan implementasi reformasi birokrasi. Dikutip dari menpan.go.id, Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia aparatur.

Reformasi birokrasi ini dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata Kelola good governance, sehingga sistem pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan selaras. Dengan adanya reformasi birokrasi sehingga menciptakan sumber daya aparatur yang baik, maka akan mudah mengatasi masalah netralitas ASN itu sendiri karena salah satu poin yang menyangkut sumber daya aparatur dalam reformasi birokrasi adalah terkait dengan integritas dan kejujuran dimana hal tersebut berhubungan dengan netralitas ASN.

Dalam melaksanakan tugasnya di bidang pengawasan dan pengendalian, BKN mengembangkan salah satu aplikasi bernama Whistle Blowing System (WBS-BKN). Whistle Blowing System sendiri merupakan Sarana pelaporan bagi kalangan internal dan masyarakat untuk melaporkan adanya perilaku atau tindakan yang melanggar Kode Etik dan Kode Perilaku yang dilakukan oleh ASN.

Hal-hal yang dapat ditempuh untuk setidaknya dapat memicu penegakan netralitas ASN diantaranya adalah dengan memberikan akses kemudahan masyarakat untuk melapor dengan jaminan keamanan/perlindungan hukum. Selain itu, dapat juga dengan penguatan jangkauan Pendidikan pemilih dan sosialisasi kepemiluan dengan melibatkan kelompok masyarakat dari berbagai latar/basis, sosialisasi dengan melibatkan berbagai latar/basis dilakukan sehingga masyarakat merasa dekat dan yakin terhadap pemilu yang LUBERJURDIL. Lalu, untuk sanksinya dapat juga dengan menggunakan pendekatan sanksi administrative ketimbang pemidaan karena sanksi administratif lebih cepat prosesnya dan dapat langsung dilakukan oleh pejabat administrasi tanpa menunggu putusan pengadilan.

Referensi:

  • BKN, H. (2020). Sebanyak 1005 ASN Dilaporkan Melanggar Netralitas. Jakarta: BKN (Badan Kepegawaian Negara).
  • Dwiputrianti, S., Dewi. A.F., Destiasona, S., Hutomo, N. & Juniarto, R. (2019). BEST PRACTICES INTERNALISASI KODE ETIK DAN KODE PERILAKU PEGAWAI ASN. Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem-Komisi Aparatur Sipil Negara.
  • Kosasih, A. (2017). MENAKAR PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SECARA DEMOKRATIS. Jurnal Pemerintahan dan Politik IslamVol. 2, No. 1 , 37-46.
  • NOPYANDRI. (14). PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM PERSPEKTIF UUD 1945. JURNAL ILMU HUKUM VOLUME 2 NO. 2 .
  • Nugroho, H. (2012). DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL UNTUK MEMAHAMI DINAMIKA SOSIAL-POLITIK DI INDONESIA. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 , 1-15.
  • Sutrisno. (2019). Prinsip Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 , 521 - 543.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak