Meninjau UU ITE dengan Teori Gustav Radbruch: Langgar Tiga Nilai Hukum?

Tri Apriyani | Nabilla Alwiny
Meninjau UU ITE dengan Teori Gustav Radbruch: Langgar Tiga Nilai Hukum?
Ilustrasi media sosial

Gustav Radbruch mengemukakan pendapat mengenai Tiga Nilai Hukum bahwa harus adanya harmonisasi pada keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dimana orientasinya adalah guna menciptakan harmonisasi dalam pelaksanaan hukum. Sebagaimana yang menjadi tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif.

Berkaitan dengan teori Tiga Nilai Hukum oleh Gustav Radbruch dapat ditinjau bahwa pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan beberapa putusan hakim terkait yang menggunakan dakwaan dengan pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)  ini tergolong luput dari ketiga aspek dasar hukum tersebut. 

Teori oleh Gustav Radbruch yang pertama adalah poin mengenai keadilan. Keadilan merupakan nilai sosial yang sangat luas makna nya, bahkan perdebatan tentang keadilan yang ideal sudah terjadi sejak zaman dahulu, dimana seorang ahli hukum dari Austria, Hans Kelsen berpendapat bahwa dirinya setuju dengan teori filsafat hukum Plato yang menyatakan bahwa keadilan harus berakar pada kebajikan.

Dapat kita ketahui sendiri bahwa perlulah kebijaksanaan untuk mengetahui dasar-dasar moralitas, keadilan juga mencakup sifat normatif dan konstitutif bagi keberlangsungan hukum. Keadilan menjadi landasan terciptanya hukum positif yang bermartabat.Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimumnya, hukum akan terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengandung banyak ambiguitas dalam penulisan pasalnya, sehingga dalam penerapannya sering terjadi ketidaktepatan yang berujung banyak korban yang dijatuhkan hukuman secara tidak adil.

Salah satunya pada pasal terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, yaitu Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Bahwa perbuatan-perbuatan yang tergolong sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak dimuat secara rinci dan jelas sehingga banyak penerapan pasal tersebut dinilai tidak tepat dan tekesan "semaunya".

Contoh kasus penerapan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tidak ditulis secara rinci dan jelas adalah pada kasus Prita Mulyasari pada tahun 2008, ketika Prita membagikan curhatannya sebagai pengguna jasa RS Omni Alam Sutera di sosial media mengenai pelayanan rumah sakit tersebut yang dinilai Prita tidak memuaskan.

Prita Maharani akhirnya dituntut oleh pihak rumah sakit dengan Pasal 27 ayat (3) atas sangkaan melakukann tindak pidana pencemaran nama baik. Padahal sejak awal diakui oleh Prita Mulyasari bahwa ia hanya berniat untuk membagikan pengalamannya tanpa niatan untuk menghina maupun mencemarkan nama baik siapapun.

Poin kedua terkait kepastian hukum, hal ini menjadi landasan dasar bagi hukum positif, terutama pada negara yang menganut sistem civil law, asas legalitas pun menjadi buah dari konsep kepastian hukum ini, Kepastian hukum selaras dengan pelaksanaan tata kehidupan yang dalam implementasinya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen dan tidak tergoyahkan oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subyektif dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini kerap malah berlaku sebaliknya.

Hal-hal yang diatur pada UU ITE pasal 27 menjadi contoh nyata, pada pasal tersebut di ayat 1 menyebutkan larangan pendistribusian informasi atau dokumen elektronik yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan pada ayat 1, perjudian pada ayat 2, pencemaran nama baik pada ayat 3, dan pemerasan atau pengancaman pada ayat 4.

Dari keempat ayat tersebut mungkin ada beberapa yang tidak memiliki tolal ukur yang jelas seperti pada ayat 1 dan 3, sehingga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini sering digunakan oleh orang-orang yang lebih kuat untuk menyerang mereka-mereka yang lemah dan dinilai tidak sejalan berdasarkan masukan yang diberikan kepada orang-orang yang lebih kuat tersebut.

Ambiguitas pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini lagi-lagi tidak memenuhi unsur kepastian hukum pada teori Tiga Nilai Hukum. 

Terahir ialah Kemanfaatan hukum, merupakan nilai dasar dalam hukum yang pada sejarahnya sudah menjadi suatu mahzab yang banyak diikuti yaitu utilitarianisme. Salah satu tokohnya adalah Jeremy Bentham, ia berpendapat bahwa hukum hanya dapat disebut hukum apabila telah memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya pada sebanyak-banyaknya orang.

Jika mengambil perspektif utilitarianisme kemanfaatan berkaitan secara kausalitas dengan kebahagiaan, namun untuk mencapai kebahagiaan tersebut ada empat tujuan yang harus dipenuhi yaitu: penghidupan (subsistence), kelimpahan (abundance), keamanan (security), dan kesetaraan (equality) terlebih hukum pada zaman modern ini tidak relevan jika hukum masih menggunakan teori retributif, karena pada zaman modern ini hukum sudah menggunakan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Namun pada kasus Baiq Nuril yang dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini putusan hakim tidak dapat mewujudkannya, karena hukum disini tidak menguntungkan Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual, justru malah menguntungkan pelaku perkara awal mengenai pelecehan yang dilakukan oleh Haji Muslim dengan cara-cara yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN Mtr yaitu Haji Muslim, yang dalam persidangan ditetapkan sebagai korban, menceritakan rahasia pribadinya mengenai aktivitas seksual kepada Terdakwa melalui telepon. Namun, Terdakwa tanpa sepengetahuan korban merekam pembicaraan tersebut menggunakan 1 (satu) unit HP Nokia warna hitam milik Terdakwa untuk menjadikan hasil rekaman tersebut sebagai bukti pelecehan seksual yang dilakukan oleh Haji Muslim.

Bagaikan bumerang, rekaman yang ingin dijadikan barang bukti olehnya tersebut malah menjadikannya tersangka yang dijerat Pasal 27 ayat (1)Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dapat dinilai secara moral dan etika ini bukanlah hal yang wajar dan adil. Oleh karena itu, berdasarkan ketiga paparan dan contoh yang ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam penerapannya luput dari ketiga teori yang digagas oleh Gustav Radburch mengenai Tiga Nilai Hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak