Berakhirnya rezim orde baru pada pertengahan tahun 1998 di Indonesia telah mengubah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah atau yang sering disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi sendiri merupakan bentuk penyerahan wewenang dari pemerintahan pusat ke pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan megurus segala urusan pemerintah dalam NKRI. Penyerahan wewenang dilakukan dengan tujuan untuk mencapai pemerintahan yang lebih efisien, dan menghasilkan otonomi atau yang sering disebut dengan kebebasan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Perubahan tersebut dimulai dengan dibuatnya Undang-Undang Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berimplikasi secara signifikan terhadap hubungan pusat dan daerah, sehingga kabupaten/kota memperoleh kewenangan dihampir semua urusan pemerintahan yang sebelumnya berada di tangan pusat.
Seiring dengan adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tersubut banyak daerah yang ingin memisahkan diri dari sebuah wilayah sehingga muncul pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian atau pemecahan satu wilayah otonom menjadi dua atau lebih wilayah otonom yang baru demi tercapainya tujuan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah telah berjalan selama kurang lebih 23 tahun. Selama itu pula banyak bermunculan Daerah Otonom Baru (DOB). Hingga kini terdapat 542 daerah otonom yang terdiri dari 34 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota.
Desentralisasi kini telah menjadi bagian penting dalam proses pembangunan di Indonesia sejak dua dasawarsa terakhir. Terdapat banyak harapan dengan diterapkannya desentralisasi. Salah satu harapan tersebut yaitu terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan melalui terciptanya tata kelola pemerintahan yang lebih baik lagi. Seperti yang dijelaskan dalam banyak penelitian terkait desentralisasi dan pembangunan di negara-negara berkembang, bahwasanya sistem pemerintahan desentralisasi menjadi pilihan terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah karena dalam sistem ini pemerintah daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya untuk menentukan program-program pembangunan dan layanan masyarakat yang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat di daerah masing-masing.
Namun, seiring berjalannya waktu desentralisasi di Indonesia memunculkan berbagai persoalan politik yang dikhawatirkan dapat menggagalkan tercapainya cita-cita dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Pada awal pelaksanaan desentralisasi beberapa ilmuwan politik melihat atau menengarai adanya fenomena raja-raja kecil yang ditandai dengan munculnya elit-elit penguasa di daerah. Akhir-ahkir ini para ilmuwan juga memperingatkan adanya fenomena politik dinasti yang menggambarkan kekuasaan politik di daerah yang dijalankan oleh sekelompok orang yang terikat dalam hubungan daerah atau kekeluargaan. Menurut para ilmuwan politik meluasnya politik dinasti di Indonesia yang akhir-akhir ini terjadi diakibatkan munculnya gejala neopatrimonialistik dimana raja-raja kecil mulai memperluas kekuasaan politiknya melalui kerabat-kerabatnya.
Adanya desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 ternyata belum mensejahterakan rakyat. Hal itu terjadi akibat akses sumber daya ekonomi masih dikuasai oleh elite politik dan pengusaha. Kelompok masyarakat sipil belum benar-benar mandiri dan terlibat dalam pengambilan kebijakan. Sehingga sering dikatakan bahwa desentralisasi dan demokratisasi daerah di Indonesia masih sebatas menimbulkan kericuhan politik. Pada dasarnya membicarakan Politik lokal dan Otonomi Daerah adalah membicarakan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Karena membicarakan dua entitas dalam dua level yang berbeda ini merupakan inti untuk mengukur praktik otonomi, dimana hubungan tersebut juga dapat mengungkapkan kedudukan dan otoritas masing-masing instansi pemerintahan.
Meskipun berbagai kebaikan hadir melalui adanya kebijakan otonomi, akan tetapi adanya otonomi daerah atau desentralisasi juga memberikan implikasi negatif. Seperti, penyalahgunaan kekuasaan oleh elit lokal atau sentralisme politik local sehingga dapat memunculkan para local strongmen atau greatmen, berkembangnya politik patron klien di daerah, menyebarnya kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di level lokal, perampokan kekayaan daerah baik berupa uang cash maupun dalam bentuk sumber daya lainnya. Dinasti politik memiliki dua tujuan. Yang pertama digunakan sebagai mekanisme untuk mengumpulkan kekayaan dan mempertahankan kekuasaan politik keluarga. Kedua yaitu digunakan sebagai benteng untuk menyembunyikan sejarah kelam dan korupsi jaringan dinasti keluarga pada periode sebelumnya.
fenomena munculnya dinasti politik atau praktik politik kekerabatan yang semakin marak terjadi di sejumlah daerah dapat merusak demokrasi. Karena, dengan adanya politik dinasti dapat menutup akses dan kesempatan bagi warga negara yang lain untuk memperoleh hak politik, terutama hak untuk dipilih. Pada dasarnya desentralisasi yang sedemikian besar dapat menciptakan ladanag korupsi yang semakin luas karena tidak diimbangi dengan pengawasan yang kuat. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan, seiring dengan semakin berkembangnya politik dinasti. Adanya politik dinasti inilah yang disebut sebagai sisi gelap dari pelaksanaan otonomi daerah, dikatakan demikian karena otoritas politik berpotensi memotivasi elit lokal untuk melakukan penyelewengan bagi kepentingannya atau kelompoknya dan bukan demi “kebaikan bersama” seperti yang dicitacitakan oleh spirit desentralisasi sendiri.