Belakang Dapur Melemahnya Otonomi Daerah

Tri Apriyani | Gumiwang Restu
Belakang Dapur Melemahnya Otonomi Daerah
Ilustrasi kebijakan pemerintah (dreamstime)

Negara merupakan organisasi yang paling besar dalam suatu wilayah kependudukan yang terdiri dari kompeksitas Indonesia mulai daratan dan lautan dari Sabang hingga Maroeke. Karena sebagai bentuk organisasi maka pengelolaan negara itu juga dengan mekanisme organisasi.

Organisasi itu mulai dari lembaga swadaya masyarakat yang kecil hingga negara sebagai organisasi utama dapat dilihat secara terang benderang dalam cara pengelolaannya. Menurut saya terdapat mekanisme sistem kepemimpinan itu secara garis besar ada 2 macam yang saling berkontra yaitu sistem Otoriter dan sistem Demokratis. Jika negara sebagai organisasi, kita sebagai masyarakat tentunya memiliki hak dalam organisasi tersebut.

Jika masyarakat tidak diberkati hak tentunya ada indikasi terjadi pengelolaan negara yang salah, masyarakat hanya dijadikan alat sedangkan yang pimpinan yang mempunyai struktural tinggi di negara mengatur arah kebijakan sesuai dengan asas kepentingan.

Jika hak masyarakat dapat dapat dimiliki maka dapat dikatakan pimpinanan tergolong dalam sistem demokratis. Tapi jika hak anda dibatasi dan diatur oleh orang tanpa mengacu pada keputusan bersama, maka sistem kepemimpinannya itu otoriter. Dalam dinamika kedua sistem itu maka seringkali terjadi tarik ulur antara pimpinan organisasi yang tidak jujur menginginkan organisasi itu dikuasai secara dominan, maka dibuat kebijakan yang menjadi jalan menarik hak-hak anggota menjadi hak pimpinan.

Kemudian terjadilah masalah dalam organisasi dan anda sebagai anggota menggerutu namun anda harus menjalaninya karena tidak ada pilihan. Padahal banyak kesempatan menjaga supaya hak anda tidak dikuasai (dikoloni) oleh pimpinan tetapi dalam pembahasan anda lambat memahami kebijakan pimpinan sehingga anda menyetujui hal tersebut. Negara juga demikian, dimana organisasi dibawah negara itu ada provinsi yang memiliki sebahagian wilayah negara dimaksud. Idealnya kepemimpinan provinsi itu adalah sebagaimana Negara Bagian atau standar otonom yang sesungguhnya. Di Indonesia hal itu sedang berlaku namun kualitas penyelenggaraannya tergantung pada mentalitas kepemimpinan provinsi.

Bagaimana cara pemimpin di Indonesia yang banyak dianggap masyarakat sekarang “otoriter” , memasukan kepentingan ke masyarakat daerah? Menurut saya pemimpin otoritas dipusat tidak perlu bekerja untuk itu, pekerjaan tersebut akan dilakukan oleh masyarakat daerah itu sendiri jika  mentalitas masyarakat daerah sebagaimana sekarang ini yang tidak pernah berpikir untuk menerapkan standar demokratisasi terhadap organisasi politik dan organisasi masyarakat. Apalagi masyarakat tidak paham batasan lobby dan menjilat ke pusat pemerintahan. Baik, saya akan menjelaskan beda lobby dan menjilat dalam organisasi, ini biasa dilakukan oleh calon ketua organisasi politik dan ormas ke petinggi organisasi pusat. Pertama mengenai tradisi lobby itu dengan cara melakukan, komunikasi dan pendekatan agar anda menjadi bahagian dari sistem yang tidak merusak sistem demokrasi dalam organisasi di daerah anda.

Lobby itu batasan persyaratannya adalah kebijakan yang mempertahankan sistem organisasi di daerah anda yang tidak merusak hak warga lain dalam organisasi. Di dalam organisasi terjadi komunikasi dengan meminta atau mengajak petinggi pusat melakukan kebijakan anomaly untuk mengkoloni (menjajah) dan merusak tatanan organisasi di daerah yang inti kebijakan itu mengarah pada menghilangkan hak warga daerah untuk memilih pemimpin organisasi dan menggantikan dengan kebijakan penunjukan anda sebagai pemimpin.

Inilah pola yang telah melemahkan Otonomi Khusus baik terjadi terhadap organisasi politik, ormas maupun organisasi negara secara langsung sebagaimana pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota.

Disini saya akan menggambarkan bagaimana pengaruh organisasi politik dan ormas dalam melemahkan otonomi khusus dengan latar belakang daerah Aceh. Pimpinan politik daerah itu akan mempengaruhi kebijakan pengaturan masyarakat provinsi melalui DPR-DPRnya di parlemen yang merupakan anggota partainya.

Demikian juga di level kabupaten dan kota semua kebijakan negara di daerah untuk pengelolaan masyarakat itu sumbernya dari partai politik. Perlu dipahami ormas disini hanya dijadikan sebagai obyek karena, sebagaian besar ormas terpengaruhi oleh partai politik baik personal maupun kelembagaaan meski ormas itu profesinya terlihat professional.

Selanjutnya melemahnya Otsus dikarenakan petinggi organisasi politik dan ormas di daerah merusak tatanan organisasi dan hak masyarakat daerah sehingga pemerintah organisasi politik dan ormas pusat bisa melakukan perusakan total terhadap demokrasi pada organisasi politik dan ormas di daerah untuk kepentingan kekuasaan yang salah kaprah. Hal ini juga bisa berlaku bagi organisasi negara terhadap pemerintah daerah. Ketika organisasi politik dan ormas tidak lagi otonom dan hanya menjilat kepusat maka otomatis masyarakat daerah juga posisinya akan lemah dan tidak berdaya.

Dengan narasi di atas tentunya muncul pertanyaan apakah pemerintah pusat yang melemahkan otonomi daerah? Disini saya akan mengorelasikan dengan Sistem Omnibus Law dalam UU Cipta Kerja memang memangkas ego sektoral yang selama ini terjadi di berbagai level pemerintahan, baik di tingkat kementerian maupun pemerintah daerah melalui penguatan kewenangan Presiden. Ego sektoral seringkali muncul karena di setiap kewenangan yang diberikan ke kementerian disahkan melalui Undang-Undang. Padahal, posisi menteri seharusnya menjadi pihak yang membantu Presiden dalam merealisasikan program kerjanya. Ketika suatu aturan terjadi overlap dengan kebijakan pemerintah, kewenangannya (kementerian) tidak bisa disesuaikan oleh Presiden, tetapi harus dibahas lagi dengan DPR. Kondisi Ini akan menjadi hambatan dalam implementasinya dilapangan.

Hal ini sangat dirasakan oleh pelaku usaha yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Seringkali mereka harus mengurus perizinan yang lintas kementerian, sedangkan aturan kementerian terkadang tumpang tindih dengan aturan kementerian lain. Dalam metode Omnibus Law yang digunakan dalam UU Cipta Kerja, kewenangan kementerian ini cukup diberikan melalui aturan lanjutan tanpa harus membuat UU baru. Dengan demikian, ketika terjadi ketidaksinkronan antaraturan dapat dilakukan penyesuaian dengan mudah dan cepat.

Terkait otonomi daerah dan Peraturan Daerah (Perda) yang juga sering menjadi hambatan investasi, masyarakat harus mengingat bahwa otonomi daerah pada hakikatnya merupakan pembagian kewenangan kepada daerah oleh pemerintah pusat. Indonesia bukanlah seperti Amerika sebagai negara federal, tetapi Indonesia merupakan negara kesatuan, sehingga pemerintah daerah, kepala daerah dan DPRD juga merupakan pembantu presiden.

Fungsinya adalah representasi pemerintah pusat di daerahnya masing-masing. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit Perda bertentangan dengan tujuan pemerintah pusat, hal ini dikarenakan secara regulasi, daerah dipaksa mengikuti aturan main pusat (mutlak), padahal sifat perda yang mengakomodasi karakteristik serta potensi wilayah masing-masing. Maka dari itu perlunya penkajian lebih mendalam mengenai UU Cipta Kerja, jika tidak mau adanya hambatan perkembangan pembangunan daerah.

Mungkin subtansi tersebut belum cukup untuk menggambarkan kompleksitas dapur mengenai perlemahan otonomi. Dapat dikatakan yang menjadi aktor adalah para calon pemimpin organisasi politik dan pemimpin organisasi politik yang kedudukannya dari hasil jilat tanpa berpikir terhadap tatanan demokratis dalam sistem masyarakat daerah. Ketika demokrasi tidak lagi terpelihara maka kepentingan pihak ketiga adalah jawaban terhadap fungsi organisasi itu.

Oleh: Gumiwang Restu Aji ( Mahasiswa Progam Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak