Efek Omnibus Law untuk Ketenagakerjaan dan Pendidikan

Tri Apriyani | gumiwangrestuaji
Efek Omnibus Law untuk Ketenagakerjaan dan Pendidikan
Ilustrasi omnibus law

Negara mana yang tidak mau jika memiliki ekonomi yang stabil, mengalami pertumbuhan, dan mempunyai Sumber Daya Manusia dengan daya saing. Namun di dalam berproses menuju tujuan tersebut, pasti ada sebuah aturan ataupun kebijakan yang diberlakukan.

RUU Cipta Kerja yang diciptakan pada masa kepemimpinan Jokowi-MA atau yang dikenal dengan Omnibus-Law menurut saya terdapat beberapa poin-poin pasal dalam RUU tersebut bertentangan dengan semangat juang bangsa, budaya maupun hukum-hukum yang ada di Pancasila.

Hal ini terindikasi pada hak-hak pekerja buruh yang dihilangkan sebagai contoh buktinya adalah diubahnya perhitungan UMP, status pekerja, waktu kerja, dan lain sebagainya.

Perinciannnya adalah Omnibus Law ini pemerintah ingin mendatangkan investor-investor dari luar untuk memperbaiki perekonomian Indonesia saat ini. Investor yang datang memang membuat perekonomian Indonesia meningkat tetapi dalam waktu yang bersamaan, hak-hak yang harusnya dimiliki seorang buruh itu dihilangkan.

Contoh hak-hak yang mulai dikurangi adalah upah minimum buruh yang seharusnya sudah ditetapkan antara pemerintah dan buruh sekarang mulai diturunkan tergantung kepada kesepkatan investor mau memberikan bayaran berapa.

Tentu ini bertentangan dengan sila-sila yang ada di Pancasila termasuk sila ke-4 dan sila ke-5. Untuk sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan". Omnibus Law bertentangan dengan inti dari sila tersebut yaitu tentang permusyawaratan atau musyawarah.

Di mana dalam sidang perumusan RUU Cipta Kerja ini, rakyat sebagai perwakilan dari para pekerja-pekerja kelas bawah tidak bisa meyalurkan aspirasi maupun pendapatnya mengenai RUU tersebut. Walaupun anggota DPR pada saat itu datang untuk mewakili rakyat, tetapi itu tidak cukup dalam menampung semua aspirasi dari semua rakyat terutama yang bekerja sebagai buruh.

Tentu hal ini sangat bertentangan dengan makna sila ke-4 yaitu tentang musyawarah untuk mecapai mufakat. Untuk sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Di dalam sila ini Omnibus Law bertentangan dengan keadilan yang diterima antara investor yang datang dan pekerja buruh kelas bawah maupun menengah.

Di mana buruh yang dipekerjakan oleh investor tersebut mendapat upah yang lebih sedikit daripada upah yang selayaknya mereka dapatkan sebelum adanya Omnibus Law ini. Sedangkan Investor yang mempekerjakan mendapatkan upah yang tinggi.

Tentu saja ini secara tidak sengaja sedikit demi sedikit mulai menghilangkan hak upah dari pekerja buruh. Dengan adanya peristiwa RUU Cipta Kerja ini atau Omnibus Law apakah pemerintah sudah benar-benar menerpkan nilai-nilai Pancasila di dalam RUU tersebut?

Atau malah RUU tersebut hanya untuk mengelabui masyarakat atas nama Pancasila hanya demi kepentingan segelintir orang atas maupun investor. Dengan adanya permasalahan Omnibus Law ini alangkah lebih baiknya masyarakat maupun pemerinah kembali mengevaluasi kembali semua  nilai-nilai Pancasila yang mana Pancasila ini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia ini  baik dari segi ekonomi, politik, sosial budaya, maupun hukum.

Alangkah baiknya poin-poin di dalam RUU tersebut dievaluasi kembali dan disejajarkan dengan nilai-nilai Pancasila karena letak sumber hukum yang paling utama negara Indonesia adalah Pancasila.

Seharusnya Pemerintah berpikir bagaimana cara memaksimalkan investasi yang sekarang ada di Indonesia guna lebih berkualitas, bukanya malah memperbanyak Investasi yang hasilnya hanya dirasakan oleh segelintir elit.

Jika Investasi terus dimanjakan terdapat konsekuensinya, pertama penekanan upah buruh dan kedua pengabaian aturan Amdal (analisis dampak lingkungan) sangat bertentangan dengan nafas konstitusi.

Poin RUU Omnibus Law yang bertentangan dengan Pancasila di bidang Pendidikan, ketika terdapat poin didalam Omnibus Law pada pararagraf ke-12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, mengubah maupun menghapus Undang-Undang sebelumnya, salah satunya adalah pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 berbunyi tentang kewajiban guru dalam memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, sehat jasmani dan rohani. Namun pada RUU Omnibus Law yang telah diserahkan pemerintah di DPR, tepatnya pada halaman 498 draf RUU Omnibus Law, Pasal 8 jadi memiliki 2 ayat atau ayat tambahan ini bertentangan dengan makna dari Undang-Undang sebelumnya.

Ayat tambahan tersebut berbunyi tentang sertifikat pendidik tidak wajib dimiliki oleh guru maupun dosen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi luar negeri yang terakreditasi.

Dengan demikian guru maupun dosen yang merupakan lulusan dari luar negeri tidak wajib memiliki sertifikat pendidik dan untuk guru ataupun dosen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi dalam negeri wajib memiliki sertifikat pendidik.

Nah isi dari draf pasal Omnibus Law ini bertentangan dengan sila di Pancasila yaitu sila ke-5 di mana sila ke-5 memiliki makna untuk bersikap adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi pasal di dalam Omnibus Law tersebut seakan akan mendiskriminasi guru ataupun dosen yang merupakan lulusan dalam negeri.

Saya setuju jika pasal-pasal dari Omnibus law ini perlu direvisi dengan mengedepankan asas-asas seluruh aspek kehidupan bernegara karena jika ini tidak segera diselesaikan, saya yakin akan muncul permasalahan baru seperti dalam penyusunan peraturan perundang undangan hingga ketidakpastian hukum. Satu kata jika Omnibus law tidak revisi, Lawan!!

Oleh: Gumiwang Restu Aji (Mahasiswa Imu Pemerintahan, Universtitas Muhammadiyah Malang)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak