Lagi-lagi harga kedelai mengalami kenaikan. Akibatnya tentu saja banyak yang menjerit. Gangguan pada produksi kedelai di luar negeri hingga melonjaknya permintaan kedelai dari negara lain disebut-sebut sebagai alasan dibalik peningkatan harga ini. Dalam urusan kedelai negara kita memang sangat tergantung dengan impor. Sudah sejak lama sebenarnya keinginan untuk mengurangi ketergantungan akan kedelai impor mewacana. Sayangnya dari tahun ke tahun, keberhasilan belum juga diraih. Sudah puluhan tahun berlalu sejak Indonesia terakhir kali tercatat mampu menopang sendiri kebutuhan kedelainya.
Meskipun kedelai bukanlah makanan pokok seperti beras, akan tetapi ketersediaan pasokannya berimbas pada berbagai kalangan. Gangguan pada harga atau pasokan kedelai sangat berdampak pada para pelaku usaha seperti pengrajin tahu dan tempe. Naiknya harga atau langkanya bahan baku mengakibatkan mereka harus mengurangi produksi atau menaikkan harga jual. Ini tentu berdampak pada pendapatan mereka.
Tak hanya itu, olahan kedelai seperti tahu dan tempe tersebut juga merupakan sumber protein yang sangat penting bagi sebagian masyarakat. Ibarat beras yang merupakan sumber utama karbohidrat, bagi sebagian orang, tahu dan tempe adalah salah satu sumber protein utama mereka. Pada gilirannya kenaikan harga kedelai bisa jadi berimbas pada kecukupan protein mereka.
Konsumsi Protein dan Sebarannya
Berdasarkan rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke XI yang dilansir pada laman wnpg.lipi.go.id, angka kecukupan protein perorang perhari adalah 57 gram protein. Ini adalah nilai rata-rata yang dianjurkan. Artinya seseorang dapat saja membutuhkan lebih banyak protein atau lebih sedikit, tergantung dari umur atau karakteristik lainnya.
Dalam publikasi berjudul Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2020 yang dirilis oleh BPS, secara umum nilai rata-rata konsumsi protein harian masyarakat Indonesia adalah 62 gram protein. Sekilas terlihat bahwa kecukupaan protein masyarakat kita telah berada di atas angka minimal kecukupan tersebut. Akan tetapi, jika kita melihat sebaran konsumsi berdasarkan kuintil pengeluarannya, ternyata ketimpangan masih kentara terjadi.
Kelompok dengan pengeluaran 20 persen terendah, atau yang acap disebut dengan istilah kuintil pertama, ternyata belum mencapai standar minimal kecukupan tersebut. Rata-rata konsumsi protein perorang perhari pada kuintil pertama hanya mencapai 45 gram protein. Sementara pada kuintil kelima atau penduduk dengan penghasilan 20 persen tertinggi, konsumsi proteinnya mencapai 80 gram protein perorang perhari. Nyaris dua kali lipat lebih tinggi!
Ikan-ikanan, daging, kacang-kacangan, serta telur dan susu merupakan beberapa bahan makanan sumber protein yang lazim dikonsumsi masyakat kita. Dari keempat komoditas ini, kelompok kuintil kelima/teratas mendapat asupan protein tertinggi dari daging dan ikan. Sementara pada kuintil pertama/terbawah, proteinnya banyak didapat dari ikan dan kacang-kacangan.
Dalam hal ini tahu dan tempe sebagai olahan umum dari kacang kedelai, memegang peranan cukup penting pada pemenuhan protein masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Selain soal selera, faktor harga juga tentunya menentukan. Harga daging yang jauh diatas harga pangan macam tahu dan tempe membuat banyak yang tak mampu untu membelinya.
Di sini kestabilan pasokan dan harga kedelai menjadi penting. Jika terjadi kelangkaan atau kenaikan harga, penduduk yang paling rentan terkena imbasnya lagi-lagi adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah. Konsumsi protein mereka bisa tambah jauh dari standar kecukupan minimal. Dalam jangka panjang dapat saja memicu kekurangan gizi.
Mewujudkan kestabilan pasokan dan harga kedelai bukan sekadar masalah harga diri sebagai bangsa agraris, tapi juga kestabilan konsumsi protein masyarakat. Sudah begitu banyak yang menawarkan solusi agar ketergantungan impor kita dapat dikurangi, syukur-syukur jika swasembada dapat terwujud kembali. Masyarakat kini menanti sejauh mana keberpihakan dan keseriusan pihak terkait untuk mewujudkannya.