Februari ini pemerintah mulai memberlakukan kenaikan tarif cukai rokok. Kenaikan ini tentunya dapat meningkatkan penerimaan negara. Meskipun demikian, kabarnya kenaikan ini utamanya dimaksudkan untuk menekan tingginya angka jumlah perokok. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada Maret 2020, jumlah penduduk yang berusia 5 tahun keatas yang merokok mencapai sekitar 23 persen. Hampir seperempat dari total penduduk Indonesia!
Rokok telah lama dikenal luas memiliki dampak negatif pada kesehatan, tidak hanya bagi penggunanya, tapi juga bagi orang-orang disekitar yang terpapar asapnya. Meskipun pada kemasan rokok tercantum dengan jelas berbagai peringatan akan risiko dan bahaya rokok, penggunaannya masih saja tinggi.
Tapi rokok ternyata tak hanya berdampak langsung pada kesehatan. Secara tak langsung, rokok juga punya konsekuensi negatif pada pemenuhan pangan dasar sebagian penduduk. Meskipun bukan termasuk kebutuhan primer, pengeluaran untuk membeli rokok ternyata memiliki porsi besar pada pengeluaran penduduk Indonesia. Rata-rata pengeluaran untuk rokok bahkan mengalahkan jumlah yang dikeluarkan untuk beberapa komoditas pangan penting masyarakat.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS pada Maret 2020 menyebut bahwa secara rata-rata pengeluaran penduduk perkapita untuk membeli rokok dan tembakau adalah sekitar 73 ribu rupiah perbulannya. Nilai ini lebih besar dari jumlah yang dikeluarkan penduduk untuk konsumsi komoditas pangan seperti daging, ikan, kacang-kacangan, maupun telur dan susu.
Meski tak sama persis, pola pengeluaran yang menempatkan rokok sebagai prioritas konsumsi ini ternyata terjadi pada berbagai golongan pengeluaran penduduk. Jika kita membandingkan pengeluaran untuk rokok dengan kelompok komoditas makanan lainnya, pada golongan penduduk dengan 20 persen pengeluaran tertinggi, rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah makanan jadi. Sedang pada penduduk pengeluaran 20 persen terendah, pengeluaran untuk rokok menempati urutan tertinggi ketiga setelah komoditas makanan jadi dan padi-padian. Pada kelompok pengeluaran terendah ini, rata-rata pengeluaran perkapita untuk rokok adalah sekitar 29 ribu perbulannya. Nilai ini masih jauh lebih tinggi dari nilai yang dikeluarkan mereka untuk komoditas pangan seperti ikan-ikanan (19 ribu), telur dan susu (13 ribu), maupun kacang-kacangan (7 ribu).
Pola pengeluran seperti ini mengkhawatirkan, terutama pada kelompok penduduk dengan pengeluaran terendah. Masalahnya, konsumsi pangan pada kelompok ini belum mencapai standar kecukupan gizi. Konsumsi kalori harian perkapita kelompok ini hanya sekitar 1.684 kilokalori, sementara konsumsi proteinnya hanya berkisar 45 gram protein (BPS, 2020). Jika dibandingkan dengan nilai kecukupan gizi sebesar 2.100 kilo kalori dan 57 gram protein, konsumsi mereka secara rata-rata hanya mencapai 80 persen untuk kalori, dan 79 persen untuk kecukupan protein.
Dominannya porsi pengeluaran untuk rokok ini mencerminkan bagaimana rokok menjadi prioritas pengeluaran penduduk. Dengan kondisi ini, sedikit kenaikan harga bisa jadi tak akan berdampak signifikan pada pilihan prioritas pengeluaran penduduk yang merokok. Kondisi ini harusnya mendapat perhatian yang lebih serius dari semua pihak. Terutama ketika saat ini masalah akibat kekurangan gizi seperti stunting masih menjadi momok di negara ini.
Selama ini fokus untuk menurunkan angka perokok masih lebih banyak dimotivasi oleh dampak langsung pada kesehatan. Padahal dampak tak langsung seperti menggeser prioritas konsumsi pangan dasar penduduk juga tak kalah penting untuk dibenahi. Memang tak mudah berurusan dengan permasalahan terkait rokok ini.
Apalagi ketika keuntungan dari sektor terkait rokok sangat besar dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari negara sebagai penerima cukai rokok, pemilik perusahaan, pekerja industri, hingga petani dan berbagai pihak lain yang terlibat pada rantai produksi dan distribusinya. Akan tetapi dalam jangka panjang perlu adanya kebijakan untuk dapat mencegah dampak negatif rokok pada masyarakat. Kenikmatan sesaat dari rokok punya begitu banyak konsekuensi negatif.