Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez, mendukung resolusi konflik yang diajukan oleh Maroko tentang pemberian status otonomi khusus Sahara Barat. Otonomi khusus tersebut menjelaskan tentang warga Sahara Barat boleh membentuk pemerintahan dan mengelola anggaran wilayah secara mandiri kendati urusan strategis tetap diatur oleh pemerintah Maroko di ibu kota Maroko, Rabat.
Reuters melansir, Sanchez menegaskan, pemerintah Spanyol akan selalu memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat etnis Sahrawi yang telah mendiami wilayah Sahara Barat. Selain itu, Sanchez menyatakan, pemerintah Spanyol siap memberikan dukungan penuh terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Utusan Khusus PBB untuk Sahara Barat (United Nations Special Envoy for Western Sahara), Staffan de Mistura, yang telah membantu Maroko memperlancar proses pemberian otonomi khusus tersebut yang prosesnya telah dilakukan sejak 2021 lalu.
“Kami (pemerintah Spanyol) siap mendukung penuh pekerjaan yang telah dilakukan oleh utusan khusus PBB untuk mewujudkan status otonomi khusus Sahara Barat, pekerjaan yang menurut kami sangat krusial. Sebagai negara pendonor utama, Spanyol juga akan terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada seluruh masyarakat etnis Sahrawi yang saat ini masih mengungsi di kamp pengungsian Tindouf, Aljazair, seperti yang telah dilakukan sebelumnya,” kata Sanchez dalam pidatonya di hadapan delegasi Sidang Majelis Umum PBB ke-77 di Markas Besar PBB, New York City, New York, AS, pada Kamis, (22/2/2022) waktu setempat.
Sanchez menjelaskan secara utuh mengenai alasan yang mendorongnya untuk mengubah kebijakan luar negeri Spanyol menjadi mendukung status otonomi khusus Sahara Barat. Mengutip dari Atalayar, di hadapan delegasi, perdana menteri Spanyol berusia 50 tahun tersebut menjelaskan, dirinya telah membaca proposal perdamaian yang ditawarkan oleh Maroko. Menurutnya, resolusi konflik yang tercantum di dalam proposal tersebut mengandung pesan yang kuat, realistis, dan kredibel secara ilmiah, sehingga mampu memberikan solusi yang adil untuk menyelesaikan perang yang terjadi antara tentara Maroko dengan gerakan separatis kemerdekaan Sahara Barat, Front Polisario (Polisario Front) yang berlangsung sejak 1975 sampai dengan saat ini.
Spanyol mendukung pemberian status otonomi khusus kepada Sahara Barat setelah mengambil posisi netral selama bertahun-tahun
Masih dilansir dari Atalayar, dalam surat yang ditulis untuk Raja Maroko, Mohammed VI, pada Kamis, (17/3/2022), Sanchez mengatakan, Spanyol mengakui pentingnya Maroko untuk memberikan status otonomi khusus kepada Sahara Barat. Perdana menteri Spanyol yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Partai Spanish Socialist Workers’ Party tersebut mengapresiasi langkah serius dan kredibel raja Maroko yang berkuasa sejak 1999 tersebut untuk mengizinkan PBB mengirimkan Mistura selaku utusan khusus PBB untuk Sahara Barat, sehingga institusi multilateral tersebut dapat ikut terlibat di dalam proses pembahasan resolusi konflik.
Spanyol dan Maroko memiliki hubungan bilateral yang kental dengan kesamaan aspek budaya, sejarah, politik, ekonomi, dan kedekatan geografis, sehingga seringkali memunculkan kepentingan nasional yang sama. Berkat kesamaan tersebut, Sanchez menganggap bahwa kesejahteraan yang telah diperoleh Maroko juga akan membuat Spanyol memperoleh kesejahteraan dengan kadar yang sama, begitu juga sebaliknya.
Sanchez menekankan, pemerintah Spanyol berkomitmen kuat untuk terus menjalin serta memperkuat kerja sama dengan Maroko di berbagai sektor, demi menjamin stabilitas dan integritas wilayah kedua negara.
“Tujuan kami (Spanyol dan Maroko) adalah membangun hubungan diplomatik baru yang berdasarkan pada prinsip keterbukaan dan komunikasi berkelanjutan, saling menghormati terhadap masing-masing kepentingan dengan setara, dan menghormati segala perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua negara. Kami tidak akan memutuskan segala sesuatu secara sepihak tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu, sehingga kedua negara dapat mempertahankan segala hal positif yang telah dicapai selama ini,” kata Sanchez dalam surat tertulisnya kepada raja Maroko yang berasal dari keturunan keluarga Dinasti Alawi tersebut.
Maroko mengeluarkan dekrit kerajaan tentang status otonomi khusus Sahara Barat
Melansir dari France 24, pada Kamis (7/4/2022), Raja Maroko, Mohammed VI, mengeluarkan dekrit kerajaan tentang otonomi khusus untuk wilayah Sahara Barat yang didukung oleh Spanyol, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Berbagai ketentuan yang tercantum di dalam dekrit tersebut tersebut mengambil draf final proposal perdamaian yang telah diajukan kepada PBB pada April 2007.
Status otonomi khusus tersebut merupakan jawaban pemerintah Maroko kepada Dewan Keamanan PBB dan komunitas internasional yang menuntut adanya status politik yang jelas dan definitif atas wilayah Sahara Barat yang telah digaungkan sejak 2007 silam. Dalam pidatonya pada November 2021, Raja Maroko, Mohammed VI, menegaskan bahwa pemerintah Maroko tidak akan memberikan kemerdekaan penuh kepada Sahara Barat dan lebih memilih opsi pemberian status otonomi khusus.
Berdasarkan status otonomi khusus tersebut, maka Sahara Barat akan memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di mana boleh diisi oleh anggota dari perwakilan suku lokal dan mantan milisi Front Polisario. Segala bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dikeluarkan harus mencantumkan nama kerajaan di dalamnya dan isinya harus sesuai dengan pasal yang tercantum di dalam Undang-Undang tentang Status Otonomi Sahara dan Undang-Undang Kerajaan.
Selain itu, pemerintah eksekutif boleh memungut pajak dan merancang serta mengawasi pengeluaran anggaran wilayah yang menunjang pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum. Meski begitu, pemerintah Sahara Barat tetap diwajibkan untuk mengibarkan bendera Maroko dan menggunakan mata uang Maroko, Dirham, serta memberikan kewenangan urusan hubungan luar negeri, keamanan, dan pertahanan kepada pemerintah Maroko. Tidak lupa, pemerintah Maroko akan memberikan amnesti, yaitu proses penghapusan hukum pidana dan perdata kepada orang yang telah terbukti melakukan kejahatan serius kepada negara, di mana dalam kasus ini adalah para milisi Front Polisario apabila bersedia untuk menyerahkan senjata mereka kepada tentara, membubarkan organisasi hingga ke tingkat desa, serta menyatakan sumpah setia kepada Kerajaan Maroko.
Maroko telah menduduki Sahara Barat sejak 1975 karena sumber daya mineral yang berlimpah
Jika ditilik dari sejarah, Sahara Barat memang merupakan koloni Kerajaan Spanyol sejak 1885. Dikutip dari Arab Center Washington DC, Spanyol meninggalkan Sahara Barat setelah negara tersebut menandatangani Perjanjian Madrid (Madrid Accord) bersama dengan Maroko dan Mauritania pada 1975. Keluarnya Spanyol dari wilayah tersebut membuka kesempatan bagi Maroko dan Mauritania untuk menduduki Sahara Barat sampai dengan saat ini.
Meski telah didesak PBB untuk keluar dari Sahara Barat, Maroko tetap bertahan di wilayah tersebut dengan menganeksasi wilayah Sahara Barat yang dikuasai oleh Mauritania. Maroko terus melancarkan serangan terhadap Front Polisario sampai akhirnya mampu menguasai lebih dari dua per tiga Sahara Barat yang terletak di sepanjang garis pantai Samudera Atlantik pada 1991. Melalui UN Mission for the Referendum in Western Sahara (MINURSO), PBB menjanjikan referendum terhadap status wilayah Sahara Barat dengan memberikan pilihan kepada seluruh warga, yaitu apakah lebih memilih opsi kemerdekaan, otonomi khusus, atau bergabung dengan Maroko.
Lambatnya perkembangan referendum karena macetnya perundingan dengan Maroko yang berakibat pada kebuntuan politik berkepanjangan membuat Front Polisario kembali melancarkan serangan terhadap tentara Maroko yang bertugas di Sahara Barat pada 2020. Organisasi milisi tersebut menuduh PBB sengaja mengulur waktu pelaksanaan referendum sampai bertahun-tahun demi membiarkan perusahaan minyak dan gas nasional Maroko serta perusahaan asing seperti Siemens dan Enel terus melakukan eksploitasi terhadap sumber daya mineral yang terkubur di tanah Sahara Barat. Memang, tanah Sahara Barat kaya akan sumber daya mineral yang berlimpah, seperti batu fosfat, minyak dan gas alam, serta sumber air bersih yang membentang sejauh 690 mil sampai hilir yang berujung di Samudera Atlantik.
Isu status wilayah Sahara Barat kembali mencuat ke komunitas internasional setelah AS melalui mantan Presiden AS 2016 - 2020, Donald Trump, mengakui klaim Maroko tentang kedaulatan negara tersebut atas seluruh wilayah Sahara Barat pada Desember 2020. Keputusan AS tersebut sebagai bentuk quid pro quo atau politik balas budi atas kesediaan Maroko untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel di bawah kerangka perjanjian multilateral antara AS dengan beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan Abraham Accords.
Namun, Trump mengakui kedaulatan Maroko atas wilayah Sahara Barat secara sepihak atau unilateral dan tidak memuat dasar hukum internasional yang jelas, sehingga tidak dapat diterima oleh negara anggota Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly), Uni Eropa (European Union), dan Uni Afrika (African Union). Meski Trump telah lengser dari kursi presiden AS, sampai dengan akhir 2021, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden AS, Joe Biden, belum mencabut keputusan eksekutif (Executive Order) tentang pengakuan Negeri Paman Sam terhadap klaim Maroko atas Sahara Barat yang telah ditandatangani oleh rezim pemerintahan Trump.