Civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyatakan sikap bertajuk Indonesia Darurat Kenegarawanan pada Kamis (1/2/2024). Pernyataan sikap ini dilakukan dosan, mahasiswa serta alumni UII di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII.
Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Fathul Wahid menegaskan kalau sikap tegas UII murni sebagai seruan moral anak bangsa.
BACA JUGA: Mensos Risma Tak Dampingi Jokowi Bagi Bansos, Kemensos: Semua Bantuan Disalurkan Melalui Rekening
"Sangat sulit bagi UII, warga UII yang lahir dari rahim yang sama denga republik ini berkhianat kepada bangsa Indonesia. Pendiri UII adalah juga pembesut bangsa Indonesia. Sehingga perlu dipahami pernyataan sikap ini sama sekali tidak partisan," tegas Fathul dikutip dari Suara.com.
"Ini adalah betul-betul murni seruan moral anak bangsa yang tersadarkan bahwa bangsa Indonesia, negara Indonesia masih mempunyai daftar pekerjaan rumah yang sangat-sangat panjang," sambungnya.
Rektor UII mengatakan seluruh civitas akademika datang untuk menyatakan sikap ini melalui undangan terbuka sehingga tidak bersifat elitis. Menyoroti perkembangan politik nasional menjelang Pemilu 2024, penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah ditunjukkan tanpa rasa malu.
"Kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara. Demokrasi Indonesia kian tergerus dan mengalami kemunduran," ungkapnya.
Apalagi sikap kenegarawanan dari Presiden Joko Widodo semakin memburuk. Terutama ketika majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023.
Putusan MK tersebut dalam proses pengambilannya sarat dengan intervensi politik dan terbukti melanggar etika. Berujung pada pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
"Gejala ini kian jelas ke permukaan saat Presiden Joko Widodo menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak," ujarnya.
Pada perkembanganya Presiden Jokowi juga gencar bagi-bagi bantuan sosial berupa beras dan bantuan langsunhg tunai (BLT) juga disorot. Sikap orang nomor satu Indonesia ini dekat dengan nuansa politik praktis untuk penguatan dukungan terhadap paslon tertentu.
"Mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu adalah tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi. Situasi di atas menjadi bukti, Indonesia sedang mengalami darurat kenegarawanan yang bisa berujung pada ambruknya sistem hukum dan demokrasi," jelas Fathul Wahid.
Oleh karena itu, civitas akademika UII menuntut enam poin penting. Pertama, mendesak Presiden Jokowi kembali bersikap netral.
"Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok," katanya.
Kedua, meminta Jokowi serta aparatur pemerintahan berhenti menyalahgunakan kekuasaan dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik. Ketiga, mendorong DPR dan DPD aktif melakukan fungsi pengawasan agar pemerintahan berjalan sesuai koridor konstitusi.
"Keempat, mendorong calon presiden, calon wakil presiden, para menteri dan kepala daerah yang menjadi tim sukses, serta tim kampanye salah satu pasangan calon, untuk mengundurkan diri dari jabatannya, guna menghindari konflik kepentingan yang berpotensi merugikan bangsa dan negara," terangnya.
Kelima, mengajak masyarakat Indonesia untuk memastikan pemilu berjalan secara jujur, adil, dan aman agar terwujud pemerintahan yang mendapat legitimasi kuat berbasis penghormatan suara rakyat. Keenam, meminta seluruh elemen bangsa bersama-sama merawat cita-cita kemerdekaan melalui perjuangan mewujudkan iklim demokrasi yang sehat.
Cek berita dan artikel yang lain di GOOGLE NEWS