Di tengah kebijakan kehutanan yang terus berfokus pada hutan negara dan hutan tanaman industri (HTI), hutan rakyat justru muncul sebagai penopang utama pasokan kayu nasional. Ironisnya, perhatian dan dukungan yang diberikan pemerintah masih minim.
“Meski lahan sempit dan modal terbatas, hutan rakyat kini menjadi penyelamat pasokan kayu. Sayangnya, perhatian yang diberikan masih jauh dari cukup,” tegas Prof. Ahmad Budiaman, Guru Besar IPB University, dalam orasi ilmiahnya (30/8).
Data tahun 2023 memperlihatkan peran signifikan hutan rakyat yang menyumbang 15% produksi kayu bulat nasional, melampaui hutan alam produksi yang kini hanya 7%. Namun arah kebijakan negara masih berat ke HTI yang dikuasai korporasi besar.
Lebih dari enam dekade, fokus kehutanan Indonesia pada hutan negara meninggalkan jejak panjang: deforestasi, konflik lahan, perambahan, dan degradasi lingkungan. Sebaliknya, hutan rakyat yang dikelola petani dengan pola agroforestri berkembang tanpa sokongan berarti. Mereka masih menghadapi izin yang rumit, akses pembiayaan terbatas, hingga harga kayu yang ditekan tengkulak.

“Kalau hutan rakyat sudah menyumbang 15% pasokan nasional, kenapa pemerintah belum menempatkannya sebagai prioritas?” tanya Prof. Ahmad.
Menurutnya, petani yang membangun hutan dengan biaya sendiri seharusnya mendapat insentif. “Di negara maju, pembangunan hutan di tanah milik didukung biaya dari pemerintah. Di Indonesia, saya ragu kapan hal itu bisa terwujud,” tambahnya.
Permasalahan klasik lain adalah pola “tebang butuh”—petani menebang pohon untuk kebutuhan mendesak. Pola ini membuat pengelolaan jangka panjang sulit berjalan. Solusinya, kata Prof. Ahmad, bukan dengan skema pinjaman yang membebani, melainkan kelembagaan seperti koperasi dengan insentif yang mendorong petani menjaga hutan.
Ia juga menekankan perlunya penerapan teknik panen ramah lingkungan. Misalnya, penggunaan tali untuk menebang yang terbukti mengurangi kerusakan. Namun, tanpa intervensi kebijakan, teknologi semacam ini rawan berhenti hanya di tingkat riset.
Prof. Ahmad merinci enam langkah mendesak yang harus ditempuh pemerintah: pelatihan rutin, penyederhanaan izin, fasilitasi pemasaran, kompensasi pembangunan hutan, inventarisasi berkelanjutan, serta akses menuju sertifikasi lestari.
“Pertanyaan utamanya bukan lagi soal penting atau tidaknya hutan rakyat, melainkan apakah negara benar-benar berpihak pada petani kecil, atau masih terus mengutamakan industri besar,” pungkasnya.