- Gibran Rakabuming Raka digugat terkait keaslian ijazah SMA dengan tuntutan ganti rugi fantastis sebesar Rp125 triliun.
- Jokowi menyatakan siap menghadapi proses hukum, namun ia mengisyaratkan adanya "orang besar" atau "dalang besar" yang sengaja mengorkestrasi isu ini.
- Jokowi menyebut ini adalah "pola lama" serangan politik yang dulu menimpa dirinya dan kini diulang untuk mendelegitimasi Gibran sebagai Wapres terpilih.
Polemik mengenai keaslian ijazah SMA Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke publik setelah muncul gugatan bernilai fantastis di pengadilan.
Joko Widodo (Jokowi) sebagai ayah Gibran buka suara menanggapi isu ini. Ia menegaskan bahwa keluarganya siap menghadapi seluruh proses hukum yang ada, sembari mengisyaratkan adanya pihak besar yang berada di balik kegaduhan tersebut.
Isu ini bukan kali pertama menimpa keluarga Jokowi. Sebelumnya, ketika dirinya mencalonkan diri sebagai presiden, Jokowi juga pernah digugat soal ijazahnya. Kini, serangan serupa kembali diarahkan kepada anak sulungnya yang baru saja memenangkan kontestasi politik nasional.
Gugatan Ijazah Gibran Capai Rp125 Triliun
![Seorang warga sipil bernama Subhan Palal selaku penggugat ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (8/9/2025). [Suara.com/Dea]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/08/10493-subhan-palal-penggugat-ijazah-gibran.jpg)
Kasus ini bermula dari gugatan ke Pengadilan Negeri yang menyoal keaslian ijazah SMA Gibran. Pihak penggugat menuntut ganti rugi hingga Rp125 triliun, jumlah yang mengejutkan publik karena terbilang tidak masuk akal.
Meski begitu, Jokowi tidak menolak gugatan tersebut. Baginya, sebagai warga negara yang hidup dalam negara hukum, setiap warga berhak menggugat, dan pihak yang digugat berkewajiban melayani serta menghadapi prosesnya.
“Semua gugatan akan kami layani. Semua proses hukum akan kami ikuti. Itu sudah menjadi kewajiban kami,” ujar Jokowi dalam keterangannya.
Jokowi: Saya yang Mencarikan Sekolah untuk Gibran
Jokowi kemudian memberikan penjelasan mengenai pendidikan anaknya. Ia menegaskan bahwa sejak awal dirinya yang mencarikan sekolah SMA untuk Gibran, sehingga tuduhan bahwa ijazah putranya palsu sangat tidak beralasan.
“Saya sendiri yang mencarikan sekolahnya. Jadi, bagaimana bisa dibilang ijazahnya bermasalah? Semua dokumen ada, semua jelas,” kata Jokowi.
Pernyataan ini juga menjadi bantahan langsung atas isu liar yang beredar, seolah ada manipulasi dalam perjalanan pendidikan Gibran. Jokowi menilai narasi semacam ini sengaja dimainkan untuk membentuk persepsi negatif di masyarakat.
Isyarat Adanya “Orang Besar”
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi menyampaikan bahwa kasus ini tidak mungkin bisa mencuat sebesar sekarang tanpa ada pihak yang mendukung di belakang layar. Menurutnya, pasti ada “orang besar” atau “dalang besar” yang sengaja membiarkan isu ini terus berkembang.
“Kalau tidak ada yang backup, tidak ada yang mendukung, tidak mungkin kasus ini bisa sebesar ini. Pasti ada orang besar di baliknya,” kata Jokowi menegaskan.
Meski tidak menyebutkan nama secara langsung, pernyataan tersebut menjadi sorotan publik. Banyak pihak menduga ada kepentingan politik tertentu yang ingin melemahkan legitimasi Gibran sebagai Wapres terpilih.
Sindiran Jokowi: Nanti Jan Ethes Bisa Ikut Dipermasalahkan

Jokowi juga menyampaikan keresahannya terhadap pola serangan politik yang menyeret hal-hal pribadi, termasuk pendidikan keluarga. Ia bahkan menyindir bahwa jika situasi semacam ini dibiarkan, bukan tidak mungkin cucunya, Jan Ethes, pun akan menjadi sasaran berikutnya.
“Kalau begini terus, nanti sampai Jan Ethes juga bisa dimasalahkan. Ini kan keterlaluan,” ujar Jokowi.
Sindiran itu menandakan bahwa Jokowi melihat pola serangan personal ini berpotensi berlanjut ke keluarganya yang lain.
Isu Ijazah, Pola Serangan Lama yang Diulang
Isu ijazah sebenarnya bukan barang baru bagi Jokowi. Saat ia maju sebagai calon presiden, tuduhan serupa juga diarahkan kepadanya. Meski kemudian terbukti tidak benar, kasus itu digunakan untuk menyerang kredibilitasnya.
“Dulu ijazah saya dipermasalahkan, sekarang Gibran. Besok bisa jadi cucu saya. Ini pola lama yang terus dipakai, padahal publik sudah paham bagaimana akhirnya,” kata Jokowi.
Hal ini menunjukkan bahwa serangan politik berbasis isu pendidikan dan dokumen pribadi menjadi strategi yang terus digunakan oleh pihak-pihak tertentu.
Reaksi Publik dan Pandangan Pengamat
Kasus gugatan ijazah Gibran mengundang reaksi beragam dari publik. Sebagian masyarakat menilai gugatan ini tidak masuk akal, terutama karena jumlah tuntutan yang terlalu besar. Namun, ada juga pihak yang menilai kasus ini tetap perlu dibuka di pengadilan agar menjadi jelas secara hukum.
Pengamat politik menilai, isu ini sarat muatan politik. “Serangan personal lewat isu ijazah ini pola klasik untuk delegitimasi. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kegaduhan ini?” ujar seorang analis.
Menurut pengamat, jika benar ada “orang besar” di baliknya, maka ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga bagian dari pertarungan politik menjelang transisi pemerintahan.
Gibran Tetap Fokus Jalankan Tugas

Sementara itu, Gibran Rakabuming Raka memilih untuk tidak terlalu banyak menanggapi isu ini. Ia tetap fokus menjalankan aktivitas politiknya sebagai Wapres terpilih mendampingi Prabowo Subianto. Tim hukum yang mendampingi Gibran menyatakan siap menghadapi seluruh proses pengadilan.
Sikap ini dianggap wajar karena Gibran kini sedang menyiapkan diri untuk tugas besar sebagai wakil kepala negara. Ia tidak ingin polemik ini mengganggu jalannya transisi pemerintahan.
Istana Tegaskan Stabilitas Pemerintahan Tidak Terganggu
Pihak Istana menegaskan bahwa polemik ijazah Gibran tidak akan memengaruhi jalannya pemerintahan. Jokowi masih menjalankan tugasnya sebagai Presiden hingga akhir masa jabatan, sementara pemerintahan baru di bawah Prabowo-Gibran juga sedang dipersiapkan.
“Semua akan tetap berjalan sesuai aturan. Gugatan ini urusan hukum, tidak akan mengganggu roda pemerintahan,” tegas seorang pejabat istana.
Pola Serangan Politik dalam Demokrasi
Kasus ijazah Gibran memperlihatkan bagaimana serangan politik personal kerap digunakan dalam demokrasi Indonesia. Serangan semacam ini tidak hanya diarahkan ke kandidat saat kampanye, tetapi juga bisa berlanjut setelah mereka terpilih.
Dalam banyak kasus, serangan berbasis isu pribadi memang lebih mudah membentuk opini publik karena memancing emosi. Namun, publik kini dinilai semakin kritis dan mampu membedakan antara isu yang benar-benar substantif dengan serangan politik yang dibuat-buat.
Jokowi: Hadapi dengan Kepala Tegak
Meski dihadapkan pada tuduhan dan gugatan besar, Jokowi menegaskan keluarganya akan menghadapi semua proses hukum dengan kepala tegak.
“Kami sudah sering menghadapi tuduhan macam-macam. Yang penting kami tetap bekerja untuk rakyat, tetap menjalankan pemerintahan dengan baik. Kalau ada gugatan, silakan. Nanti semuanya diuji di pengadilan,” tutup Jokowi.
Penutup
Polemik ijazah Gibran menunjukkan bahwa politik Indonesia masih diwarnai serangan personal yang kerap menjurus ke wilayah keluarga. Jokowi, dengan pengalamannya menghadapi isu serupa, tampak tidak kaget dan memilih untuk melayani semua proses hukum.
Namun, pernyataannya tentang adanya “dalang besar” membuat publik bertanya-tanya siapa sebenarnya pihak yang dimaksud. Apakah ini bagian dari strategi politik untuk melemahkan Gibran dan Jokowi menjelang transisi kekuasaan? Atau sekadar manuver politik yang tidak akan berdampak besar?
Yang jelas, kasus ini menjadi ujian bagi Gibran sebagai Wapres terpilih, sekaligus pengingat bahwa dalam politik Indonesia, serangan personal bisa datang kapan saja—bahkan kepada keluarga yang tidak terlibat langsung dalam politik.