Isu korupsi kuota haji kembali menjadi sorotan publik setelah Khalid Basalamah, pemilik biro perjalanan haji Uhud Tour, mengembalikan uang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024 di Kementerian Agama (Kemenag).
Tindakan ini memunculkan beragam pertanyaan, terutama mengenai posisi Khalid Basalamah dalam kasus ini: apakah dia korban dari sistem birokrasi yang rumit, atau justru bagian dari rangkaian kesalahan yang terjadi?
Pengembalian Uang: Tanggung Jawab atau Strategi Mitigasi?
Khalid Basalamah telah mengembalikan sejumlah uang kepada KPK terkait kasus korupsi kuota haji, meskipun jumlah pastinya belum diverifikasi. Sebagai saksi, ia dimintai keterangan pada 9 September 2025 mengenai proses perolehan kuota, khususnya pergeseran dari haji furoda ke haji khusus melalui PT Muhibbah Mulia Wisata milik Ibnu Mas'ud.
Khalid Basalamah telah mengembalikan sejumlah uang kepada KPK terkait kasus korupsi kuota haji, yang menjadi bukti kerjasamanya dalam penyidikan. Tindakan ini, meskipun jumlahnya belum pasti, dapat dilihat sebagai langkah bertanggung jawab untuk membersihkan nama dan menghindari risiko hukum. Namun, di sisi lain, pengembalian uang ini juga memicu spekulasi apakah itu merupakan pengakuan keterlibatan atau hanya upaya untuk melindungi reputasinya.
Korban Sistem yang Terjebak atau Bagian dari Permainan?
Terdapat dua pandangan berbeda mengenai kasus yang menimpa Khalid Basalamah. Di satu sisi, ia dianggap sebagai korban dari biro travel yang tidak profesional. Namanya memang digunakan untuk menarik jemaah, namun ia mengklaim tidak memiliki kendali penuh atas operasionalnya.
Keputusannya mengembalikan uang dari kantong pribadi dipandang sebagai bentuk tanggung jawab moral, bukan pengakuan bersalah, sekaligus upaya menjaga nama baiknya sebagai penceramah. Namun, pandangan lain berpendapat bahwa Basalamah tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Sebagai figur publik, namanya menjadi jaminan yang meyakinkan jamaah untuk berinvestasi.
Khalid Basalamah mengaku menjadi “korban” penipuan oleh PT Muhibbah Mulia Wisata milik Ibnu Mas'ud. Pihak PT Muhibbah mengklaim kuota haji tambahan itu "resmi dari Kemenag" dan menawarkan fasilitas VIP. Kasus yang merugikan negara lebih dari Rp1 triliun ini juga menyeret banyak pihak, termasuk mantan Menteri Agama.
Antara Klarifikasi, Reputasi, dan Integritas Ibadah Haji
Klaim Khalid Basalamah sebagai "korban" yang tertipu oleh tawaran resmi dan telah mengembalikan uang ke KPK tidak serta-merta mengeliminasi kemungkinan keterlibatannya. Untuk memastikan posisinya, apakah ia benar-benar korban atau bagian dari masalah, dibutuhkan verifikasi lebih lanjut dari pihak berwenang terhadap bukti verifikasi, dokumen perjanjian, dan mekanisme tawaran kuota yang terjadi.
Pengembalian uang oleh Basalamah adalah langkah penting, tetapi tidak mengakhiri semua pertanyaan. Tindakan ini membuka dua kemungkinan: apakah itu bentuk pertanggungjawaban tulus atau hanya langkah untuk memperbaiki reputasi.
Kasus ini juga menuntut transparansi penuh agar ibadah suci ini dapat dilaksanakan dengan amanah dan keadilan. Lebih dari sekadar masalah uang, kasus ini mempertaruhkan integritas penyelenggaraan ibadah haji, sehingga harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki mekanisme dan mengembalikan kepercayaan publik.