Di kampung kampung pesisir, menghadapi krisis iklim tidak dimulai dari istilah ilmiah atau laporan global, melainkan dari kebiasaan membaca tanda alam. Ketika cuaca tak lagi dapat diprediksi, masyarakat pesisir mencoba menyusun ulang cara memahami laut.
Pengetahuan lama tidak sepenuhnya ditinggalkan, tetapi dipadukan dengan pengalaman baru yang terus diuji oleh perubahan cuaca ekstrem.
Nelayan mulai memperhatikan pergeseran musim ikan yang semakin sulit ditebak. Jika dahulu arah angin dan fase bulan menjadi panduan utama, kini keputusan melaut lebih banyak diambil melalui musyawarah harian di tepi pantai.
Informasi tentang gelombang tinggi, angin kencang, atau hujan deras dibagikan secara lisan, dari satu perahu ke perahu lain. Dalam situasi krisis, pengetahuan menjadi milik bersama.
Beberapa komunitas mulai membatasi waktu melaut sebagai bentuk perlindungan diri. Keselamatan ditempatkan sebagai prioritas utama, meskipun keputusan itu berarti mengurangi potensi penghasilan.
Di tengah ketidakpastian hasil tangkapan dan harga pasar, langkah ini dipilih untuk mencegah kehilangan yang lebih besar. Prinsip bertahan hidup lebih diutamakan daripada mengejar hasil maksimal.
Krisis iklim juga mendorong diversifikasi mata pencaharian. Di banyak kampung pesisir, keluarga nelayan mengembangkan usaha sampingan seperti pengolahan ikan kering, terasi, atau produk olahan laut lain yang tidak sepenuhnya bergantung pada cuaca harian. Perempuan pesisir memainkan peran penting dalam strategi ini, menjaga agar dapur tetap menyala ketika laut tidak bersahabat.
Menjaga Pesisir sebagai Ruang Hidup
Menghadapi ancaman banjir rob, abrasi, dan intrusi air laut, masyarakat pesisir mengandalkan pendekatan berbasis ekosistem. #BelajarDariPesisir penanaman mangrove menjadi salah satu strategi utama yang tumbuh dari pengalaman langsung menghadapi garis pantai yang terus mundur.
Mangrove dipahami bukan hanya sebagai tanaman, tetapi sebagai benteng alami yang melindungi rumah, tambak, dan perahu.
Di beberapa wilayah, rehabilitasi mangrove dilakukan secara gotong royong tanpa menunggu proyek besar. Bibit dikumpulkan sendiri, ditanam perlahan, dan dirawat bersama.
Hasilnya tidak instan, tetapi memberi harapan jangka panjang. Mangrove menahan ombak, memperbaiki kualitas perairan, sekaligus menjadi habitat biota laut yang mendukung keberlanjutan perikanan.
Praktik silvofishery juga berkembang sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Tambak yang dulu bersifat eksploitatif mulai dipadukan dengan vegetasi mangrove. Pola ini membantu menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus mengurangi risiko gagal panen akibat perubahan kualitas air. Pengetahuan ini tidak lahir dari laboratorium, melainkan dari proses panjang mencoba dan gagal di lapangan.
Dalam menghadapi bencana pesisir, masyarakat juga mengandalkan arsitektur dan tata ruang tradisional. Rumah panggung tetap dipertahankan di banyak wilayah karena terbukti lebih adaptif terhadap genangan air. Jalur evakuasi informal dibentuk melalui kebiasaan dan ingatan kolektif tentang bencana masa lalu. Di tempat tempat tertentu, cerita rakyat dan kesenian tradisional menjadi sarana pendidikan kebencanaan lintas generasi.
Pendekatan ini sering kali luput dari perhatian kebijakan formal yang lebih menekankan pembangunan fisik berskala besar. Namun bagi masyarakat pesisir, adaptasi bukan sekadar proyek, melainkan bagian dari kehidupan sehari hari yang terus disesuaikan dengan kondisi alam.
Bertahan di Tengah Keterbatasan Energi dan Kebijakan
Cara masyarakat pesisir menghadapi krisis iklim juga terlihat dari upaya mengelola keterbatasan energi. Ketergantungan pada solar bersubsidi mendorong nelayan untuk merencanakan perjalanan laut secara lebih kolektif. Beberapa perahu berangkat bersama untuk menghemat biaya dan saling menjaga keselamatan. Konsumsi bahan bakar diatur seketat mungkin, bahkan jika itu berarti memperpendek jarak melaut.
Di tengah keterbatasan akses terhadap energi bersih, muncul inisiatif kecil berbasis komunitas. Panel surya skala rumah tangga mulai digunakan untuk penerangan, pendinginan ikan sederhana, dan kebutuhan dasar lainnya. Meski belum menjangkau seluruh nelayan, langkah ini menunjukkan upaya mandiri untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang mahal dan tidak stabil.
Masyarakat pesisir juga menghadapi krisis iklim melalui penguatan organisasi komunitas. Kelompok nelayan, koperasi, dan organisasi adat menjadi ruang berbagi informasi, memperjuangkan hak, serta membangun daya tawar terhadap pasar dan kebijakan. Dalam situasi krisis, solidaritas menjadi modal utama untuk bertahan.
Ruang ruang dialog publik seperti Cerita Laut Nusantara memperlihatkan bagaimana masyarakat pesisir memilih untuk bersuara. Melalui film dokumenter, pameran visual, dan diskusi terbuka, pengalaman menghadapi krisis iklim dibagikan ke luar kampung. Cerita tentang rehabilitasi mangrove, pengelolaan laut berbasis komunitas, dan ketangguhan sosial menjadi pengingat bahwa adaptasi telah berlangsung, meski sering tanpa dukungan memadai.
Krisis iklim memang menghadirkan ancaman yang terus membesar. Namun cara #SuaraHijau masyarakat pesisir menghadapinya menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar korban.
Mereka adalah pelaku adaptasi yang setiap hari merawat pengetahuan, menjaga ekosistem, dan menyusun strategi bertahan di tengah ketidakpastian. Tantangan terbesar bukan pada ketiadaan kemampuan, melainkan pada minimnya pengakuan dan dukungan.
Selama pengalaman masyarakat pesisir dijadikan pijakan kebijakan, upaya menghadapi krisis iklim tidak akan berhenti pada bertahan hidup, tetapi membuka jalan menuju keberlanjutan.
