Menilik Budaya Pamali di Desa Todang-Todang Sulawesi Barat

Ayu Nabila | Budi Prathama
Menilik Budaya Pamali di Desa Todang-Todang Sulawesi Barat
Ilustrasi budaya pamali. (Pixabay.com)

Bicara soal budaya tentu tidak lepas dari kebiasaan dan perilaku masyarakat yang dijalankan secara turun temurun, baik terkait soal budaya kegiatan maupun tata kehidupan masyarakat. Sehingga kebiasaan seperti itu menjadi keharusan yang mesti dijunjung tinggi dan terkesan menyalahi kehidupan ketika meninggalkannya apalagi ingin menghilangkan budaya. 

Seperti halnya pamali juga adalah bagian dari budaya yang dipercaya dari dulu hingga kini. Pamali diyakini sebagai budaya tuntutan yang harus ditaati dalam menjalani kehidupan. Biasanya pamali dikonotasikan sebagai sebuah larangan dan mengatur kehidupan masyarakat dalam melakukan aktivitas atau dengan kata lain harus sesuai dengan koridor pamali. 

Artinya, pamali memberikan syarat kepada manusia dalam aktivitasnya. Walau hari ini budaya pamali sedikit sudah ada yang mulai terkikis, tetapi di sisi lain juga masih banyak yang mempertahankan budaya pamali tersebut. 

Seperti halnya di desa Todang-Todang, kecamatan Limboro, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar). Kini praktek budaya pamali masih bercokol pada setiap masyarakat dan dijadikan sebagai budaya oleh masyarakat setempat. 

Ketika ada aktivitas masyarakat seperti acara pernikahan, anak melahirkan, bangun rumah, orang meninggal dunia, dan beberapa aktivitas masyarakat lainnya, tentu budaya pamali masih melekat sebagian. Misalnya ketika ada yang meninggal dunia, jadi kalau dalam budaya pamali di desa Todang-Todang sangat melarang orang lain di luar daerah yang menggali kuburan sebagai penggali pemula. Artinya harus orang dalam satu daerah dipercayai sebagai penggali pertama dan kebiasaan itu berjalan dari dulu di desa Todang-Todang. 

Ada juga ketika ada orang yang baru melahirkan, acara syukuran dan baca-baca atau membuat berbagai menu makanan juga ada yang melarang. Hal itu dipercayai untuk menghindari segala kemungkinan yang terjadi pada anak. Misalnya sangat dilarang membuat ketupat untuk syukuran baca-baca orang meninggal kalau di rumah itu ada orang yang baru melahirkan. Nanti setelah anak sudah lahir beberapa bulan baru bisa membuat menu makanan dengan berbagai jenis. 

Budaya-budaya itu masih dipercayai sebagai warisan leluhur yang harus dipertahankan. Mereka percaya bahwa ketika melanggar atau tidak memenuhi persyaratan budaya pamali, maka akan ada sesuatu yang akan terjadi dan penyebabnya adalah budaya pamali. Itu hanya sebagian contoh kecil budaya pamali di desa Todang-Todang dan tentu masih banyak lagi budaya yang lain. 

Menurut kepercayaan setempat, kenapa budaya pamali harus dipertahankan karena itu bagian dari kebiasaan nenek moyang bahkan kadang dianggap sebagai mustika yang mengandung ilmu sangat dalam. Masyarakat tidak akan bisa hidup hari ini kalau bukan dari nenek moyang mereka. Untuk itulah kenapa budaya nenek moyang harus dipertahankan. 

Pada kondisinya masyarakat seperti ini akan memandang waktu itu tidak berubah. Artinya masyarakat masih menjalankan aktivitas seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu. Itulah ciri dari masyarakat tradisional yang memandang waktu sama saja. Beda halnya dengan masyarakat modern yang menganggap waktu selalu berubah, masyarakat dulu tidak sama dengan masyarakat sekarang. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak