Trauma yang Beraroma Rasisme Mengantarkanku pada Pertemuan yang Hangat

Ayu Nabila | Maria Anggraeni Rachmawati
Trauma yang Beraroma Rasisme Mengantarkanku pada Pertemuan yang Hangat
Keberagaman dalam persahabatan 3 orang dengan latar belakang yang berbeda (Dok. Pribadi/Noni Lie)

Mereka adalah Wisnu dan Fenny. Wisnu, lelaki berdarah asli Yogyakarta dengan keluarganya yang memeluk erat agama muslim. Fenny, wanita cantik berhijab berdarah campuran Arab dan Jawa Timur. Mereka berdua adalah sahabat yang mengubah sudut pandangku, si minoritas, kepada sang mayoritas.

Aku adalah Noni Lie, wanita keturunan Tionghoa, beragama Katolik, dengan trauma masa kecil yang mendalam kepada sang mayoritas. Kisahku mungkin kisah dari sebagian minoritas, namun belum seberapa menyakitkan dengan kisah minoritas lainnya.

Terlahir di keluarga Katolik dengan menyandang marga Lie membuatku menjadi sedikit berbeda. Orang tuaku yang sempat trauma dengan kejadian kejam di era 1998, selalu berusaha melindungiku, anak bungsunya, terhadap diskriminasi-diskriminasi oknum mayoritas.

Menyekolahkanku di Yayasan Katolik sejak Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Pertama adalah salah satu cara mereka meminimalisir dikriminasi yang akan aku jumpai.

Namun, aku tetap tak luput dari diskriminasi yang terjadi di luar lingkungan sekolah. Sore itu, saat usiaku belum sampai 10 tahun, aku mengayuh sepeda merah mudaku dengan bersemangat untuk mengelilingi kompleks perumahan.

Lima belas menit sudah aku menikmati cerahnya sore itu dengan bersenandung lirih, sampai akhirnya bertemu mereka, segerombolan anak seusiaku berkisar lima orang yang dengan lantang meneriakiku “China! Ada China!” sambil melempariku dengan batu seolah menjadi keturunan Tionghoa merupakan sebuah dosa besar.

Sebagian batu mengenai sepedaku, sebagian lagi dengan tepat sasaran mengenai tubuhku. Lantas, dengan sangat ketakutan aku mengayuh sepedaku secepat mungkin untuk menuju tempat yang aku sebut rumah.

Pulang dengan tangisan disertai beberapa bagian tubuhku yang membiru, menimbulkan tanda tanya besar dari orang tuaku. Setelah ku ceritakan, mereka berusaha menenangkanku dengan tidak mengaitkan kejadian itu terhadap suku dan agama tertentu.

Kisahku tak berhenti di situ. Memori pahit itu seolah terputar jelas dalam ingatanku saat aku, Noni Lie, sedang mencoba menuliskan kisah lampau ini di usia 22 tahun.

Cerita itu sekitar 12 tahun yang lalu, saat sepulang sekolah, aku berusaha mengakrabkan diri bersama sang mayoritas sekitar rumah. Mereka baik, tapi tidak dengan beberapa orang. Mencoba bermain bersama, namun yang terjadi adalah penolakan.

Penolakan yang terjadi tidak hanya sekadar kata-kata, dengan alas kaki, salah seorang dari mereka memukul lenganku, disertai dengan dua diantaranya yang mencubit beberapa bagian tubuhku hingga memar biru. Teriakan penolakan mereka tentu dengan membawa kata “China,” entah apa esensi dan maksudnya.

Aku pulang berjalan kaki dengan tubuh bergetar ketakutan disertai isak tangis. Kisah tersebut tentu kuceritakan kepada orang tuaku. Dua kali aku pulang dalam keadaan memar hanya karena darah Tionghoa yang mengalir di tubuhku.

Apa yang membuatmu begitu membenciku? Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk memilih pada keturunan apa aku akan dilahirkan. Tak lama setelah kejadian itu, keluargaku memutuskan untuk pindah rumah. Kejadian menyakitkan itu membuatku tidak berani berinteraksi dengan sang mayoritas di sekitar rumah baruku.

Tibalah di hari pertama aku mengenakan seragam putih abu-abu. Sekolahku kali ini bukanlah sekolah Yayasan Katolik, namun sekolah negeri unggulan di kota kecil ini. Orang tuaku tidak mempunyai pilihan lain karena tidak ada sekolah Yayasan Katolik pada tingkat ini.

Hari pertama sudah membuatku cukup lelah untuk beradaptasi dengan sang mayoritas. Belum, belum ada yang mendiskriminasiku. Hanya saja traumaku yang disebabkan oknum mayoritas mendiskriminasi pikiran positifku. Semuanya berjalan baik-baik saja, hingga tahun keduaku sekolah.

Ketika aku melakukan sebuah kesalahan kecil, namun yang keluar dari mulut salah satu diantara mereka adalah “Dasar China!”

Kesalahanku bukanlah karena aku berdarah Tionghoa, namun murni karena kecerobohanku. Bahkan, dengan keturunan apa pun bisa melakukan kesalahan yang aku lakukan.

Aku sudah lebih dewasa, usiaku 17 tahun kala itu. Tentu pada saat itu aku bisa menyikapinya dengan lebih berani dan bijak. Melaporkan tindakan rasis itu kepada tenaga pendidik di sekolahku adalah jalan yang benar menurut Noni Lie, diusianya yang masih 17 tahun.

Sayang sekali, meski dilaporkan, tidak ada efek jera pada si oknum mayoritas. Tidak apa-apa, setidaknya aku tidak pulang dalam keadaan biru disekujur tubuhku.

Bersekolah di sekolah negeri sedikit banyak membuatku bergaul dengan sang mayoritas. Kebanyakan dari mereka baik, namun tetap saja, hubunganku dengan sang mayoritas hanya sekedar teman sekelas, berdiskusi seusai kuis matematika yang sulit, berbagi PR layaknya anak SMA pada umumnya, bukan teman yang bisa mengobrol dari hati ke hati apalagi berdiskusi masalah pribadi.

Aku mengurung diri dari pergaulan sang mayoritas karena luka masa lalu yang sulit disembuhkan. Hingga perjalanan menuntunku bertemu dengan mereka, Wisnu dan Fenny.

Menyandang status mahasiswa baru dengan lingkungan baru di Yogyakarta, aku masih menjadi Noni Lie yang sama. Agenda pertamaku untuk mengatasi rasa ketakutanku sebagai minoritas adalah mencari teman yang sama-sama berdarah Tionghoa.

Satu dua tahun, aku masih tidak mempunyai teman akrab dari sang mayoritas. Ditambah, ketika dunia harus menghadapi pandemi yang mengakibatkan sedikit hambatan dalam dunia pergaulan diperkuliahanku.

Pertengahan 2021, pada suatu kondisi, akhirnya semesta mempertemukanku dengan Wisnu dan Fenny. Dua manusia pertama dengan latar belakang yang amat berbeda, namun mampu membuatku pada titik nyaman dengan kehadiran mereka, bagian dari sang mayoritas.

Wisnu dan Fenny menjadi temanku berbagi cerita, masalah, dan bertukar pikiran tentang masa depan. Wisnu, lelaki hebat dengan sopan santun yang luar biasa, bahkan tidak pernah melontarkan candaan yang berkaitan dengan etnisku. Dia lelaki yang pembawaannya amat tenang, berwawasan luas, dan berpikiran terbuka.

Fenny, wanita berhijab pertama yang aku anggap sahabat. Dia adalah sosok wanita yang ceria dan kuat. Sama seperti Wisnu, dia tidak pernah melontarkan candaan yang berkaitan dengan etnisku.

Jika untuk menceritakan semua kebaikan mereka, rasanya sebanyak karya yang dituliskan Chairil Anwar pun juga tidak akan cukup. Kisah ini adalah sebagian kecil kebaikan mereka yang tanpa mereka sadari perlahan-lahan mengubah sudut pandangku, si minoritas, terhadap sang mayoritas.

Diawali dengan diskusi ringan bersama Fenny, dia yang dengan ceria menceritakan kehidupannya sebagai seorang Fenny selama ini. Bagaimana masa kecilnya, perannya sebagai dirigen saat upacara bendera, kehidupannya di pesantren, dan bagaimana dia memperdalam Bahasa Inggris di Kediri.

Menarik dan masih kuingat hingga sekarang ketika Fenny menceritakan kehidupannya di pesantren, kisah ini merupakan kisah baru yang belum pernah aku dengar sebelumnya.

Bermula dari Fenny remaja yang mulai tertarik dengan lawan jenis. Bertukar surat dengan laki-laki adalah romansa sederhana di masa itu. Akan tetapi, indahnya romansa itu harus berakhir ketika sang pengurus pesantren menemukan surat-surat Fenny dengan si pria.

Sebagai seorang yang tidak pernah kenal dengan cerita kehidupan seorang muslimah sebelumnya, tentu terkejut mengapa hal tersebut menjadi masalah?

Lambat laun aku mengerti, bahwa kehidupan seorang santri tentu harus menghindari hal-hal yang berbau zina, termasuk menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.

Cerita lain yang membuatku kagum kepada sosok Fenny adalah ketika dia memperdalam Bahasa Inggris di Kediri. Sahabatnya di sana merupakan seorang Katolik, namun lingkungannya tidak ada yang sama seperti dia. Suatu saat di hari Minggu, Fenny mengingatkannya untuk ke gereja karena sudah 1 bulan Fenny tidak melihatnya ke gereja.

Setelahnya, Fenny mengerti bahwa sahabatnya tidak ada teman Katolik yang dapat menemaninya pergi ke gereja karena kala itu Kediri merupakan kota rantauan baru yang mereka pijak.

Fenny dengan rendah hati menawarkan diri untuk menemani sahabatnya ke gereja. Sudut pandangku mengenai sang mayoritas mulai bergeser ke arah yang lebih positif, ketika Fenny menceritakan hal itu.

Aku mulai berani membuka diri untuk menjadi teman baiknya. Ketakutanku akan oknum mayoritas mulai sembuh dengan cerita dari sudut pandang Fenny, seorang muslimah dengan toleransi keberagaman yang cukup matang.

Pertemuan dengan Wisnu merupakan ketidaksengajaan dari semesta yang sangat aku syukuri. Kerendahan hatinya, caranya bicara, pemikirannya yang luas terhadap suatu hal dengan tidak mengacu hanya pada satu sudut pandang, sukses menghapus secara perlahan memori tentang laki-laki dari masa kecilku yang membuat sekujur tubuhku memar biru.

Ya, oknum mayoritas yang sukses membuat badanku memar sampai dua kali, mereka semua adalah laki-laki. Kehangatan yang aku rasakan tidak hanya dari sosok Wisnu saja, namun juga dari keluarganya.

Sore itu, aku dan Fenny mengujungi rumah Wisnu. Ini adalah pengalaman pertamaku bertamu di rumah keluarga temanku yang muslim. Awalnya aku sedikit kikuk dan takut karena aku bukan bagian dari mereka, sang mayoritas.

Namun, itu semua terpatahkan ketika bapak dari Wisnu melontarkan beberapa candaan yang sukses membuatku tertawa terbahak-bahak. Ibunya dengan hangat juga selalu menawarkan kami untuk makan masakannya. Masakan khas jawa, manis.

Satu pengalaman yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, Wisnu mengajakku bermain di sungai dekat rumahnya. Dahulu, sungai dekat rumahku selalu menjadi tempat bermain anak-anak seusiaku, namun aku tidak pernah berani mendekat, takut tidak mau berteman denganku. Hari itu dengan sederhana mempunyai makna kebahagiaan tersendiri bagiku.

Tertawa lepas, bermain di alam, ditemani dengan anak-anak kecil penduduk desa setempat. Akhirnya, aku merasakan hal sederhana yang seharusnya semasa kecil aku rasakan.

Cerita tentang Wisnu tidak berhenti di sini, pernah di suatu titik terendahku, aku ingin mengunjungi Gereja Ganjuran. Kala itu waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Wisnu dengan rendah hati menawarkan diri untuk menemaniku berdoa di Ganjuran.

Aku berdoa cukup lama, bercerita kepada Tuhanku sampai tiba disaat lonceng gereja berdenting tiga kali menandakan tepat jam dua belas malam. Di ruang tunggu, Wisnu sudah seorang diri di sana.

Ya, Ganjuran hanya menyisakan kami berdua. Satu jam Wisnu menunggu tanpa mengeluh. Bersyukur sekali rasanya, memiliki teman yang amat baik dengan tingkat toleransi yang tinggi.

Pada paragraf terakhir tulisan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Yogyakarta sebagai tempat perjumpaanku dengan mereka, sekaligus saksi sembuhnya lukaku dari pahitnya diskriminasi di masa kecil. Sudut pandangku, si minoritas, kini tak seburuk itu kepada sang mayoritas.

Keberanian untuk membuka diri kepada sang mayoritas sungguh tidak akan ada jika dua manusia baik ini tidak hadir dihidupku. Maka, aku persembahkan tulisan ini untuk mereka berdua, sahabat terbaik yang berhasil mengubah sudut pandang serta ketakutanku terhadap sang mayoritas. Ya, mereka adalah Wisnu dan Fenny.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak