Perubahan iklim melahirkan sejumlah tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi sektor pertanian. Seiring dengan naiknya temperatur Bumi, sistem pertanian yang memberi makan miliaran orang semakin rentan terhadap stres panas.
Tanaman yang sangat penting bagi ketahanan pangan -- seperti kedelai, padi, dan gandum -- terancam kehilangan produktivitas yang signifikan, yang dapat membahayakan kemampuan kita untuk memenuhi permintaan nutrisi dari populasi dunia yang terus berkembang.
Menurut para ahli, kita perlu melipatgandakan produksi tanaman pangan pada tahun 2050 mendatang untuk memberi makan 9,8 miliar orang. Namun, tren saat ini menunjukkan bahwa kita masih jauh dari mencapai tujuan tersebut. Lantas, apa yang perlu kita lakukan?
Tantangan stres panas pada tanaman
Stres panas terjadi ketika tanaman, termasuk tanaman pangan, terpapar suhu yang melebihi kondisi pertumbuhannya yang optimal. Suhu yang tinggi dapat mengganggu proses fisiologis utama seperti fotosintesis, yang menyebabkan penurunan pertumbuhan dan hasil yang lebih rendah.
Bagi tanaman pangan seperti kedelai, padi, dan gandum -- elemen utama dari pasokan pangan global -- stres panas dapat berujung pada kehilangan hasil panen yang signifikan, buntut dari adanya gangguan pada tahap-tahap kritis pertumbuhan tanaman, seperti pada fase berbunga dan pengisian biji.
Seiring dengan meningkatnya temperatur Bumi kita yang diikuti dengan semakin sering dan intensnya gelombang panas, memahami bagaimana melindungi tanaman dari stres panas menjadi hal yang sangat penting.
Bagaimanapun, jika sektor pertanian tidak mampu beradaptasi dengan perubahan iklim, ketahanan pangan kita akan terancam. Oleh karena itu, para peneliti saat ini semakin giat mencari cara-cara untuk merekayasa tanaman pangan yang lebih tahan terhadap panas sehingga dapat terus menghasilkan hasil panen yang tinggi di tengah dunia yang semakin hangat.
Studi Terobosan dari Proyek RIPE
Salah satu terobosan terbaru terkait pengembangan tanaman pangan yang lebih tahan terhadap stres panas dilakukan oleh tim peneliti, yang tergabung dalam proyek bernama Realizing Increased Photosynthetic Efficiency (RIPE).
Lewat proyek uji-coba ini, tim peneliti RIPE mengupayakan peningkatan efisiensi fotosintesis pada tanaman pangan utama. Proyek ini menggabungkan kolaborasi internasional dari para ilmuwan yang fokus mengembangkan tanaman yang dapat mengubah sinar matahari menjadi produk pangan dengan lebih efisien.
Inovasi terbaru dalam proyek ini melibatkan pemodifikasian jalur metabolik pada tanaman untuk meningkatkan respons mereka terhadap stres panas. Tim peneliti RIPE mengembangkan tanaman yang direkayasa dengan jalur fotorespirasi yang dimodifikasi.
Fotorespirasi adalah proses yang terjadi pada tanaman ketika mereka menyerap oksigen alih-alih karbon dioksida selama fotosintesis, terutama di bawah kondisi stres panas. Hal ini mengurangi efisiensi fotosintesis, terutama pada suhu tinggi.
Dengan merancang beberapa jalur metabolik alternatif untuk fotorespirasi, para peneliti menciptakan tanaman yang dapat menghindari atau mengurangi inefisiensi ini.
Paul South, salah seorang peneliti RIPE, seperti dikutip earth.com, mengatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan rekayasa, kita dapat merancang beberapa jalur metabolik alternatif untuk fotorespirasi.
“Pengujian tim peneliti di lapangan menunjukkan peningkatan produktivitas, yang membawa proyek ini maju dengan signifikan, dengan menunjukkan bahwa tanaman yang kami rekayasa dapat bertahan terhadap stres suhu ekstrem,” jelas South.
Hasil uji-coba di lapangan memang sangat mencengangkan. Tanaman yang direkayasa menghasilkan biomassa 26 persen lebih banyak dibandingkan tanaman tipe liar yang dibudidayakan di bawah kondisi suhu yang sama.
Selain itu, tanaman yang dimodifikasi menunjukkan penurunan kerugian hasil panen sebesar 15 persen di bawah stres panas, sebuah peningkatan signifikan dibandingkan dengan tanaman yang tidak dimodifikasi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jalur fotorespirasi yang dimodifikasi tidak hanya memungkinkan tanaman untuk lebih tahan terhadap temeratur tinggi, tetapi juga memungkinkan mereka untuk terus tumbuh dan menghasilkan panen dengan tingkat efisiensi yang lebih baik.
Dengan meningkatkan kemampuan tanaman untuk mengatasi stres panas, tanaman yang direkayasa ini bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan tingkat produksi pangan di daerah-daerah yang rentan mengalami gelombang panas ekstrem.
Implikasi untuk ketahanan pangan
Sudah barang tentu, seiring dengan meningkatnya temperatur Bumi dan semakin sering pula terjadinya stres panas, tanaman pangan yang berhasil direkayasa dapat menjadi modal yang sangat berharga untuk memastikan ketahanan pangan penduduk Bumi di masa depan.
Dengan meningkatkan ketahanan tanaman pangan seperti kedelai, padi, dan gandum terhadap stres panas lewat rekayasa jalur fotorespirasi, para petani di daerah yang rentan terjadinya stres panas diharapkan bisa mempertahankan produktivitas hasil panen mereka meskipun terjadi gelombang panas ekstrem.
Selain itu, rekayasa tersebut dapat membantu mengurangi kesenjangan yang semakin besar antara meningkatnya permintaan pangan dan keterbatasan pasokan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Dengan kata lain, lewat metode rekayasa tanaman ini bisa menjadi pembuka jalan menuju pangan masa depan tatkala tanaman pangan kita dapat terus tumbuh di bawah kondisi ekstrem. Dengan demikian, mampu menjaga stabilitas dan ketahanan pangan global.
Solusi rekayasa yang telah diujicoba oleh tim peneliti RIPE, yang berbasis pada biologi sintetik -- yang menggunakan prinsip rekayasa untuk merancang dan membangun bagian-bagian biologis, perangkat, dan sistem baru -- sejatinya menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan dapat menjawab tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Penggunaan biologi sintetik dalam pertanian memang semakin meningkat seiring dengan upaya para peneliti untuk memodifikasi tanaman guna mengatasi tantangan tertentu seperti stres panas, kekeringan, dan ketahanan terhadap hama.
Terobosan yang dilakukan tim peneliti RIPE menunjukkan kepada kita bahwa biologi sintetik bisa memainkan peran kunci dalam membentuk masa depan pertanian, lantaran memungkinkan pengembangan tanaman pangan yang lebih tangguh dan lebih mampu memenuhi tuntutan dunia yang terus berkembang dan berubah.
Meskipun prospek untuk tanaman pangan yang direkayasa ini sangat menjanjikan, jalan menuju adopsi metode ini secara luas bukanlah tanpa tantangan. Kerangka regulasi, penerimaan publik, dan kebutuhan untuk penyempurnaan lebih lanjut dalam uji lapangan akan memerlukan upaya dan kolaborasi yang terus-menerus di antara komunitas ilmiah, kalangan pertanian, dan pembuat kebijakan.
Terlepas dari hal tersebut, hasil yang dicapai tim peneliti RIPE memberikan harapan bahwa dengan intervensi teknologi yang tepat, kita sesungguhnya dapat mengurangi dampak terburuk perubahan iklim terhadap sistem pangan kita.
Inovasi dalam rekayasa tanaman untuk meningkatkan ketahanan terhadap panas merupakan langkah maju yang signifikan dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan meningkatkan kemampuan tanaman untuk bertahan terhadap panas ekstrem dan meningkatkan produktivitasnya secara keseluruhan, kita bakal mengatasi dua masalah paling mendesak yang dihadapi sekto pertanian saat ini: perubahan iklim dan ketahanan pangan global.
Apa yang telah dicapai oleh para peneliti RIPE menandai pula langkah penting dalam era baru pengelolaan tanaman pangan dengan jalan menggabungkan ilmu pengetahuan canggih dengan kebutuhan mendesak untuk adaptasi terhadap iklim, demi memastikan bahwa generasi mendatang memiliki sumber pangan yang cukup untuk menopang kehidupan di Bumi kita yang kian panas.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS