Gubernur Jawa Barat atau yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM) menginisiasi program kerja yakni mengirim siswa nakal atau ”bermasalah” ke barak militer.
Program yang disebut ”pembinaan karakter” itu akan dilangsungkan selama kurang lebih 6 bulan. Harapannya, setelah berada di barak selama 6 bulan, siswa tersebut tidak akan membuat masalah lagi.
Namun rupanya, bukan selama 6 bulan, durasi waktu pembinaan di barak militer tersebut akan dilaksanakan selama 30 hari yakni 2 hari masa orientasi, 14 hari level dasar, kemudian 14 hari level lanjutan. Level ini disesuaikan dengan kebutuhan, perkembangan, capaian, kompetensi dan perilaku peserta.
Program semimiliter ala Kang Dedi Mulyadi ini tentu saja menuai pro dan kontra. Menteri HAM Natalius Pigai pun bahkan menyebut jika berhasil, program KDM ini sebagai pilot project yang bisa direplikasi di tingkat nasional.
Program KDM ini cukup mendapat dukungan tidak saja dari para pemangku kepentingan, meski ada pula yang tidak sependapat. Salah satunya wali murid asal Bekasi yang melaporkan KDM ke Komnas HAM. Lantas, apakah mendidik dan membina siswa nakal--bermasalah harus dengan cara militer?
Membahas urusan anak seperti ini, barangkali pembaca pernah mendengar pepatah Afrika, “it takes a village to raise a child,” artinya, butuh orang sekampung untuk membesarkan anak. Saya sendiri sangat sepakat dengan hal itu. Membesarkan anak rupanya membutuhkan kolektivitas dan dukungan komunitas.
Dengan demikian, masyarakat pun punya andil dalam pembentukan karakter anak. Seperti halnya pejabat kepala daerah seperti KDM yang turun gunung menyelesaikan permasalahan warga di wilayahnya. Namun di sisi lain, orang tua di rumah tetaplah menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak.
Kolom ini ingin menyuarakan bahwa mengirim anak-anak atau siswa bermasalah seperti digagas KDM bukanlah semata solusi efektif. Ada beberapa alasan upaya tersebut mestinya tidak perlu sejauh itu atau dikaji ulang.
Pertama, definisi anak nakal atau bermasalah yang menjadi peserta kegiatan. Tidak jelas kategori yang didasarkan. Apakah nakal itu sekadar tawuran, bolos terlambat sekolah. Atau hal-hal yang sudah mengarah kriminalitas seperti siswa mabuk minuman keras, terlibat pelecehan seksual atau kelompok (geng) dengan menggunakan senjata tajam.
Pemahaman atau definisi nakal dan bermasalah ini harus jelas baik secara psikologis, budaya dan sosial. Hal ini agar tepat penanganan seperti apa yang dibutuhkan anak dan remaja.
Selain itu, perlu kita memahami, kenapa bisa atau mengapa ada anak nakal tersebut? Dengan begitu, kita bisa mengarahkan, membina agar mereka tidak kembali atau terjerumus ke hal-hal yang negatif.
Kedua, seperti biasa, pemerintah (daerah) selalu menerapkan kebijakan yang kerap kali lahir tanpa kajian akademik dan pandangan pakar. Semestinya pemerintah daerah selain menangani anak-anak atau siswa yang memang sudah bermasalah, bisa berfokus pada upaya preventif.
Sebagai misal, diadakan peningkatan peran BK (Bimbingan Konseling) yang ada selama ini atau menyediakan pusat layanan psikologi. Hal itu bisa diperkuat dalam peran guru bimbingan konseling atau melatih para guru di bidang pedagogi.
Dengan demikian, peran guru di sekolah menjadi fasilitator pendidikan yang tidak hanya fokus bidang akademik, tapi juga karakter siswa.
Dari sini, peran guru tidak dikesampingkan dan dipertanyakan saat militer mengambil alih di pembinaan barak. Guru juga tidak perlu khawatir dikriminalisasi saat menghukum siswa jika memang siswa tersebut bersalah. Guru jelas punya peran dalam mendidik dan membina siswa di sekolah.
Selanjutnya, orang tua sebagai pendidik pertama dan utama senantiasa terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan. Mereka bisa diberi mentoring, pengarahan, seminar parenting, dan semacamnya dalam rangka proses pendidikan dan pengasuhan anak.
Selain itu, tokoh agama juga sangat tepat jika dapat ikut andil dalam pembinaan karakter anak nakal atau siswa bermasalah ini. Dengan demikian, pembinaan, pendidikan karakter yang sudah diimplementasikan menjadi maksimal karena tidak saja membina anak menjadi disiplin, patuh tapi juga empatik dan religius.
Ketiga, ide mengirim siswa nakal bermasalah bisa jadi melahirkan label siswa ”gagal” setelah dari barak. Menurut salah satu penuturan anggota TNI pelatih dalam suatu wawancara di berita yang saya baca, mereka sebut siswa-siswa tersebut merupakan siswa ”terpilih”. Namun tidak dijelaskan terpilih dalam konteks apa.
Selain nakal, bermasalah kategori tidak jelas yang dijelaskan sebelumnya, kata terpilih di sini juga cukup ambigu. Terpilih dalam konteks negatif atau positif.
Rasanya lebih banyak terpilih sisi negatif jika dirunut dari ide awal program ini. Apalagi jika tidak ada penanda atau capaian apa yang memperlihatkan bahwa telah ada perubahan sikap dan perilaku selama pendidikan di barak.
Penutup
Saya kira, upaya KDM membina siswa di wilayahnya adalah kebijakan yang tepat dan berpihak pada ada anak. Namun, menurut saya cara semimiliter dibutuhkan namun tidak perlu sampai harus mengirim mereka ke barak dalam kurun waktu tertentu.
Terlebih, alasan program tersebut dijalankan dengan harapan mereka akan disiplin dan pendidikan semimiliter akan mengubah sikap dan perilaku mereka. Anak-anak nakal atau siswa bermasalah tentu harus dipahami terlebih dahulu akar masalah yang mereka hadapi.
Selama ini, lingkungan militer memang identik dengan ketaatan, hierarkis, komando yang tanpa banyak ruang diskusi. Sementara itu, lingkungan pendidikan merupakan tempat kita bisa bebas berpikir, berdasarkan diskusi, dialog, refleksi, dan penalaran kritis. Kedua kondisi ini sangat berbeda secara filosofis.
Dengan demikian, barak militer bagi siswa nakal ditolak bukan berarti antidisiplin, namun pendidikan dan pengasuhan memerlukan pendekatan ilmiah, sisi empati dan ruang inklusif.
Dengan demikian, kolaborasi diperlukan dari semua pihak untuk permasalahan pendidikan anak-anak siswa ”nakal” dan ”bermasalah” melalui program yang melibatkan guru, orang tua, praktisi pendidikan, tokoh agama hingga militer. Generasi yang tangguh baik emosional dan spiritualnya akan lahir jika kebijakan yang dijalankan manusiawi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS