Senja Kala Aku Memandang

Tri Apriyani | Budi
Senja Kala Aku Memandang
Ilustrasi Senja. (Pixabay)

Aku duduk di depan gubuk tua.
Gubuk tempat aku berpijak saat hari-hari kemarin waktu pikiranku masih polos.
Gubuk tua rumah perjuanganku sampai saat ini.
Hingga kini pun masih menyimpan kenangan ketika aku duduk lagi di depan gubuk tua.

Ku duduk dan pikiran tak bisa fokus.
Di depan jua ada sosok perempuan pejuang yang tangguh.
Kadang ku diam dan mulai untuk berpikir mau ngomong apa.
Senja di sore hari, namun alam nampak mendung.

Aku coba melirik pada gedung tinggi di hadapan sana.
Gedung yang baru saja di bangun.
Namun pikiranku berkata kalau ia akan menjadi ladang membisnis pendidikan.
Gedung-gedung tinggi itu pun di kelilingi pohon-pohon hijau.

Aku coba fokuskan pikiranku.
Menilai kehidupan dengan positif walau hidup di atas onani-onani para penguasa.
Walau pikiran ini seakan aneh dan ngaco.
Namun hatiku jua berkata seperti itu, apakah aku keliru?

Senja pun kini mulai menjauh dan pergi.
Aku masih asyik menikmati sore dengan penuh perasaan.
Dan lagi-lagi alam kini mulai menggelap.
Suara azan pun kini terdengar dan memanggil.

Kenapa aku masih sulit untuk bangkit dari tempat dudukku.
Padahal malam sudah menampakkan dirinya.
Aku masih berpikir atas sadisnya hidup ini.
Bahkan pikiranku pun terbawa pada gedung baru itu.

Ya, gedung baru yang aku pandang dari kejauhan.
Gedung itu dibangun atas dasar ladang ilmu pengetahuan.
Tempat para mahasiswa menuntut ilmu.
Namun pikiranku malah memberontak dan berpikir aneh, gedung itu akan di tempati oleh orang-orang rakus dan haus.

Gubuk Marhaenis, 19 Agustus 2021

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak