Di bawah titik penat kuasa kehidupan membaur pada lukisan raga kian lenyap. Tak ada arti membawa raga yang terhenti selalu. Menemui titik penat pada hiasan kebusukan ulah. Ulah yang terlampaui dari masa muda hingga menemui masa senja raga. Berjuta ungkapan penyesalan melibas pikiran semakin tak sadar.
Lepasnya rupa raga yang tercerabut bertahap dari kuasa-Nya. Rupa kehidupanku dalam gemuruh kemewahan telah membutakan iman. Seolah iman telah memudar menjauh petikan seruan Illahi.
Bergerak pelan raga terlewati pajangan keangkuhan berbaur ulah culas. Ulah culas dengan menggapai segala yang kuinginkan. Tanpa menatap baik atau buruknya yang kuperbuat. Mengubah haluan langkah semakin terpisahkan dimensi rupa dari Illahi.
Lestari kerendahan ulah kian membungkus sanubari yang menghitam. Menghitam tak ada kendali iman. Keriuhan berlanjut membaur saujana pikiran berkata penuh kekacauan. Bias hantaran keruhnya iman melempar rupa raga amat jauh.
Terkapar pada keringnya tanah dalam kuasa nestapa. Dipenuhi jutaan rasa penyesalan. Tenggelam dalam genangan kemewahan harta. Misteri nasib kehidupan manusia tak bisa menjawab kapan manusia masih bisa berdetak.
Hadirnya masa senjakala rupa raga tak kuat lagi seperti kala usia muda. Buah karma dari ulah culasku menuntun langkahku menemui titik kehancuran. Berharap tangan kasih-Nya masih mau meneduhkan ragaku yang semakin busuk. Upaya menggenggam kuasa ampunan-Nya selama nyawa masih berembus sebelum titik akhir kehidupan menyapa raga.