Oktober 2013 silam, di salah satu stasiun televisi Indonesia terdapat acara yang sangat saya gemari waktu itu. Harus saya luangkan waktu satu jam, demi tidak ingin ketinggalan acara komedi tersebut. Acara yang selalu membuat tawa itu tayang setiap malam Senin sampai Jumat. ILK (Indonesia Lawak Klub) namanya, mengusung tagline “Mengatasi Masalah Tanpa Solusi.”
Notulen yang ditugaskan merangkum pembicaraan para panelis itu adalah Maman Suherman, lebih akrabnya dipanggil Kang Maman. Dengan jatah waktu 5-10 menit Kang Maman disilakan membacakan hasil diskusi yang berlangsung sepanjang acara.
Buku ini merupakan percikan dari hasil diskusi ILK yang ditambah dengan sejumlah data penguat oleh Kang Maman. Ia juga menampilkan beberapa catatan penting tentang berbagai hal yang melintas di benaknya.
Buku ini memuat beberapa tema; cinta, keluarga dan politik. Kang Maman menulisnya, “Kala Cinta Memanggilmu, Jangan Berpaling”, “Harta yang Paling Berharga adalah Keluarga”, “Politik Bukan Perkumpulan Itik yang Cuma Bisa Membebek” dan “Potpourri; Tidak Bhinneka, Bukan Indonesia.”
Yang bertema cinta, terdapat beberapa kalimat yang menarik perhatian saya. Berikut salah satu petikannya:
Di dalam kata “PASangan” ada kata “PAS”. Jika tidak ada kata “PAS”, cuma jadi “angan” (hlm. 4).
Untuk jadi pasangan harus melalui banyak tahapan “pas”. Harus pas di mata, pas di hati, pas menurut orang tua, pas hasil istikharahnya, dan pas-pas yang lain.
Ingat, di dalam kata “SETIA” ada kata “IA”. Setia adalah hanya “SE”, hanya satu dengan “IA”, tak ada lagi mereka yang lain. Di dalam kata SETIA ada deklarasi “SE-IA”.
Terhadap lelaki keren, ingat ada “jebakan” di dalamnya. Di dalam kata “KEREN” ada kata “KERE”. Yang “KEREN” bisa saja “KERE” alias miskin dan superminim dalam soal kesetiaan. Tetapi, jangan lupa, di dalam kata “GANTENG” ada kata “ANTENG”, alias lelaki ganteng pun bisa setia dan anteng hanya dengan satu perempuan (hlm. 42).
Kang Maman memang tidak diragukan soal main kata, seolah spontanitas, kata-kata itu meluncur dari pikirannya tanpa butuh waktu lama untuk merenung mengolahnya.
Dan yang paling sangat mengesankan bagi saya adalah kalimat Kang Maman yang terdapat dalam tema keluarga. Tentang ibu.
Kang Maman mengisahkan seorang anak perempuan yang sangat benci kepada ibunya, lantaran indera penglihatan ibunya cacat sebelah. Ia tak tahan dengan ejekan teman-temannya yang menyebutnya “Anak Si Buta”. Hari berlalu, si ibu jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kemudian ada seseorang menyodorkan surat kepada sang anak, “Ini dari almarhumah ibumu,” katanya sambil berlalu. Sang anak lalu membacanya perlahan.
Nak, maafkan Bunda jika selama ini membuatmu malu.
Mata Bunda memang cacat sebelah. Buta.
Bunda hanya ingin memberi tahu, ketika kecil kamu terjatuh, hingga buta sebelah matamu.
Bunda tak tega melihatnya. Bunda tak mau kamu menderita sepanjang hidupmu. Karenanya, Bunda memberikan mata Bunda sebelah untukmu, anakku.
Ibu tidak peduli harus kehilangan sebelah mata, asalkan mata dan wajah permata hati Bunda kembali sempurna dan tidak dihina oleh siapa pun.
Nak, bunda sangat mencintaimu, sangat rindu untuk memelukmu erat-erat, seperti ketika kau tergolek lemah di rumah sakit usai musibah yang membuat sebelah matamu buta (hlm. 70).
Sungguh, saya tercekat saat membaca pernyataan dan pengakuan ibu dalam surat ini. Mata berkaca-kaca. Dada sesak. Teringat segala dosa kepada orang tua. Maafkan, saya, Pak, Bu! Maafkan!