Ruma Maida: Belajar Sejarah Indonesia dari Film dengan Latar Dua Zaman

Ayu Nabila | M. Fuad S. T.
Ruma Maida: Belajar Sejarah Indonesia dari Film dengan Latar Dua Zaman
Salah satu adegan dalam film Ruma Maida. (DocPribadi/TangkapanLayar)

Meski jarang ada sineas yang mengangkatnya menjadi tema film, namun sejatinya sejarah Indonesia memiliki berbagai hal yang menarik untuk dikupas. Meski demikian, harus diakui, mengangkat teman sejarah seolah menjadi sebuah perjudian bagi para pembuat film di Indonesia. Pasalnya, jika pengolahan alur dan juga penyampaiannya terlalu berat, maka bisa dipastikan film tersebut tak akan laku di pasaran, meskipun menawarkan nilai pendidikan yang tinggi. Namun, tidak demikian halnya dengan film berjudul Ruma Maida yang rilis pada tahun 2009 lalu ini.

Dalam film Ruma Maida yang mengangkat tentang masa-masa awal pasca kemerdekaan Indonesia ini, kita akan disuguhkan dengan alur yang mungkin tak kita duga-duga. Bagaimana tidak, film berdurasi 95 menit ini mengangkat cerita yang saling berhubungan dari dua zaman, yakni tahun 1998, dan juga masa-masa awal kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Dalam film Ruma Maida ini dikisahkan Maida Lilian Manurung (Atiqah Hasiholan), seorang gadis Batak dan mahasiswa sejarah membuka sekoah untuk anak-anak jalanan di sebuah rumah tua yang diberinya nama Ruma Maida. Semula, Maida tak mengetahui mengenai siapa pemilik asli dari rumah tua yang difungsikannya sebagai sekolah tersebut.

Kemudian, film Ruma Maida beranjak ke masa lalu, diceritakan di rumah yang sama, Ishak Pahing (Nino Fernandes), seorang keturunan Indo-Belanda memilih untuk menjadi pejuang dan prajurit Indonesia dalam perang kemerdekaan. Ishak Pahing berjuang bersama dengan tokoh-tokoh besar Indonesia, seperti Soekarno (Imam Wibowo) dan tokoh-tokoh lain negeri ini. Selain berjuang mengangkat senjata, Ishak Pahing juga merupakan seorang musisi dan penggemar musik keroncong. Hingga suatu ketika, dirinya mampu menciptakan lagu berjudul Pulau Tenggara yang mengilhami Bung Karno untuk menciptakan Gerakan Non-Blok. Pada awalnya, dua kisah ini berjalan sendiri-sendiri, dan membuat penonton menjadi agak bingung dengan alur maju-mundur yang disajikan.

Benang merah kedua kisah dalam film Ruma Maida ini akhirnya dimulai ketika pasca kerusuhan Mei 1998, Ruma Maida mulai terancam bubar setelah 3 tahun berdiri. Dasaad Muchlisin (Frans Tumbuan) sang pemilik rumah tua, hendak meruntuhkan rumah tersebut dan dijadikan lokasi bisnis. Untuk merealisasikan niatnya tersebut, Dasaad meminta Sakera (Yama Carlos), seorang arsitek untuk menggusur rumah tersebut. Di sinilah benang merah mulai tersambung. Sakera yang akhirnya berpihak kepada Maida, suatu malam kedatangan tiga musisi tua grup keroncong, dan di sini semua bermula. Ketiga musisi sepuh tersebut, mengaku rindu dengan rumah penuh memori dari seorang pejuang bernama Ishak Pahing, seorang pejuang yang menjadi sahabat Soekarno. Ditambah lagi, Maida menemukan ruang rahasia di rumah tersebut, yang mengantarkannya pada identitas Dasaad yang terselubung.

Meskipun film Ruma Maida mengangkat tema sejarah, tapi gaya peceritaan yang memikat membuat film ini tak terasa berat untuk dinikmati. Mungkin pada awal-awal film kita akan sedikit bingung dengan adanya kisah-kisah yang berdiri sendiri, tetapi ketika kisah tersebut sudah mulai terlihat benang merahnya dan menjadi satu-kesatuan, maka penceritaan filmnya terasa lebih ringan dan mengalir. Bahkan, secara tak langsung, kita juga dibawa untuk melintasi memori mengharukan dalam sejarah bangsa ini melalui peristiwa tertembaknya pesawat Dakota VT-CLA yang mengusung misi kemanusiaan di awal-awal kemerdekaan.

Nah, untuk lebih jelasnya, silakan teman-teman menonton film bergenre sejarah Ruma Maida secara langsung, ya!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak