Review Film Final Destination Bloodlines: Teror Keluarga vs Kematian Sadis!

Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Review Film Final Destination Bloodlines: Teror Keluarga vs Kematian Sadis!
Poster film Final Destination: Bloodlines (IMDb)

Setelah vakum 14 tahun sejak Final Destination 5 (2011), waralaba horor legendaris Final Destination akhirnya comeback dengan Final Destination: Bloodlines (2025). Film keenam ini dirilis di Indonesia pada 14 Mei 2025, dua hari lebih cepat dari jadwal global, dan langsung bikin heboh penggemar setia.

Disutradarai oleh Zach Lipovsky dan Adam Stein, dengan naskah dari Guy Busick dan Lori Evans Taylor, film ini berhasil menghidupkan kembali ketegangan khas Final Destination sambil membawa nuansa segar yang bikin kita nggak bisa lepas dari layar. Yuk, langsung saja simak apa yang bikin Bloodlines jadi salah satu seri terbaik di waralaba ini!

Bloodlines mengisahkan Stefani Reyes (Kaitlyn Santa Juana), mahasiswi yang dihantui mimpi buruk tentang runtuhnya Skyview Restaurant Tower pada 1968. Ternyata, mimpi ini bukan sembarang mimpi, melainkan warisan firasat dari neneknya, Iris Campbell, yang pernah lolos dari kematian di tragedi itu.

Ketika Stefani pulang ke kampung halamannya, dia bertemu keluarganya—ayahnya Marty, adiknya Charlie, dan kerabat lain seperti paman Howard, bibi Brenda, serta sepupu Erik, Julia, dan Bobby. Namun, Kematian (ya, si “Grim Reaper” yang nggak pernah absen di seri ini) mulai memburu mereka satu per satu karena mereka seharusnya nggak ada di dunia ini.

Plotnya bukan cuma soal kabur dari maut, tapi juga menggali hubungan keluarga dan trauma lintas generasi, yang bikin ceritanya terasa lebih emosional dibandingkan seri sebelumnya.

Khas Final Destination, Bloodlines unggul dalam menyajikan adegan kematian yang brutal, kreatif, dan bikin penonton nahan napas. Bayangkan saja, benda sehari-hari seperti koin, botol bir, alat musik, sampai mesin MRI bisa jadi alat maut yang sadis!

Salah satu highlight adalah adegan pembuka yang melibatkan stuntwoman berusia 71 tahun, Yvette Ferguson, yang memecahkan rekor dunia sebagai orang tertua yang dibakar penuh di layar. Adegan ini bukan cuma mengerikan, tapi juga bikin kita terkagum-kagum sama kerja keras tim produksi.

Warner Bros. Indonesia juga memastikan film ini tayang tanpa sensor di Indonesia—tanpa potongan, tanpa blur—jadi kita bisa menikmati pengalaman penuh yang sadis dan intens. Rating D17+ memang pantas, karena beberapa scene bikin merinding sekaligus ngilu!

Review Film Final Destination Bloodlines

salah satu adegan di film Final Destination: Bloodlines (IMDb)
Salah satu adegan di film Final Destination: Bloodlines (IMDb)

Kaitlyn Santa Juana sebagai Stefani berhasil membawa karakter yang relatable—gadis muda yang bingung tapi bertekad melawan takdir. Chemistry-nya dengan keluarga, terutama Teo Briones sebagai Charlie, bikin drama keluarga di film ini terasa nyata.

Tapi, bintang sejati film ini adalah Tony Todd sebagai William Bludworth, karakter ikonik yang selalu jadi penutup misterius di waralaba ini. Meski Todd meninggal pada November 2024, dia berhasil menyelesaikan syuting dan memberikan penampilan terakhir yang epik.

Bludworth di sini bukan cuma jadi cameo, tapi punya peran kunci yang mengungkap lebih dalam tentang “desain kematian”. Puji syukur untuk Todd, karena kehadirannya bikin Bloodlines punya nilai nostalgia yang kuat.

Zach Lipovsky dan Adam Stein membawa gaya visual yang unik, dengan sinematografi dari Christian Sebaldt yang bikin setiap adegan terasa hidup. Mereka bukan cuma mengandalkan CGI, tapi juga efek praktikal yang bikin kematian terasa realistis.

Musik dari Tim Wynn juga sukses bikin bulu kuduk merinding, terutama di momen-momen ketegangan. Yang menarik, Bloodlines disebut sebagai “re-imagining” waralaba, dengan fokus pada dunia first responder (petugas darurat) dan hubungan keluarga. Ini bikin filmnya terasa baru, tapi tetap setia pada formula Final Destination: firasat maut, kematian kreatif, dan perjuangan melawan takdir.

Menurutku ini seperti “pertunjukan berdarah yang sadar diri” dengan kematian yang dirancang seperti slapstick berdarah. Salah satu postingan di media sosial juga menunjukkan antusiasme penonton, dengan banyak yang menyebutnya “mengasyikkan” dan “worth it setelah 14 tahun menunggu”.

Trailer film ini bahkan mencetak rekor sebagai trailer horor kedua paling banyak ditonton (178,7 juta views dalam 24 jam), hanya kalah dari It (2017).

Kelebihan Bloodlines ada pada adegan kematian yang inovatif, akting yang solid, dan cerita yang lebih dalam secara emosional. Elemen komedi gelap juga jadi bumbu yang bikin film ini nggak cuma menyeramkan, tapi juga menghibur.

Namun, beberapa penonton mungkin merasa plotnya agak lambat di tengah, terutama saat fokus pada drama keluarga. Jujur saja pengembangan karakter sampingan seperti sepupu Stefani kurang mendalam. Tapi, ini nggak terlalu mengganggu pengalamanku menonton film ini secara keseluruhan kok.

Final Destination: Bloodlines adalah comeback yang memuaskan untuk waralaba yang sudah jadi legenda. Dengan kombinasi teror maut, drama keluarga, dan nostalgia dari Tony Todd, film ini sukses bikin kita parno dengan benda sehari-hari sekaligus ketawa kecut.

Untuk penggemar lama, ini adalah roller coaster emosi yang membayar penantian panjang. Untuk penonton baru, ini adalah pintu masuk yang seru ke dunia Final Destination.

Jadi, siap-siap nabung buat tiket bioskop (mulai dari Rp25.000 di Surabaya) dan nikmati pengalaman tanpa sensor di layar lebar atau IMAX. Peringatan: hati-hati dengan koin di saku, siapa tahu kematian sedang mengintaimu!

Rating dari aku: 8.5/10

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak