The Factory: Kritik Hiroko Oyamada atas Situasi Kerja Hari Ini

Hernawan | Wahid Kurniawan
The Factory: Kritik Hiroko Oyamada atas Situasi Kerja Hari Ini
Cover The Factory (Goodreads)

Bagaimana situasi dunia kerja modern di abad ke-21 ini? Kalau kita mengajukan pertanyaan tersebut kepada penulis Jepang, Hiroko Oyamada, maka ia kan menjawab berdasarkan apa yang pernah dialaminya: Monoton, menyerap nilai dan jati diri seseorang, dan membuat kita kehilangan semangat menjalani hari. Jawabannya mungkin tidak dipercaya oleh semua orang, tetapi Oyamada menjawabnya dengan kejujuran, dan jawabannya itulah yang ia tunjukkan dalam salah satu novelnya, The Factory (New Directions, 2019).

Sebagai novel debutnya di kancah internasional, The Factory cukup menyita perhatian publik. Hal itu didasarkan pada dua keunggulan dan keunikan yang disuguhkan oleh Oyamada. Pertama, novel itu disusun dengan tata letak yang tak biasa, sebab ia menggabungkan antara narasi dan dialog, hingga membuatnya tampak tumpang tindih. Tata letak semacam itu mungkin menyulitkan pembaca, tetapi di sisi lain, itu dihadirkan demi menunjang jalan cerita itu sendiri. Oyamada ingin merasakan apa yang dirasakan para tokoh di dalam ceritanya tersebut. 

Hal itu pulalah yang berhubungan dengan alasan kedua, yaitu novel ini menghadirkan kritik Oyamada terhadap dunia kerja modern, khususnya yang terjadi di Jepang. Dalam novel tersebut, dikisahkan ada tiga tokoh utama yang memasuki pabrik besar nan misterius, yang luasnya bahkan hampir menyerupai kota dengan minimarket, perumahan, dan jembatan besar. Situasi mereka tadinya tampak normal-normal saja. Ketiga pekerja itu menempati tiga posisi yang berbeda: satu perempuan bekerja menghancurkan kertas, satu laki-laki bekerja mengecek dokumen, dan satu laki-laki lain ditugaskan mengurusi proyek menumbuhkan jamur di atap pabrik. 

Situasi yang tadinya kelihatan normal itu, lantas menghadirkan perasaan kebingungan, ganjil, dan terjebak dalam diri ketiganya. Mereka semakin kebingungan dengan alasan mereka melakukan pekerjaan mereka, sebab pekerjaan itu tampak sia-sia belaka. Bagi si perempuan, pekerjaan menghancurkan kertas menjadi sesuatu yang monoton, ia bahkan tidak perlu menggunakan kemampuannya, baik otak atau fisik, lantaran sudah ada mesin yang melakukannya.

Di sisi lain, bagi si laki-laki pertama, pekerjaan mengecek dokumen tampak lebih aneh lagi, lantaran dokumen-dokumen itu membuatnya kebingungan dengan beragam jenisnya dari buku panduan, catatan sekolah anak-anak, sampai daftar barang tertentu. 

Adapun bagi si laki-laki terakhir, pekerjaan atau proyek menumbuhkan jamur di atap, tampak lebih ganjil dan mustahil, sebab ia ditugaskan sendirian tanpa asisten ataupun tim khusus. Atasannya, yang juga atasan dua lainnya, menegaskan kalau ia hanya perlu melakukan tugasnya, tidak masalah pekerjaan itu memerlukan waktu bertahun-tahun lamanya. Keyakinan bahwa mereka hanya perlu “melakukan apa yang sudah menjadi pekerjaan mereka tanpa mempertanyakan apa-apa” jugalah yang ditanamkan kepada si perempuan dan laki-laki pertama. 

Mereka dibuat hanya melakukan apa yang sudah diberikan kepada mereka, kendati pekerjaan itu tampak tak berguna, atau membuat mereka merasakan kemonotonan yang panjang. Mereka juga dibiarkan kebingungan, sampai mereka merasa terjebak, terperangkap dalam siklus yang tak berhenti berputar dan kian menekan jati diri mereka. 

Itulah yang ingin dikritik oleh Oyamada, yaitu situasi pekerjaan yang mengikis nilai diri pekerjanya. Mereka hanya diperintahkan begini atau begitu, tanpa diberi alasan terkait makna dari apa yang mereka lakukan. Dan novel ini, menunjukkan dengan secara baik hal tersebut. Bahkan, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Oyamada turut menghadirkan kebingungan dan kesulitan yang dihadapi para tokohnya kepada pembaca dengan membuat tata letak novel ini berantakan.

Hal itu, selanjutnya, yang membuat pembaca seperti tengah menghadapi situasi yang menjebak dan menekan, sebab susunan dialog dan narasi yang tampil padat, membuat pembaca ditimpahi kebingungan di sepanjang cerita. 

Namun, hal itu pulalah yang ingin dicapai Oyamada. Ia ingin pembaca turut merasakan dampak dari situasi yang dihadapi para tokoh di dalam novel ini. Dengan begitu, pembaca pun bisa tiba dalam permenungan akan kritik yang disampaikan Oyamada. Bahwa situasi pekerjaan hari ini menekan dan mengikis diri kita, hingga membuat kita merasa terjebak dan kesulitan menemukan jalan keluar. Persis seperti yang dialami ketiga pekerja di pabrik itu. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak