Mashdar Zainal termasuk penulis produktif dan kreatif. Sudah berjibun karya yang dilahirkan dari tangan imajinatifnya, termasuk buku novel Islami yang berjudul Dan Burung-Burung Pun Pulang ke Sarangnya terbitan PT Elex Media Komputindo Jakarta pada 2014 ini.
Novel ini bagi saya tidak hanya mencerahkan dan menginspirasi, namun juga menghibur. Tidak mudah menulis novel remaja yang semanis dan seromantis ini. Jika tidak piawai dan berpengalaman, kisahnya tidak akan matang dan hanya mengambang. Beda dengan novel dengan tebal 450 ini. Ia lahir dari tangan kreatif yang tiap harinya bergelut dengan aksara dan hikmah.
Milati adalah tokoh populer dalam novel ini. Ia sangat merindukan sosok-sosok yang hilang sebelum sempat ia temui. Sosok ayah sebagai curahan lelah, dan sosok ibu sebagai aduan rindu. Sosok yang belum pernah ia rasakan sentuhan kasih sayangnya. Maka tak heran jika Milati tinggal di Yayasan Panti Asuhan dan Pesantren Anak Manbaul Ulum Nganjuk, Jawa Timur.
Dalam kisahnya, Milati adalah orang kepercayaan Ibu Nyai. Sejak umur tiga tahun Milati diantar oleh neneknya ke panti asuhan. Bukan sebab neneknya tak mampu menanggung biaya hidup Milati, namun harapan nenek agar kelak Milati menjadi seorang gadis cerdas berilmu, menguasai ilmu dunia tanpa kebobolan ilmu akhirat.
Kini Milati sudah bukan Milati kecil. Umurnya sudah 19 tahun. Kini Milati adalah gadis yang sangat cantik parasnya, lincah geraknya, cerdas pikirannya, dan yang paling disukai Ibu Nyai ialah ia gadis penurut tetapi punya prinsip. Intinya, Milati telah menjadi gadis yang manis perangainya.
Selain Milati, tokoh utama dalam novel ini bernama Misas. Misas adalah putra Ibu Nyai yang selama hampir tujuh tahun kuliah di Yaman. Begitu lulus S1 dan S2 di Yaman, ia pulang ke Indonesia. Nah, saat pulang inilah lahir kisah keterjalinan hati di antara keduanya.
Saat Milati menangkap tanda bahwa Misas menyukainya, Milati menerima sepucuk surat dari Misas. Seperti mimpi, Milati membuka surat itu.
"Untuk gadis yang dibawa angin dari surga bersama gugur bunga-bunga berkelir merah muda."
"Sebelumnya, cawan keringku selalu menanti anggur maafmu karena hatiku menjadi begitu tidak tenang setelah aku menuliskan obralan kata-kata ini untukmu. Namun, jauh tidak tenang lagi bila perasaan yang mengganggu ini terus kutahan-tahan karena akhirnya akan meledak juga."
Dan seterusnya. Namun, ketika keduanya sudah tidak bisa dipisahkan, ternyata Ibu Nyai dan Bapak Kiai punya gadis pilihan yang sejak dulu sudah disiapkan untuk Misas. Milati pun terpukul. Berkali-kali ia menangis dan akhirnya kembali pulang ke Yogyakarta, menemui neneknya. Keluarga Ibu Nyai dan Misas pun menyusul Milati, dan mendapati Milati yang penuh luka tertimpa musibah gempa.