Jurnalistik sastra atau populer dikenal dengan istilah feature sudah menjadi gaya tulisan yang banyak dicari-cari. Mengapa demikian? Jurnalistik sastra selalu mampu mengikat pembaca, membuat suasana hati yang mampu menyentuh emosi pembaca dan terhanyut dalam ceritanya. Bahkan, mungkin saja dapat membuat air mata menetes karena tersentuh hingga ke lubuk hati.
Hal itu dikarenakan karena penulisan feature butuh keahlian khusus, penyampaian berita dengan gaya sastra, bahasa yang sederhana, luwes, cair, tidak kaku, dan butuh imajinasi yang kuat. Meski dikenal dengan sebutan jurnalis sastra yang butuh imajinasi kuat untuk menyusun setiap narasinya, tetapi tetap harus sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Artinya bahwa jurnalistik sastra yang dibumbui dengan imajinasi seperti penulisan cerpen, tetapi tetap harus dengan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, jurnalistik sastra memang harus butuh keahlian khusus. Di samping itu pula, ada norma-norma atau aturan jurnalistik sastra yang harus diperhatikan. Sesuai dengan buku yang ditulis Drs. AS Haris Sumadiria M.Si, "Jurnalistik Sastra, Menulis Berita dan Feature," Haris mengutip pendapat Kramer dan Kurnia, bahwa ada 8 norma-norma yang harus diperhatikan seorang jurnalis sastra.
1. Riset mendalam dan melibatkan diri dengan subjek
Seorang jurnalis sastra biasanya butuh waktu lama untuk menulis tema feature yang akan ditulis. Ia biasa sampai berbulan-bulan untuk menyiapkan riset dan subjek yang akan ditulisnya. Seorang jurnalis sastra harus kreatif dan penuh imajinasi, bahkan kadang selalu butuh waktu sendiri untuk menyusun beritanya itu, penyampaian tulisan tidak bisa secara cepat.
Hal ini berbanding terbalik dengan jurnalis harian atau konvensional, mereka tentu dituntut untuk bisa menulis berita secara cepat, persiapan yang kadang tak terduga, dan penyampaian berita pun secara langsung pada inti suatu permasalahan.
2. Jujur kepada pembaca dan sumber berita
Seorang jurnalis sastra, bahkan seorang jurnalis konvensional sekali pun, harus jujur dan menyampaikan peristiwa yang sebenarnya. Bukan hanya itu, ia mesti harus jujur pada diri sendiri, kepada narasumber, media tempat berita termuat, dan jujur kepada pembaca.
Sekali ia melanggar, selamanya ia akan menghadapi celaan dan dinilai sebagai reporter abal-abal. Seorang reporter tidak boleh membaurkan fakta dan opini, tidak boleh merekayasa fakta peristiwa, dan melaporkan semua yang dilihat dan didengar secara utuh dan jujur.
3. Fokus pada peristiwa-peristiwa penting
Jurnalis sastra harus bisa memfokuskan untuk meliput peristiwa-peristiwa rutin. Artinya suatu peristiwa yang biasa dibaca, didengar, dilihat, bahkan dialaminya sendiri. Iya, memang harus kreatif dan kaya imajinasi, namun tetap diingat bahwa tidak patut meliput sesuatu yang tidak mungkin.
4. Menyajikan tulisan yang akrab, informal, dan manusia
Seorang jurnalis sastra tidak hanya diperlukan melaporkan fakta secara faktual, tetapi harus memiliki kemampuan tinggi dengan menulis akrab, tulisan yang informal, dan kemampuan menulis secara naluriah. Artinya, jurnalistik sastra harus dekat dengan pembaca, menggunakan bahasa yang tidak kaku, luwes, lentur, dan pekat, serta jurnalistik sastra mampu menyentuh pada sikap dan sifat pembaca secara emosional.
5. Gaya penulisan sederhana dan memikat
Jurnalistik sastra harus mampu menyajikan tulisan yang mudah dipahami pembaca, gaya penulisan yang sesuai dengan logika masyarakat awan di mana pun. Artinya sederhana kata-katanya, sederhana susunan kalimatnya, dan sederhana pula paragraf disusunnya. Hal itu diperlukan agar tidak membingungkan pembaca, dengan didasari bahasa hidup, lincah, bergelora, penuh gaya, dan elegan.
6. Sudut pandang yang langsung menyapa pembaca
Sebagaimana diketahui bahwa pembaca adalah teman akrab penulis yang patut disapa dan dihormati. Untuk itu, dalam jurnalistik sastra harus mampu menyajikan tulisan yang mampu diterima pembaca dengan baik, kalau perlu dapat menghibur pembaca dan menghapus kesedihannya. Pembaca harus mampu diajak dalam realitas subjek peristiwa yang akan ditulis.
7. Menggabungkan naratif primer dan naratif simpangan
Jurnalistik sastra harus mampu mengembangkan naratif primer dan naratif simpangan. Naratif berarti kisah atau pengisahan, primer berarti utama, dan simpangan berarti digression: melantur dan menyimpan dari pokok pembicaraan (Echols dan Hassan Shadily, 1990:182).
Maksudnya di sini, adanya penyimpangan yang mendukung, melengkapi dan memperkaya kisah utama. Hal ini diperlukan guna mencapai susunan naratif yang solid, dengan menyampaikan kisa-kisah utama dan kisah pendukungnya.
8. Menanggapi reaksi sekuensial pembaca
Meskipun dituntut imajinasi yang tinggi, jurnalistik sastra harus mampu menyajikan tulisan dengan makna yang mendalam, greget, dan penuh penganalisaan. Jurnalis sastra harus mampu menguasai psikologi pesan dan psikologi pembaca, ia harus piawai dalam berkisah dan selalu hadir setiap saat.
Itulah 8 norma-norma jurnalistik sastra bagi penulis feature atau seorang jurnalis sastra. Norma tersebut sebagai acuan menyajikan informasi kepada pembaca, agar wartawan dapat menyampaikan tulisannya dangan hati gembira, serta pembaca pun dapat menerimanya dengan lapang dada dan nantinya bisa terhibur atas infomasi yang dibaca.