Buku Protes! Protes! Protes! ini, merupakan kumpulan cerita pendek dari sudut pandang kritis pengarangnya, yang melirik nyaris semua masalah. Dari fenomena kebijakan pemerintah, masalah-masalah sosial, kriminalitas, sampai perselingkuhan, yang digarap secara variatif dan menggelitik.
Buku kumpulan cerpen ini digarap oleh dua penulis hebat, yaitu Ekky Al Malaky dan Bambang Joko Susilo. Ekky Al Malaky bernama asli Ekky Imanjaya, lahir di Jakarta, 31 Agustus 1973. Ia seorang redaktur majalah d'Maestro. Lulus S2 Ilmu Filsafat Universitas Indonesia setelah melewati jenjang S1 di jurusan Sastra Arab FSUI.
Sementara Bambang Joko Susilo lahir di Sragen, Jawa Tengah, 14 Juli 1964. Pendidikan terakhir Sekolah Tinggi Publishik Jakarta, jurusan Ilmu Jurnalistik. Pernah bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah BUMN Cilegon, mengelola majalah perusahaan. Kemudian, bekerja sebagai wartawan freelance dan penulis lepas di berbagai media, di antaranya Suara Pembaruan.
Salah satu cerita dari sepuluh cerita yang menarik di dalam buku ini berjudul Sang Demonstran. Adalah Attar sang kakak dan Ratna si adik yang menyiapkan diri untuk demo besok. Sore itu, baru saja Attar menginjakkan kakinya di beranda depan, ia melihat sosok yang unik.
Sosok itu mirip dengan pahlawan film anak-anak. Keanehan tersebut muncul dari seorang perempuan berjilbab dan ada helm di kepalanya. Helm itu bertuliskan KAMMI. Berbaju seragam silat. Tangannya bergerak-gerak seperti memperagakan gerakan-gerakan silat aliran Partai Pengemis dari Utara. Lengkap dengan tongkat Penggebuk Anjing.
Adik Attar satu-satunya itu juga memberikan selembar kertas yang tampaknya berisi daftar barang-barang yang hendak dibeli. Daftar belanjaan itu berupa makanan, minuman, kaca mata hitam, jas hujan, krim pelembap, dan pasta gigi.
Ia hendak membeli makanan dan minuman sebab ia prediksi demonya bakal sampai sore, bahkan magrib. Kacamata hitam agar tidak silau, jas hujan agar bisa menghindari terik matahari, krim pelembap untuk menghindari sinar ultra violet, dan pasta gigi buat menghilangkan perih saat gas air mata nyelonong ke mata.
Ratna, si adik itu, pun dilihatnya selalu sibuk berdiri di depan cermin, sementara tangan kirinya sibuk menunjuk-nunjuk ke ruang kosong. Mulutnya terlihat komat-komit, dan tangan kanannya mengepal-ngepalkan tinju. Di kepalanya ada ikatan kain hitam bertuliskan 'Anti Jilbab? No Way!'.
Ternyata si Ratna sedang sibuk belajar orasi demo. Ia minta diajari ke Attar, kakaknya, bagaimana berorasi yang baik. Attar mengajari agar bahasa yang digunakan harus interaktif, jangan banyak ayat Alquran dan hadis, agar tidak lupa menghafalkan Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945, dan semacamnya.
Esok harinya, datang dari demo, Attar bertanya kepada Ratna.
"Aku pengin tahu tentang ilmu-ilmu demo yang aku ajarin. Gimana?"
"Hm... gimana ya?"
"Gimana komentar teman-temanmu? Pada nanya gak siapa yang ngajarin?"
"Hm... gimana ya?"
"Kok aku gak ngelihat kamu orasi di televisi?"
"Hm... gimana ya?"
"Lho, kok gimana-gimana terus jawabannya?"
"Hm... gimana ya? Aku gak jadi orasi."
"Lho, emangnya kenapa?"
"Aku gak pede. Yang datang ribuan orang. Habisnya, Abang gak ngajarin ilmu pede."
Kisah ini mengandung pesan, betapa pentingnya belajar ilmu percaya diri. Sebab, meski banyak teori yang didalami serta berbagai retorika yang dipahami, namun tidak percaya diri, maka percuma. Kadang meski sebelumnya sudah hafal apa yang ingin dibicarakan, tiba-tiba ngeblank saat di muka umum jika memang tidak percaya diri.
Buku ini layak dibaca oleh semua kalangan. Renyah penyampaian tutur kisahnya, mudah dipahami, syarat makna dan hikmah. Selamat membaca.