Implementasi Budaya Besiru Masyarakat Sasak di Tengah Pandemi Covid-19

Ayu Nabila | Destiana Hardianti Putri
Implementasi Budaya Besiru Masyarakat Sasak di Tengah Pandemi Covid-19
Berbagai regulasi strategis dari pemerintah maupun otoritas kesehatan mulai dari penerapan Protokol Kesehatan hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar diberlakukan berserta sanksi yang mengikutinya dengan tujuan meminimalisasi transmisi dan mengupayakan pemutusan mata rantai penyebaran COVID-19.(PIxabay)

Permasalahan pandemi COVID-19 saat ini masih menjadi ancaman yang dihadapai masyarakat Indonesia. Menurut data Satuan Tugas Penanganan COVID-19, per 3 Juni 2022 terkonfirmasi jumlah kasus positif COVID-19 sebanyak 6.056.017 dan sebanyak 156.604 meninggal dunia. Penanganan masalah COVID-19 dari aspek teknis dan medis terus dilakukan.

Berbagai regulasi strategis dari pemerintah maupun otoritas kesehatan mulai dari penerapan Protokol Kesehatan hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar diberlakukan berserta sanksi yang mengikutinya dengan tujuan meminimalisasi transmisi dan mengupayakan pemutusan mata rantai penyebaran COVID-19. Namun, realitanya belum terlihat efektivitas dari regulasi yang telah disosialisasikan dengan begitu masif. Kesadaran dari dalam diri masyarakat untuk bergerak melakukan apa yang telah diinstruksikan belum terbangun. 

Penanganan masalah COVID-19 nampaknya juga terkait masalah etis. Tanpa adanya kesadaran individu maupun kolektif, baik di level masyarakat maupun negara, tentu akan membawa dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan membuat efektivitas regulasi yang tengah diterapkan hanya sebatas harapan. Dari minimnya kesadaran dan respons tersebut akan berpotensi memicu munculnya berbagai masalah yang menyebabkan kesulitan dalam penanganan COVID-19. Seperti sikap apatis dari masyarakat dalam melaksanakan regulasi yang telah ditetapkan. Padahal, hal tersebut merupakan jalan alternatif dari pemerintah untuk menekan penularan COVID-19. Selain itu, kesadaran terhadap sesama kian tersisihkan.

Di tengah masyarakat masih terjadi sikap menaruh stigma negatif kepada orang dalam pemantauan, pasien dalam pengawasan, dan jenazah yang terindikasi COVID-19, sehingga muncul sikap diskriminasi bahkan antipati. Bergerak dari peristiwa tersebut, tentu hal ini akan berimbas kepada kejujuran masyarakat terkait kesehatan diri, masyarakat akan enggan memeriksa apabila merasakan gejala terinfeksi COVID-19, masyarakat akan menutup diri karena khawatir terdiskriminasi.  

Jika hal terus terus terjadi maka akan banyak individu yang terinfeksi COVID-19 yang unlocation dan menjadi carrier di tengah masyarakat, sehingga penanganan COVID-19 ini semakin sulit teratasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan muncul ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah dalam menagani COVID -19, akhirnya masyarakat enggan bahkan tidak ingin melaksanakan regulasi yang telah ditetapkan. Waspada dan antisipasi memang diperlukan dalam kondisi sekarang ini, tetapi harus selalu ditanamkan kepada masyarakat bahwa kesadaran terhadap sesama itu penting.

Pembatasan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah lantas seharusnya tidak membuat masyarakat menjadi antisosial. Sikap yang tidak mencerminkan kemanusiaan tersebut dikhawatirkan akan berlanjut jika tidak segera ditanggulangi. Dampak terburuk dari ketakutan berlebih tersebut, masyarakat akan bersikap diskriminatif kepada individu yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19 bahkan yang menderita sakit bukan karena COVID-19.

Terlebih, fase new normal sedang diaplikasikan dalam tatanan hidup masyarakat Indonesia untuk beradaptasi di tengah pandemi. Pelaksanaannya memerlukan kesadaran serta respons kolektif yang positif. Oleh karena itu, diperlukan sebuah instrumen atau nilai yang dapat mempengaruhi dan membangun kesadaran masyarakat akan perannya di ranah sosial, lebih-lebih di masa yang krirsis. Sejalan dengan itu, optimalisasi sumber daya lokal perlu digerakkan untuk membangkitkan kesadaran dalam bertindak lebih bijak menghadapi pandemi COVID-19. 

Di dalam kehidupan masyarakat Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, terdapat suatu modal sosial berupa kearifan lokal, namun tidak sepenuhnya diberdayakan. Hidup lurus adalah filosofi hidup yang paling inti pada masyarakat Sasak. Inilah makna filsafat hidup yang digali dari kata Lombok (baca: lumbu’) yang berarti lurus. Kepatutan perilaku sehubungan dengan dan peran di dalam masyarakat amat diperhatikan oleh orang Sasak.

Pandangan dan nilai filosofis ini menurut filsafat hidup yang lebih operasional pada orang Sasak, yaitu tindih, maliq dan merang yang mengarahkan masyarakat tentang apa yang seharusnya dan pantang dilakukan. Dari filsafat hidup tersebut, lahir bentuk pengaplikasian di tengah masyarakat terdahulu. Orang Sasak menyebutnya dengan istilah, besiru. Besiru adalah bentuk aktif dari kata siru yang bermakna “ke-saling-an”. Semangat besiru ini bersifat spontan, kolektif dan berdasarkan reme (sikap membantu atau menolong sesama secara sukarela, senang hati dan ikhlas). 

Besiru jika diistilahkan menggunakan bahasa Indonesia adalah gotong royong atau kesalingtergantungan (resiprositas) dan solidaritas sosial. Dari besiru ini, terbentuk nilai-nilai kualitatif seperti, saling jot (wujud kedekatan dan erat persaudaraan), saling ajinin / saling ilaqin (saling menghormati atau saling menghargai), saling ilingan/peringet (saling mengingatkan demi kebaikan), saling tulung (bentuk tolong menolong), besesiru (gontong royong bekerja), saling sangkol (memberikan bantuan material terhadap kawan yang sedang menerima musibah). 

Dalam pengaplikasian besiru, masyarakat Sasak bahu-membahu menghadapi kesulitan yang ada, bahkan permasalahan dari salah satu individu dalam suatu komunitas. Hal itu terjadi karena respons dari kesadaran sesama sehingga muncul rasa senasib sepenanggungan dan menghasilkan timbal balik yang menguntungkan. Dalam konteks COVID-19, apabila nilai-nilai yang ada dalam besiru ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, akan berpeluang besar membangun kesadaran serta respons masyarakat untuk melakukan apa yang seharusnya seorang manusia berakal menyikapi kondisi yang ada. Dengan demikian, penanganan COVID-19 bisa ditangani dengan baik menggunakan pendekatan yang arif dan bijak.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak