Ulasan Buku 'Pada Suatu Senja Aku Jatuh Cinta', Pentingnya Berwajah Ramah

Hayuning Ratri Hapsari | Rozi Rista Aga Zidna
Ulasan Buku 'Pada Suatu Senja Aku Jatuh Cinta', Pentingnya Berwajah Ramah
Buku 'Pada Suatu Senja Aku Jatuh Cinta' (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Maya Lestari Gf punya banyak hobi, di antaranya membaca, menonton film, memotret makanan, dan menulis. Ia telah menulis 13 buku. Salah satu buku yang telah berhasil ia tulis berjudul Pada Suatu Senja Aku Jatuh Cinta terbitan basabasi Banguntapan, Yogyakarta, pada Februari 2017 silam.

Buku kumpulan cerita pendek ini memuat 13 cerpen yang mayoritas sudah pernah dimuat di media nasional, seperti Media Indonesia, Koran Tempo, Harian Haluan, Tabloid Nova, Harian Padang Ekspres, dan lain sebagainya.

Terdapat 1 cerita di antara 13 cerpen yang cukup menarik bagi saya. Cerita pendek tersebut bertajuk Peziarah Pulang Terlalu Pagi. Cerita ini berkisah tentang lelaki tua penjaga kuburan yang sering dipanggil atau disapa dengan nama si Tua saja.

Ia tinggal di rumah kecil usang yang dibangun dari seng-seng karatan di salah satu sudut pemakaman. Lelaki tua berusia lebih tujuh puluh tahun itu tidak memiliki apa pun untuk hidup selain status sebagai penjaga kuburan.

Ia berada di sana sudah lama sekali untuk menjaga pemakaman. Orang-orang bahkan curiga ia dilahirkan dan dibesarkan di tanah pekuburan itu.

Sekali waktu, bergaung cerita ia adalah anak angkatnya si Jundai yang tidak bisa pergi dari pemakaman karena harus menjaga ibunya yang tiap malam bergelantungan di pohon beringin. Namanya juga kabar angin, kabar itu akhirnya hilang tertiup angin.

Ia mendapat upah yang bermacam ragam setiap kali selesai upacara pemakaman. Ada yang lima ribu, sepuluh ribu, bahkan pernah seratus ribu. Tapi, lebih sering upahnya lima ribu saja.

Setiap musim ziarah datang, ia bisa dibilang panen uang. Hampir seluruh keluarga si penghuni kubur di situ berkunjung dan memberinya uang.

Saat-saat seperti inilah biasanya para warga sekitar iri dengki dalam perasaannya kepada si Tua Penjaga Kuburan itu. Sebab, terlihat begitu mudah ia menerima uang, sementara yang lain harus bersusah payah kerja mendapat uang lebih.

Namun, di pagi yang mendung itu, si Tua meninggal dunia. Sang penjaga kubur itu akan berkubur hari ini di lubang yang baru selesai ia gali sendiri.

Dua hari setelah ia tiada baru ditemukan mayatnya. Itu pun oleh orang yang keluarganya hendak dikubur hari ini. Namun, hampir tak ada yang memercayai pernyataan ini. Sebab, tubuh si Tua itu tidak membusuk bau yang membuat sakit pangkal hidung. Lalat pun tak ada yang hinggap ke atas tubuhnya.

Orang-orang kampung bergegas ikut menyalatinya. Sampai-sampai musala tak sanggup menampung jamaah. Orang-orang yang mengangkat tubuhnya dari keranda ke liang kubur juga merasa keanehan, tubuhnya terlalu ringan.

Ketika kain penutup wajahnya dibuka, seulas senyum tenang terukir di wajahnya. Sontak orang-orang menyadari akan kebaikan-kebaikan si Tua. Ia tak pernah menyakiti orang. Tak pernah melontarkan kata-kata kasar.

Bahkan, selalu tersenyum setiap kali bertemu dengan warga, dan seringkali wajah ramahnya menimbulkan kenyamanan di dalam hati yang menjumpainya.

Dengan membaca kisah dalam buku cerpen ini, semakin membuat kita semangat untuk memperbaiki perilaku dalam bergaul, berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama. Terselip pula pesan agar selalu senyum setiap bersua, bermuka ramah, dan tidak berkata kasar yang membuat hati orang lain terluka.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak