Misteri Lenyapnya Siswa Paling Freak, Ulasan Novel Mencari Jejak Caraka

Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Misteri Lenyapnya Siswa Paling Freak, Ulasan Novel Mencari Jejak Caraka
Mencari Jejak Caraka (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Caraka, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti (1) duta, (2) utusan. Sedangkan Raka, masih menurut sumber yang sama, berarti kakak laki-laki. Pendek kata, baik Caraka maupun Raka, memiliki arti yang baik dan positif.

Namun, tidak demikian dengan Caraka, pemuda sekolah menengah atas (SMA), yang kerap dipanggil Raka. Setidaknya, itulah persepsi teman-teman sekolahnya. Di mata teman-temannya, Raka adalah pemuda penyendiri. Dia tidak pernah mau bergabung reriungan dengan kawan sebaya. Dia juga kerap bolos sekolah.

Akibatnya, Raka tidak punya teman akrab di sekolah. Teman-teman pun menganggap sosoknya tidak penting. Pun saat Raka lenyap dari peredaran sekolah, tak seorang pun yang acuh. Sama seperti Raka yang tidak menganggap orang-orang di sekelilingnya, orang-orang lain demikian pula sikapnya kepada Raka.

Namun, ternyata, masih ada segelintir orang di sekolah yang diam-diam menaruh simpati, bahkan empati kepada pemuda tersebut.

Adalah Sensei, Wali Kelas Bahasa. Dia menitahkan sebagian murid untuk melacak jejak Raka hingga ketemu. Murid-murid itu adalah Alden, Farel, Nata, Indira, Hasna, dan Sia. 

Sekelompok muda mudi tersebut dinamai Tim Peka, akronim dari Tim Pencari Raka. Memang lenyapnya Raka menjelang momen krusial, yakni study campus dan ujian simulasi.

Berbekal jurnal atau catatan harian Raka, dimulailah penelusuran mencari pemuda tersebut. 

Bersamaan itu, dimulai pula petualangan rohani pembaca menyusuri tempat-tempat eksotik Tanah Air seperti Gunung Rinjani di Lombok, Prapat di Sumatra Utara, Goa Pindul di Yogyakarta, Bangka Belitung, Gunung Bromo, Kawah Ijen di Banyuwangi, Flores Nusa Tenggara Timur, dan sebagainya.

Deskripsi lokasi-lokasi tersebut, pengarang tuturkan secara meyakinkan, kendati I'ir Hikma selaku penganggitnya sendiri belum pernah mendatanginya. Pengarang semata bertumpu dari paparan atau ulasan para pengelana yang telah mengunjungi tempat-tempat itu. Dalam hal ini, pengarang melakukan 'studi internet' (kalau boleh disebut begitu) atau meramu dari bahan-bahan yang berserakan di dunia maya.

Topik besar yang diusung novel remaja ini adalah isu kesehatan mental. Lewat problematika Raka dan investigasi Tim Peka, pengarang mengajak pembaca untuk lebih aware soal isu-isu mental health.

Topik lain yang coba dibawakan pengarang adalah soal bahaya perceraian dan ketidakpedulian orang tua terhadap anak pra maupun pasca perceraian tersebut.

Perselisihan dalam rumah tangga yang berujung perceraian, tidak kurang mempengaruhi kondisi mental anak-anak yang selalu butuh kasih sayang orang tua.

"Perceraian kedua orang tua saya seperti memutar balik kehidupan saya saat itu. Saya mencoba mengerti mengapa selama ini mereka tidak pernah akur di rumah, itu kenapa saya selalu merasa rumah bukanlah tempat yang aman ..."

"Tempat yang semua orang bilang nyaman, tempat untuk berpulang, nyatanya nggak lebih dari sebuah kawah yang akan meledak sewaktu-waktu. Saya merasa terancam." (halaman 206).

Pengarang juga mencoba meyakinkan pembaca, betapa seberat apapun masalah yang bertandang, tetap harus dihadapi, bukan ditinggal lari.

"... jangan pernah berpikir bertualang untuk melupakan sesuatu, Rak. Aku maklumi kalau kami melakukan perjalanan untuk penyembuhan. Tapi sebenarnya, yang menyembuhkan itu bukan perjalanan. Tapi, pendewasaan. Lakukan petualangan untuk mendewasakan cara berpikir. Aku jamin kamu akan lebih bisa berdamai dengan masalah." (halaman 149).

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak