Atraksi yang Mematikan dalam Buku 'Sebuah Rumah di Bawah Menara'

Ayu Nabila | Rozi Rista Aga Zidna
Atraksi yang Mematikan dalam Buku 'Sebuah Rumah di Bawah Menara'
Buku Sebuah Rumah di Bawah Menara (DocPribadi/Fathorrozi)

Membaca karya sastra kadang kala tidak semudah membaca berita di koran atau membaca buku pelajaran setingkat sekolah menengah. Sebagian memang terdapat sebuah karya yang sangat mudah dipahami. Namun, ada beberapa juga karya yang perlu mengerutkan dahi untuk menangkap pesan dari karya tersebut. Buku berwarna kuning yang berjudul Sebuah Rumah di Bawah Menara ini menjadi bagian karya sastra yang bagi saya tergolong rumit.

Saya berkali-kali membacanya untuk bisa menyelami kalimat demi kalimat yang dirangkai. Dari lembar ke lembar berikutnya, berulang-ulang saya buka dan mencoba memahami makna isinya. Kadang perlu membukanya lagi dari depan untuk semakin mengerti.

Seperti pada kalimat pembuka salah satu cerita yang bertajuk Sebuah Atraksi yang Mematikan. Tjak S Parlan menulis sebagaimana petikan berikut:

"Di tempat ini, malam turun seperti aroma masa lalu. Angin dingin berembus di sebuah tanah lapang. Dalam taburan cahaya aneka warna, cuaca dingin tak menggigilkan orang-orang yang berlalu lalang. Malam semarak oleh suara-suara yang bersuka ria. Aroma masa lalu itulah yang membuatku datang ke tempat ini. Meski ingatanku belum kukuasai sepenuhnya, tetapi tetap saja, ini membuatku gembira. Aku bisa meyakinkanmu bahwa aku tersenyum kepada penjaga loket itu." (Sebuah Rumah di Bawah Menara, halaman 25).

Baru di kalimat pembuka saja, saya sudah mengernyitkan dahi. Tak begitu paham. Butuh berulang kali membaca untuk memahaminya. Tetapi, saat melanjutkan bacaan pada paragraf-paragraf berikutnya menjadi agak paham. Lalu, kembali lagi ke paragraf awal, dibaca lagi sampai akhir, menjadi tambah mengerti.

Setelah itu, saya baru mengerti bahwa cerita bertajuk Sebuah Atraksi yang Mematikan ini berkisah tentang seorang lelaki yang ingin mengenang masa kecil dengan mendatangi pasar malam. Di sana ia menyaksikan dremolen, ombak banyu, tong setan dan komidi putar. Ia bercakap lama bersama penjaga loket, lambat laun menyukainya. Namun, ia tak meneruskan sebab takut kutukan. Tak ada keluarganya yang menikah dengan penjaga loket.

Lalu, di akhir cerita tiba-tiba muncul percakapan yang kembali memusingkan, sebagaimana kutipan berikut ini:

"Kamu pasti sejenis malaikat, atau orang saleh sehingga bisa melihat dan berbicara denganku seperti itu."

"Bukan. Aku hanya pengusir roh jahat."

"Aku bukan roh jahat dan tak akan mengganggu."

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Hanya lewat, mencium aroma masa lalu."

"Jika begitu, mampirlah ke tempatku. Akan ada sebuah atraksi mematikan malam ini."

Begitulah. Saya pun masih terus mencoba memahaminya. Selamat membaca buku 'Sebuah Rumah di Bawah Menara!'

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak