Apresiasi Sastra dalam Novel Burung-burung Manyar Karya Y. B. Mangunwijaya

Ayu Nabila | Maulina nur choirunisa
Apresiasi Sastra dalam Novel Burung-burung Manyar Karya Y. B. Mangunwijaya
Screenshoot saat pembelajaran Apresiasi dan Ekspresi secara online (DocPribadi/ Maulina nur choirunisa)

Menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara Merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga. Pada novel Burung-Burung Manyar memuat Narasi begitu detail dan kuat membuat pembaca memahami rasa sakit yang dialami, kemarahan, kesombongan, bahkan keputusasaan.

Pada Novel “Burung-Burung Manyar” terdiri atas tiga bagian yaitu Bagian I (1934-1944) yang sangat kental dengan konteks masa penjajahan. Bagian II (1945-1950) masih terkait dengan masa penjajahan meskipun Indonesia merdeka terakhir yaitu Bagian III (1968-1978).

Pada Novel ini menceritakan konflik batin Teto,seorang laki-laki keturunan Indonesia,yang lebih berpihak kepada Belanda dibandingkan dengan Negara nya sendiri yaitu Indonesia. 

Membaca Novel ini bisa menambah sudut pandang kita terhadap peristiwa yang terjadi pada masa-masa kemerdekaan Indonesia. Selama ini kita hanya mengetahui dari sudut pandang bangsa Indonesia yang mendukung Republik. Sedangkan pada novel ini, penulis memberikan sudut pandang baru mengenai Sejarah Indonesia dari sudut pandang yang menolak Republik. 

pada bagian prolog atau yang disebut Romo Mangun atau pada di novel disebut prawayang.dinarasikan bagaimana baladewa memutuskan untuk berdiri di sisi kurawa menjelang perang Baratayuda. 

Tentu bukan karena baladewa lebih mencintai kurawa, terlebih karena kesetiaannya kepada ibu dan ayah mertuanya yang merasa harus berpihak pada kurawa agar Astina tidak pecah. Meski begitu cinta Baladewa pada Pandawa tidak pernah berkurang sedikitpun. 

Pada prolog juga menyebutkan Kakrasana, wahana wahyu Dewa Basuki, dewa naga penopang Bumi Raya, adalah makhluk seta. Maksud nya yaitu serba putih darah, daging serta segala-galanya sampai ke tulang maupun sarafnya sedangkan Narayana, wahana wahyu Dewa Wishnu justru hitam legam tulang, daging darah, saraf dan segalanya. 

Bagian prolog sangat memberikan konteks sehingga pembaca menjadi memahami keputusan-keputusan Teto. Teto dilahirkan dari ayah yang masih memiliki darah ningrat keraton Surakarta dan ibu yang keturunan Indonesia. Ia menjadi anak kolong yang bertumbuh besar dengan rasa benci terhadap Jepang, yang telah memisahkan ia dengan ayah dan ibu nya. 

Sehingga ketika Teto memilih untuk menjadi tentara KNIL. Ia bertemu dengan mayor Van bruggen yang dulu mencintai ibu nya yang bernama Marice. Pertemuannya dengan Van bruggen Teto dipertemukan kembali dengan ibunya yang ternyata masih hidup dan berada di rumah sakit jiwa di magelang.

Walaupun Van bruggen tidak menikah dengan ibu Teto,namun rasa cintanya tetap besar. Tak lama kemudian ibunya meninggal. Perang Pasca kemerdekaan telah usai. Teto meninggalkan Indonesia untuk belajar di luar negeri. 

Keputusannya menjadi tentara KNIL salah satunya didasari oleh keinginan Teto untuk membalas dendam kepada mereka yang harus bertanggung jawab atas kematian ayah dah ibu nya. 

Pilihannya itu Teto terpaksa harus berhadap-hadapan dengan gadis yang ia cintai dari kecil namun berada di pihak Republik, tidak saja menjadi asisten Sutan Sjahrir tetapi sekaligus orang yang turut memperjuangkan kemerdekaan ia bernama Atik.

Tetapi sebetulnya, Teto menyadari bahwa tidak berada di pihak yang benar. Seperti kata Teto pada Novel Burung-Burung Manyar halaman 150 yaitu “Aku sudah lama rukun dengan gagasan bahwa serdadu-serdadu bawahanku yang inlander-inlander itu memang segerombolan sampah sebetulnya, akan tetapi apa dosanya mencari nafkah? Aku bukan soldadu, aku petualang dan pendendam dan kalau aku mati dan kalah, aku masuk neraka”. 

Sedangkan bagi Atik berhadap-hadapan dengan Teto pun sama membuat ia merasakan pedih dalam hatinya. Meskipun tahu Teto berada pada pihak Belanda, rasa cinta yang dimiliki Atik kepada Teto tak pernah luntur sedikitpun.

Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi seorang direktur sebuah perusahaan minyak. Ketika Teto berada di Indonesia Atik akan melakukan ujian tesisnya tentang burung manyar. Teto menghadiri ujian tersebut Bersama tamu undangan lain. 

Teto masih terpesona melihat Atik di atas podium untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para penguji. Tanpa disadari, Atik juga melihat Teto di antara tamu undangan.

Teto kembali bertemu dengan Atik. Atik yang sudah berkeluarga dan mempunyai 3 anak yang lucu-lucu. Dengan sangat canggung mereka bertemu. Walaupun tidak bisa dipungkiri Teto yang sangat canggung bertemu dengan Atik. 

Atik memberi nama 3 anak nya yaitu Teto, Padmi, dan Kris. Salah satu dari anak Atik diberi nama sama dengan Teto (Setadewa), agar mengenang kebersamaan Atik dengan Teto dahulu kala. Saat Atik menikah, nama Teto belum benar-benar menghilang dari hatinya. Jana sang suami pun memakluminya. 

Atik sangat bergembira saat bertemu dengan Teto cinta lamanya yang sangat ia cintai. Tetapi mereka sudah tidak memikirkan akan cinta dihati mereka, takdir pun selalu mempunyai misteri-misterinya sendiri. Bagi mereka sudah tidak penting karena mereka sudah jauh menerima. Menerima takdir nya sendiri-sendiri. 

Pertemuan hari itu mengawali keakraban antara Teto, Atik, Jana dan ibu Antana ibunya Atik. Sampai pada akhirnya Ayah Jana yang sedang sakit ingin berangkat Haji, Jana dan Atik pergi Bersama-sama dan kabar buruk menimpa mereka pesawat yang ditumpangi mengalami kecelakaan di kolombo, Sri Lanka. Ayah Jana meninggal tidak lama setelah kejadian itu. Kini Teto memiliki peninggalan Atik yaitu Teto kecil, Padmi, dan Kris. 

Membaca Novel ini, kita seperti disadarkan apa artinya merdeka dan betapa yang paling terutama adalah karakter bangsa. “Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membungkuk dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang”. 

Kalimat ini membuat kita mempertanyakan kembali, inikah sebab musabab segala problematik carut marut delapan tahun menyatakan berdaulat tapi nyatanya rakyatnya masih masih jauh dari berdaulat.

Jika melihat kondisi negara seperti ini konflik di Papua, konflik Agraria, penangkapan orang dengan UU ITE, dengan saya membaca Novel ini kadang saya jadi bertanya apakah tanah air kita sudah betul-betul merdeka?

Video yang Mungkin Anda Sukai.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak