Memahami Law of Attraction: Antara Pikiran dan Realitas

Hayuning Ratri Hapsari | Wahyu Astungkara
Memahami Law of Attraction: Antara Pikiran dan Realitas
Ilustrasi menyendiri (Pexels/Engin Akyurt)

"Hukum Tarik Menarik," yang lebih dikenal sebagai "Law of Attraction," telah menjadi isu menarik yang hangat diperbincangkan dalam ranah psikologi, filosofi, serta pengembangan seseorang.

Pandangan ini menyatakan bahwa pikiran dan perasaan seseorang memiliki kemampuan untuk membentuk realitas yang mereka alami.

Meskipun tetap menjadi konsep yang memicu perdebatan, banyak yang percaya bahwa "Law of Attraction" mampu memengaruhi cara berpikir seseorang dalam meraih kebahagiaan.

Hukum Tarik Menarik adalah konsep yang populer dalam psikologi, mengungkapkan bahwa pikiran dan perasaan seseorang memiliki daya untuk membentuk realitas dan pengalaman kehidupan.

Teori ini menyatakan bahwa energi positif atau negatif yang dipancarkan melalui pikiran dan perasaan, akan menarik pengalaman yang sejalan dengan energi tersebut.

Dengan kata lain, bila seseorang mengirimkan pikiran positif dan keyakinan bahwa sesuatu mungkin terjadi, energi positif ini akan diterima oleh alam semesta dan mengubahnya menjadi realitas yang nyata.

Walaupun prinsip ini banyak tersebar melalui karya tulis dan layar lebar, seperti yang tampak dalam "The Secret," tak sedikit yang merasa skeptis terhadap "klaim" konsep Law of Attraction ini. 

Asal-Usul Konsep LOA

Sejauh pengetahuan penulis, tidak ada seseorang tertentu yang dianggap sebagai pencetus Hukum Tarik-Menarik. Penulis meyakini bahwa konsep ini telah ada dalam beragam bentuk dan filosofi selama berabad-abad, dengan akar yang dapat ditelusuri hingga pemikiran para filsuf dan guru spiritual dari berbagai disiplin ilmu.

Nyatanya, dalam sejarah filsafat dan spiritualitas terdapat beberapa tokoh yang memiliki pandangan serupa dengan Hukum Tarik-Menarik, seperti Hermetisme atau Filsafat Hermetik.

Asal-usulnya berasal dari legenda Hermes Trismegistus, yang menekankan ide "Seperti di atas, begitu di bawah," menggambarkan hubungan antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia). Ini bisa diartikan sebagai langkah awal dalam pengembangan gagasan hukum tarik-menarik.

Selain itu, dalam gerakan Transendentalisme pada abad ke-19, tokoh-tokoh seperti Ralph Waldo Emerson dan Henry David Thoreau juga memperjuangkan gagasan serupa. Mereka meyakini bahwa pikiran manusia memiliki potensi untuk berinteraksi dengan kekuatan alam semesta.

Ada juga Gerakan Pemikiran Baru yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang mengembangkan ide-ide sejalan dengan Hukum Tarik-Menarik. Gerakan ini meyakini bahwa pikiran positif dapat menghasilkan realitas positif.

Selanjutnya, Gerakan Metafisika juga memiliki pandangan serupa. Tokoh-tokoh seperti Ernest Holmes dan Charles Fillmore mendukung gagasan bahwa pikiran, keyakinan, dan perasaan dapat membentuk realitas.

Begitu pula dalam Filsafat Holistik, beberapa filsuf seperti Aldous Huxley, Carl Jung, dan Alan Watts, juga mengemukakan pandangan tentang hubungan antara pikiran dan realitas dalam konteks spiritual dan psikologis.

Namun, pada 2006, konsep LoA melambung tinggi berkat buku dan film berjudul "The Secret" yang ditulis oleh Rhonda Byrne. Karya ini mengumpulkan pandangan dari berbagai narator dan guru spiritual mengenai bagaimana LoA bekerja dalam kehidupan.

Mekanisme Kerja Hukum Tarik-Menarik

Proses ini terdiri dari tiga langkah: membayangkan, merasakan, dan menerima. Pertama, seseorang harus dengan jelas membayangkan apa yang mereka inginkan, seakan-akan telah berhasil meraihnya.

Setelah itu, merasakan emosi positif terkait dengan pencapaian tersebut, seperti kebahagiaan atau rasa syukur. Langkah terakhir adalah menerima hasilnya tanpa keraguan, sebagai simbol keyakinan bahwa hukum tarik-menarik telah bekerja.

Namun, dalam kenyataannya "Law of Attraction" bukanlah tentang sekadar berharap tanpa bertindak. Itulah sebabnya banyak yang memberikan kritik bahwa konsep ini dapat dianggap sebagai semacam ilusi atau sekadar pemikiran positif tanpa dasar ilmiah.

Sarwo Edhi Ubit, dalam tulisannya yang mengkritik "Law of Attraction," menunjukkan bahwa dalam LoA terdapat konsep "invers" atau hukum tolak-menolak. Dengan kata lain, kesuksesan datang melalui upaya nyata, perencanaan terarah, dan tindakan nyata, bukan hanya sekadar pikiran.

Memang, berdasarkan penelitian di bidang psikologi positif, pikiran optimis dan positif memiliki efek positif pada psychological well-being. Hal ini dapat memicu seseorang merasa lebih termotivasi, mengurangi stres, dan memiliki pandangan hidup yang lebih seimbang.

Meskipun demikian, tampaknya belum ada bukti ilmiah yang benar-benar meyakinkan mengenai pengaruh langsung energi pikiran terhadap realitas atau kemampuan untuk menarik peristiwa tertentu dalam kehidupan.

Hemat saya, bahawa "Law of Attraction" memiliki daya tarik sebagai konsep yang menarik, namun juga cukup kontroversial. Tidak dapat dibantah bahwa banyak yang percaya pada prinsip LoA ini.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih belum ada bukti ilmiah yang memadai mengenai bagaimana mekanisme hukum ini bekerja secara konkret.

Hal yang dapat dipastikan, memelihara pikiran positif, optimisme, dan keyakinan dalam mencapai tujuan tetaplah langkah yang memiliki manfaat dalam menjalani kehidupan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak