Tema lingkungan menjadi sorotan utama dalam cerpen-cerpen Cara Bodoh Menertawakan Tuhan ini. Dikemas dengan sentilan bahasa ironis dan sesekali jelas padat menjadikan ciri khas menuangkan cerita pendek ala Nurillah Achmad. Melalui buku ini Nurillah Achmad mengutarakan kegelisahannya mengenai lingkungan di mana ia tinggal.
Identitas Buku
Judul: Cara Bodoh Menertawakan Tuhan
Penulis: Nurillah Achmad
Penerbit: Inti Karya Aksara
Cetakan: I, September 2020
Tebal: 144 halaman
ISBN: 978-623-94015-1-1
Sinopsis Buku
Membaca cerpen-cerpen ini seperti menemukan potret yang berbeda dari kehidupan perempuan dan cara pikir perempuan yang tumbuh dan hidup di pesantren. Sekali pun masih wagu mengungkapkan pikiran dan kritik dengan berani, karya ini tetap layak untuk dibaca dan direnungkan.
Seorang penulis prosa dan puisi, Kurnia Effendi menilai, ironisme adalah roh pada kumpulan cerpen Nurillah Achmad, yang ditulis dengan mental cukup stabil. Dramatisasinya mengalir seperti gambaran beberapa sungai dalam cerpennya. Kearifan budaya buka hanya lekat tetapi menjadi batang cerita: betapa karibnya sang pengarang dengan kehidupan dalam jangkauan indranya.
Beberapa kisahnya bahkan mengandung realisme-magis, selain memasukkan unsur religiusitas, juga kepercayaan yang mendarah daging pada sebuah wilayah.
Ulasan Buku
Di antara cerpen berbau lingkungan yang diangkat oleh penulis dalam buku ini, bertajuk Pakoh Bumi di Ujung Pertarungan dan Yang Mati Petang Itu. Pada Pakoh Bumi di Ujung Pertarungan, Nurillah Achmad mengungkap bukit di pedesaan yang banyak dikeruk oleh pihak-pihak berkepentingan yang lebih mengutamakan uang daripada menjaga alam.
Bahkan, diceritakan gumuk atau bukit yang merupakan peninggalan bapaknya itu direlakan untuk dikeruk tanahnya meski harus memindah makam Juk Tuah leluhur yang begitu dihormati di desanya. Padahal orang-orang itu tahu gumuk tersebut ditanami bambu, pohon waru dan mahoni. Saat musim hujan, pohon-pohon tersebut yang memecah arah angin sehingga tidak sampai ke pemukiman.
Sementara dalam cerpen Yang Mati Petang Itu mengisahkan tokoh aku yang merupakan seekor ikan yang selalu penasaran terhadap kehidupan di luar rongkang tempat persembunyiannya. Saat ia bercakap dengan udang dan ular di sungai Kali Mrawan, tiba-tiba ia melihat seorang anak yang berebutan sarung mendiang bapaknya dengan sang ibu.
Saat sarung jatuh ke sungai dan hanyut dibawa arus, ular berlari hendak meminggirkan sarung peninggalan itu, namun nahas, ular tersebut justru menerima balasan tak enak. Tubuhnya dilempari batu oleh sang ibu dan si anak. Cerpen ini menyampaikan bahwa tak selamanya maksud dan perbuatan baik juga dibalas baik oleh orang lain.