Ada buku anak-anak yang menyentuh hati karena kisahnya, ada juga yang menggugah karena pesannya. We Are Water Protectors karya Carole Lindstrom ini contohnya.
Buku bergambar ini bukan sekadar bacaan biasa, ia adalah seruan yang puitis dan penuh semangat untuk mencintai dan menjaga air, sang sumber kehidupan.
Cerita We Are Waters Protectors berkisah tentang seorang gadis muda dari masyarakat Amerika Utara.
Ia menceritakan bagaimana air adalah bagian dari siapa kita, sesuatu yang suci dan harus dilindungi. Tapi suatu hari, tiba-tiba datang sebuah ular hitam yang menjadi ancaman terhadap kelestarian air.
Ular hitam disini digambarkan sebagai metafora untuk jalur pipa minyak yang bisa menyebabkan kerusakan tanah dan mencemari kelestarian air.
Dari sanalah, gadis kecil ini mengajak semua orang untuk menjaga air bersama-sama.
Ilustrasinya benar-benar menakjubkan, perpaduan antara nuansa kontemporer dan tradisional yang terasa sangat pas, karena cerita ini memang memiliki akar yang kuat dalam tradisi dan spiritualitas masyarakat Pribumi.
Goresan warnanya lembut namun dinamis, penuh simbolisme budaya dan unsur alam. Warna biru yang mendominasi seperti menghidupkan air sebagai tokoh penting dalam cerita ini.
Setiap halaman seperti lukisan, membawa kita ke alam yang megah, dengan danau-danau, sungai, dan pemandangan langit yang menyatu dalam satu harmoni visual.
Buku ini berhasil memadukan puisi dan aktivisme dalam bentuk yang sangat sederhana, tapi dalam. Kalimat-kalimatnya singkat, ritmis, dan penuh makna. Sangat cocok menjadi dongeng bacaan anak-anak ketika sebelum tidur.
Yang membuat semakin jatuh hati adalah bagaimana Lindstrom menulis dari perspektif yang begitu personal, seakan suara anak ini juga adalah suara kita semua.
Ia tidak menyalahkan, tidak menunjuk jari, tapi mengajak. “Kami berdiri bersama,” katanya, sebuah frasa sederhana yang terasa sangat kuat ketika dibaca di tengah isu lingkungan yang semakin kompleks.
Meski saya pribadi kurang nyaman dengan stereotip ular sebagai sosok jahat, saya menyadari bahwa dalam konteks ini, mungkin saja simbol tersebut berasal dari tradisi Pribumi sendiri. Dan sebagai pembaca luar, rasanya penting untuk menghormati itu.
Secara naratif, buku ini lebih terasa seperti serangkaian aforisme atau mantra ketimbang cerita linear. Tapi justru di situlah letak kekuatannya.
Mungkin sebagian anak-anak belum bisa memahami konteks ceritanya. Namun, bisa memahami inti permasalahan yang disampaikan, bahwa menjaga kelestarian air sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia.
Buku ini juga membuka ruang diskusi tentang ketidakadilan terhadap masyarakat adat, yang seringkali menjadi garda terdepan dalam perjuangan lingkungan.
Tanpa menggurui, We Are Water Protectors menyampaikan isu yang besar lewat sudut pandang seorang anak, dan itulah kekuatannya.
We Are Water Protectors bukan hanya buku cerita, tapi juga ajakan untuk peduli. Meski ditulis untuk anak-anak, pesannya justru terasa lebih mendalam bagi orang dewasa yang sudah terlalu lama hidup jauh dari alam.
Buat para orang tua, pendidik, atau siapa pun yang ingin mengenalkan nilai-nilai keberanian, cinta lingkungan, dan keadilan sejak dini, buku ini adalah pilihan yang sangat tepat. Singkat, indah, dan menyentuh.
Kadang, perubahan bisa dimulai dari satu buku kecil yang mengajarkan kita untuk berkata: "Aku juga seorang penjaga air."
Bukan hanya untuk anak-anak, novel We Are Water Protectors adalah panggilan kemanusiaan untuk kita semua.
Kalau kamu tertarik dengan buku-buku yang punya pesan kuat seperti ini, We Are Water Protectors wajib ada di rak bukumu.