Ekranisasi atau alih wahana udah lama ada di Indonesia, misalnya novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang sempat diangkat jadi serial televisi tahun 1991 silam, juga novel Di Bawah Lindungan Ka'bah yang diadaptasi jadi film di tahun 2011.
Film dan serial yang diadaptasi dari novel juga banyak yang terkenal dan ditonton jutaan orang, tapi pasti ada yang komentar kalau filmnya kurang mirip sama bukunya, akhirnya dia merasa kecewa dan menganggap film itu enggak worth to watch.
Nah, coba kita bahas, apa yang kita harapkan dari sebuah film ekranisasi? Khususnya kalau kita udah baca bukunya duluan.
Kalau ada yang enggak sesuai sama buku atau imajinasi kita pas baca buku, pastinya wajar dong. Jangankan sama film, apa yang kita bayangkan sama apa yang dibayangkan pembaca lain aja udah beda.
Ngomongin soal alih wahananya, ini juga bukan pekerjaan yang gampang. Aku sendiri pernah dikasih tugas kuliah buat mempraktekkan teks drama dan itu enggak semudah yang aku kira sebelumnya.
Misalnya, dialog yang ada di buku pastinya enggak semua bakal ditampilkan di film, otomatis harus ada proses yang panjang buat nyusun naskah filmnya biar pas.
Begitu pun sama aktor dan aktris yang memerankan tokoh, mungkin ada yang bilang karakter Minke yang ada di novel Bumi Manusia enggak bisa di representasikan dengan Iqbaal Ramadhan, begitu pun karakter Dasiyah di serial Gadis Kretek.
Casting aktor/aktris yang karakter dan fisiknya sama kayak tokoh yang ada di buku pastinya enggak gampang juga, kalaupun ada mungkin kemampuan aktingnya enggak seprofesional aktor yang jam terbangnya sudah tinggi.
Itulah kenapa ada film adaptasi novel yang mungkin kurang masuk sama apa yang kamu bayangkan, aku sendiri juga pernah merasa kurang cocok sama jalan cerita sebuah film ekranisasi. Tapi, bukan berarti filmnya turun kasta.
So, kalau film adaptasi novel yang kamu tonton kurang sesuai sama bayangan kamu pas baca buku, tolong tetap respect dan enggak semata-mata bilang kalau film itu enggak layak ditonton, ya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.