Pernah nggak sih kamu bertanya-tanya begitu bagaimana pengetahuan itu bisa dibentuk, diakui, kemudian dipercaya oleh khalayak publik? Pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Pasalnya, dari sebuah pengetahuan itu, menghasilkan berbagai tindakan kita dalam kehidupan sosial.
Misalnya nih pas waktu pandemi kemarin. Kenapa kita begitu mempercayai bahkan melakukan karantina? Sebenarnya bagaimana pengetahuan tentang karantina ini dibentuk, diakui kemudian dipercayai oleh publik? Apakah itu semua terjadi begitu saja? Begitupun dengan pengetahuan tentang demokrasi, kenapa kita kok percaya banget dengan demokrasi, siapa yang membentuk dan bagaimana itu semua menjadi seolah-olah baik untuk dilakukan.
Nah, persoalan pengetahuan ini lah yang kemudian coba dijelaskan secara komperhensif oleh seorang pakar sosiologi pengetahuan dari Austria-Amerika, Peter Ludwig Berger melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966). Sebuah buku yang ditulis oleh sejawat karibnya, Thomas Luckmann.
Buku yang diterjemahkan oleh Hasan Basari pada 1990 dengan judul “Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan” ini sukses menjadi buku yang diminati oleh banyak masyarakat, akademisi, bahkan mahasiswa. Setidaknya buku ini sudah mencapai cetakan yang kesebalas pada 2018 lalu oleh penerbit yang berkediaman di Jakarta, yakni LP3ES.
Secara utuh, buku yang berjumlah 256 halaman ini berisi tiga bab, yang merepresentasikan masing-masing konsep inti dalam pemikiran Peter L. Berger tentang konstruksi sosial, yakni eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Dan, di setiap bab itu, Berger menuangkan idenya secara terperinci tentang teori yang dikemukakannya.
Untuk bab pertama yang diberi judul “Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari” merepresentasikan konsep pertamanya yakni eksternalisasi. Melalui bab itu, Berger hendak mengatakan bahwa berbagai pengetahuan yang berkeliaran yang diakui di masyarakat itu berawal dari subjek, individu, dalam kehidupan sehari-hari, yang dieksternalisasikan. Jadi, pengetahuan itu berawal dari satu orang yang kemudian diungkapkan ke khalayak publik.
Nah, sebelum diakui kepada khalayak publik, pengetahuian ini perlu mengalami objektivasi. Pembahasan ini dituangkan dengan rapi oleh Berger di bab dua yang diberinya judul “Masyarakat sebagai Kenyataan Objektif.” Di sini, Berger mengungkapkan bahwa pengetahuan dari subjek individu itu perlu mengalami legitimasi, pengesahan, agar diakui oleh masyarakat. Nah, legitimasi sendiri oleh Berger dijelaskan secara bertingkat dari yang paling rendah hingga legitimasi paling tinggi seperti agama, negara, atau sains.
Ketika pengetahuan itu telah dilegitimasi, barulah pengetahuan itu diinternalisasikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, pengetahuan itu dikonsumsi masyarakat menjadi sebuah pedoman untuk bertindak. Pembahasan ini sangat komperhensif dijelaskan Berger di bab tiga dengan judul “Masyarakat sebagai Kenyataan Subjektif”. Internalisasi ini sendiri berlangsung melalui apa yang disebut Berger sebagai Sosialisasi, baik yang primer seperti keluarga maupun sekunder melalui tokoh yang berpengaruh seperti guru.
Buku Berger ini secara tidak langsung mengajak pembaca untuk lebih reflektif memahami kehidupan sosial kita. Bahwa apa yang terjadi di sekitar kita itu tidak berjalan begitu saja, melainkan terdapat pola tertentu yang berlangsung secara dialektis.
Seperti karantina tadi yang awalnya dikemukakan oleh satu orang yakni Ibnu Sina. Namun, untuk menjadi sebuah pengetahuan yang dianut oleh banyak orang, pengetahuan tentang karantina harus dilegitimasi oleh institusi di masyarakat, misal oleh Rumah Sakit, Lembaga Riset, Negara, bahkan bisa dengan legitimasi Agama. Barulah kemudian karantina dianut, dikonsumsi bahkan dilakukan oleh khalayak publik.
Namun, meskipun begitu tampak komperhensif dan kokoh, buku karya seorang Sosiolog terkemuka di Amerika ini bukan berarti memiliki titik kelemahan. Salah satunya yakni karena buku ini ditulis sudah cukup lama, walhasil dalam beberapa kondisi buku ini tak mampu menjelaskan bagaimana pengetahuan berkeliaran di media sosial.
Bahwa dalam internalisasi pengetahuan di media sosial yang serba cepat, terkadang seseorang tak menunggu legitimasi dari otoritas yang terpercaya, melainkan mereka langsung mengkonsumsi pengetahuan begitu saja tanpa mengecek kebenaran suatu pengetahuan. Sehingga prosesnya tidak dialektis, melainkan dari eksternalisasi kemudian langsung internalisasi, tanpa legitimasi pengetahuan.