Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri, “Siapakah identitas saya sebenarnya? Dan dari mana asal-usul identitas tersebut?” Jika berbicara terkait identitas, banyak sekali perdebatan yang sering terjadi dalam ‘mengesahkan’ keberadaan suatu identitas seseorang.
Budaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberadaan identitas seseorang. Perkembangan budaya manusia telah menciptakan diversitas identitas yang luas dan beragam, termasuk salah satunya, tren fesyen dan gender, dua aspek identitas yang seringkali saling terkait dan menjadi topik perdebatan masyarakat.
Secara umum, Identitas manusia melekat berdasarkan konstruksi sosial ataupun klaim pribadi dari individu tersebut. Oleh karena itu, percakapan lintas budaya seringkali menjadi hal yang kontroversial bagi sebagian kelompok masyarakat.
Dalam beberapa situasi, perbedaan pandangan mengenai identitas seorang individu berpotensi menimbulkan tindakan diskriminasi dan perundungan (bully), sebagai hasil dari stigma negatif terhadap identitas individu tersebut.
Ekspektasi sosial dalam memandang identitas suatu individu cenderung memberikan batasan berupa pengkategorisasian. Pengkategorian sosial ini dapat dianalogikan sebagai label yang diberikan masyarakat kepada individu terkait bagaimana identitas meraka yang seharusnya.
Fenomena pelabelan suatu individu berdasarkan ekspetasi sosial disebut dengan stereotip. Stereotip dapat memiliki dampak baik positif maupun negatif, meskipun begitu kita cenderung lebih sering merasakan dampak negatifnya. Salah satu contoh dampak negatif dari stereotip adalah stigma.
Kisah si Bagus: “Apa yang Salah dengan Gaya Berpakaian Ghibli?”
Seorang mahasiswa bernama Bagus menceritakan pengalamannya sebagai seseorang yang pernah mengalami tindakan perundungan akibat stigma biner yang diberikan oleh lingkungan sosialnya. Sejak kecil, Bagus memang sudah terlahir dengan perawakannya yang mungil dan menggemaskan.
Tidak seperti anak laki-laki pada umumnya yang biasanya berbadan kekar dan berkarisma seperti singa, Bagus justru memiliki pesona yang lucu, mirip dengan seekor kucing. Hal ini seringkali membuat Bagus merasa tidak nyaman saat mengenakan pakaian dengan gaya yang sangat maskulin, seperti pakaian berwarna netral (cenderung berwarna gelap), atau pakaian ketat yang dirancang untuk menonjolkan bentuk tubuh.
Bagus merasa lebih nyaman ketika menggunakan pakaian yang longgar dan berwarna cerah, layaknya karakter-karakter pria di serial animasi Studio Ghibli. Selain karena kenyamanan, Bagus juga adalah penggemar setia serial animasi Studio Ghibli.
Cara dia berpakaian adalah cara dia mengekspresikan identitasnya melalui fesyen kesukaannya. Bagus merasa bahwa desain pakaian yang penuh warna dengan berbagai motif dan atribut unik ini, benar-benar menjadi karakteristik yang dia sukai dari fesyen "cowok Ghibli."
Bagus, yang berpakaian tidak seperti anak laki-laki pada umumnya terlebih dengan perawakannya yang mungil, seringkali menarik perhatian. Beberapa orang memuji fesyennya, namun beberapa orang juga menghina bahkan merundungnya.
Teman-teman yang merundung Bagus seringkali menggunakan stigma biner untuk mengucilkan Bagus dari lingkungan sosialnya. Bagus, yang memiliki stigma biner, mengalami kesulitan untuk berteman dengan anak laki-laki lainnya. Sehingga, kebanyakan temannya adalah anak perempuan, meskipun jumlahnya pun kurang dari hitungan jari.
Kebiasaan Bagus berteman dengan anak perempuan justru memperparah stigma yang ada padanya. Perundungan yang ia alami, seperti mencoret buku Bagus, menyebarkan hinaan dengan sebutan ‘Bagus si cowo biner’, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya, sudah menjadi hal biasa hingga ia merasa bosan dan mati rasa. Meski demikian, Bagus masih sering bertanya-tanya mengapa stigma dan perundungan itu bisa menimpanya, meskipun semua stigma tersebut hanyalah fitnah belaka.
"Apa yang salah dengan gaya berpakaian Ghibli?" tanya Bagus kepada kita semua (15/12/2023).
Popularitas Studio Ghibli sebagai Tren: Fesyen “Cowok Ghibli”
Studio Ghibli merupakan salah satu perusahan animasi Jepang terpopuler di dunia yang berdiri sejak tahun 1985 di Koganei, Tokyo. Keunikan Studio Ghibli dalam membawakan cerita yang imajinatif dan emosional membuat penonton dapat merasakan sentuhan langsung dengan cerita yang digambarkan dalam serial-serialnya. Kepopuleran dan keunikannya inilah yang membuat beberapa kalangan masyarakat suka meniru hal-hal didalam serialnya.
"Cowok Ghibli" adalah salah satu bentuk realisasi kecintaan orang-orang terhadap serial Studio Ghibli. Karakter laki-laki dalam Studio Ghibli biasanya digambarkan dengan aura positif dan menjadi idaman bagi banyak orang. Salah satu contoh karakter laki-lakinya yang terkenal, yaitu Haku (Spirited Away), Jiro Horikoshi (The Wind Rises), Howl Jenkins Pendragon (Howl's Moving Castle), inilah asal mula istilah "cowok Ghibli".
Seiring dengan popularitasnya, istilah "cowo Ghibli" mulai berkembang menjadi tren fesyen di berbagai belahan dunia. Meskipun tren fesyen "cowo Ghibli" ini populer, seringkali menimbulkan perdebatan pro dan kontra karena dianggap kurang maskulin dan terlalu feminis untuk seorang pria. Oleh karena itu, tren fesyen ini seringkali diindikasikan sebagai biner (memiliki dua gender), yang tentunya tidak semua orang mau menerimanya.
Budaya dan Identitas ‘Negosiasi yang Dinamis' : Gender dan Fesyen
Menurut konsep komunikasi lintas budaya, budaya merupakan suatu hal kompleks yang sulit untuk didefinisikan. Definisi dari budaya dapat mempengaruhi interpretasi orang terhadap suatu identitas. Oleh karena itu, budaya dan identitas merupakan suatu negosiasi yang dinamis yang berarti dalam memahami budaya sebagai identitas kita harus mampu berkompromi dengan perbedaan-perbedaan kepercayaan yang ada.
Dalam memahami identitas budaya yang bersifat negosiatif dan dinamis, Kluckhohn menggunakan identifikasi berdasarkan nilai-nilai orientasi yang terdiri dari lima aspek, yaitu hakikat hidup, hakikat karya/kerja, ruang lingkup waktu, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Salah satu aspek orientasi nilai budaya, ruang lingkup waktu, menjelaskan bahwa ada manusia yang hidup di masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Perbedaan perspektif waktu menjadi salah satu faktor yang menentukan penerimaan atau penolakan terhadap tren baru, dalam hal ini, tren fesyen dan gender. Globalisasi telah memperbarui semua aspek budaya dan identitas kita, baik sebagai individu maupun kelompok. Hal ini dapat terjadi melalui percampuran budaya atau kelahiran budaya baru sebagai hasil dari adaptasi manusia modern.
Sebagai contoh, dalam fesyen berdasarkan gender, kita biasanya menganggap bahwa laki-laki harus berpakaian maskulin dan perempuan harus berpakaian feminim. Namun, sekarang dengan perkembangan industri busana, gender bukan lagi menjadi batasan bagi seorang laki-laki atau perempuan dalam menentukan pilihan busananya, baik itu maskulin maupun feminim.
Dalam konteks fesyen, konsep gender telah mengalami perubahan signifikan seiring waktu. Dahulu, ada asumsi umum bahwa laki-laki harus berpakaian dengan cara yang maskulin, sementara perempuan harus berpakaian dengan cara yang feminim. Namun, dengan perkembangan industri busana dan pergeseran dalam pemahaman gender, batasan ini mulai memudar.
Sekarang, gender tidak lagi menjadi faktor penentu dalam menentukan bagaimana seseorang harus berpakaian. Laki-laki dan perempuan kini memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka melalui pakaian, baik itu dengan cara yang dianggap maskulin, feminim, atau kombinasi keduanya.
Ini mencerminkan pergeseran budaya yang lebih luas menuju pemahaman gender yang lebih inklusif dan fleksibel. Dalam masyarakat modern, identitas gender diakui sebagai sesuatu yang bersifat fluid dan personal, bukan sesuatu yang ditentukan oleh norma sosial atau biologis.
Oleh karena itu, cara seseorang berpakaian sekarang lebih mencerminkan ekspresi pribadi mereka daripada stereotip gender tradisional. Ini mencerminkan bagaimana pemahaman kita tentang gender telah berkembang dan menjadi lebih kompleks seiring waktu.
Mari Bertukar Pikiran! Identitas berdasarkan Konstruksi Sosial atau Klaim Pribadi yang Lebih ‘Sah’?
Pandangan bahwa identitas adalah hasil dari konstruksi sosial, yang berarti bahwa identitas seseorang dibentuk oleh norma, nilai, dan harapan masyarakat. Dalam konteks ini, identitas seseorang sering kali ditentukan oleh faktor eksternal seperti budaya, tradisi, dan lingkungan sosial.
Di sisi lain, ada pandangan bahwa identitas adalah klaim pribadi dan lebih ‘sah’ jika ditentukan oleh individu itu sendiri. Dalam pandangan ini, identitas seseorang adalah hasil dari pengalaman pribadi, pemikiran, dan perasaan mereka. Identitas ini mungkin tidak selalu sejalan dengan norma atau harapan masyarakat, tetapi dianggap ‘sah’ karena mencerminkan kebenaran pribadi individu tersebut.
Kedua pandangan tersebut tidak ada yang salah, setiap individu berhak memilih apakah identitasnya ditentukan oleh konstruksi sosial atau oleh dirinya sendiri. Dengan adanya hak kebebasan berekspresi, identitas seseorang seharusnya tidak lagi dibatasi oleh konstruksi sosial, selama identitas tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan benar dan tidak merugikan orang lain. Meskipun memiliki orientasi budaya yang berbeda dengan seseorang, kita harus tetap menghormati identitas orang tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab kita untuk mencapai keadilan hak asasi manusia.
Disclaimer: Tokoh Bagus merupakan nama rekayasa dari tokoh asli yang bercerita terkait pengalamannya ini. Nama "Bagus" dipilih tanpa adanya maksud tertentu yang mungkin dapat menyinggung perasaan orang lain, pemilihan nama ini hanya berdasarkan imajinasi dari penulis. Selain itu, cerita ini telah mendapatkan izin dan tinjauan oleh pemilik asli cerita, sehingga tidak ada pelanggaran hak privasi dalam publikasi artikel.