Kata-kata merupakan alat komunikasi yang biasa dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Lewat kata-kata, antara manusia yang satu dengan lainnya akan dapat saling terhubung. Saling berusaha memahami pemikiran, pendapat, dan keinginan, sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Hal yang penting digarisbawahi bahwa dalam bertutur kata, kita harus berupaya mengedepankan etika, adab, atau budi pekerti yang baik. Kata-kata yang buruk dan menyakitkan, tentunya akan mencerminkan sifat orang tersebut. Sebaliknya, orang yang berbudi pekerti baik, biasanya akan berusaha memilih kata-kata yang baik dan santun ketika berkomunikasi dengan siapa pun.
Namun realitas memaparkan bahwa banyak orang yang tak mampu mengendalikan kata-kata yang terucap lewat mulut mereka. Ucapan seperti sumpah serapah, caci-maki, kerap terdengar atau ditulis oleh mereka yang sedang, misalnya, mengalami persoalan dalam hidupnya.
Padahal, setiap kata itu memiliki dampak atau pengaruh bagi yang mengucapkannya. Bila kata-kata yang keluar dari mulut kita baik, maka kata-kata tersebut akan berdampak baik untuk diri kita dan orang lain. Sebaliknya, kata-kata buruk yang keluar dari mulut kita akan menimbulkan dampak buruk bagi kita dan bahkan orang-orang di sekitar kita.
Ada sebuah pertanyaan menarik yang saya baca dalam buku ‘The Power of Negative Words’ (Bertumbuh dari Kekuatan Kata-Kata Negatif) karya Edi Susanto. Apa yang harus dilakukan jika kita tidak mampu membentengi diri dari serbuan kata-kata negatif dan dampak buruknya? Jawabannya, kita harus pandai mendaur ulang kata-kata negatif tersebut menjadi kata-kata positif yang berdampak baik bagi hidup kita.
Bisa disimpulkan bahwa kita dapat mengambil makna atau hikmah dari ucapan orang lain yang buruk. Dalam buku ini dijelaskan bahwa kata-kata mampu menciptakan pola pikir. Kata-kata positif membentuk pola pikir yang baik, sedangkan kata-kata negatif menghambat pola pikir untuk maju.
Kata-kata yang buruk biasanya keluar dari mulut seseorang ketika sedang mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Padahal, bila kita berusaha merenungi diri, tak perlu kita mengucap kata-kata buruk. Yang lebih penting adalah berusaha introspeksi atau memperbaiki diri.
Pribadi yang berkualitas akan segera melakukan evaluasi dan memperbaiki diri saat dilanda kekalahan dalam beragam wajah: kalah bersaing, rugi, bangkrut bisnisnya, atau bercerai dari pasangannya. Mereka membaca pesan Tuhan yang dikirim melalui utusan bernama kekalahan. Pesan itu adalah “perbaiki diri Anda”. Kekalahan adalah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi diri (hlm. 156).
Buku karya Edi Susanto yang diterbitkan oleh Metagraf (Solo) ini tepat dijadikan sebagai bacaan yang akan memotivasi pembaca agar berusaha menjadi pribadi lebih baik. Pribadi yang berusaha menjaga ucapannya dan tidak gegabah melakukan hal-hal negatif.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS