Novel Lie, Jangan Bilang Aku Cina adalah novel tentang peristiwa kemanusiaan yang ditulis oleh S. Satya Dharma dan dipersembahkan untuk mengenang Lou Yun Hap, mahasiswa Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia yang tewas tertembak dalam demonstrasi mahasiswa di depan kampus Universitas Atmajaya, 24 September 1999.
Novel terbitan Titik Terang, Maret 2000 ini, berkisah tentang sepasang suami istri, Dipo dan Lie Shin Hwa, yang suatu hari terjebak di situasi chaos akibat demo mahasiswa, saat baru keluar dari kantor seorang pengacara tempat Lie melakukan wawancara agar bisa kerja magang di sana untuk menyelesaikan skripsinya.
Dalam peristiwa itu seorang mahasiswa tewas tertembak. Hal yang baru Dipo dan Lie ketahui keesokan harinya dari berita yang disiarkan di stasiun radio swasta. Sesuatu yang mengguncang Lie karena mahasiswa yang tertembak tersebut beretnis sama dengan dirinya, Cina.
Lie berang atas kematian Lou Yun Hap, mahasiswa yang tertembak. Bagi Lie kemanusiaan telah diluluhlantakkan dengan kejadian tersebut. Lie tak melihat keadilan ditegakkan. Namun, Dipo justru merasa Lie seharusnya bisa menyederhanakan persoalan yang terjadi. Hal yang membuat Lie memuntahkan kemarahannya pada Dipo.
“Tak ada penyederhanaan untuk persoalan yang memang tidak sederhana. Aku mahasiswa hukum, Po. Lagi pula, bukankah kita ingin menjadi kita sekaligus menjadi yang lain?” (hlm 11)
“Makanya, sebagai wartawan kau jangan menelan begitu saja apa yang keluar dari mulut penguasa. Jika yang tertelan adalah bau busuk kentut mereka, maka seluruh tubuh kaupun akan ikut menjadi busuk.” (hlm 11)
Lie mengalami masa-masa remaja yang buruk karena beretnis Cina sebagai bagian dari masyarakat minoritas. Karena itu ia menjadi sensitif atas hal-hal tak manusiawi yang dialami orang-orang beretnis sama seperti dirinya. Seperti yang terjadi pada Lou Yun Hap.
Menggunakan alur maju, novel ini menceritakan perjuangan Dipo dan Lie dalam menjalani kerasnya hidup di Jakarta. Tinggal di kontrakan sempit bersama balita mereka, Nanda, dengan mengandalkan gaji kecil dari pekerjaan Dipo yang seorang wartawan.
Namun sebagai wartawan, Dipo yang idealis lebih sering mengeluh atas kebijakan tempatnya bekerja, yang menuntut tanggung jawab yang besar pada para karyawannya, tapi tak sebanding dengan hasil yang diperoleh.
Di sisi lain, Lie yang bermaksud bekerja untuk membantu perekonomian keluarga malah dianggap Dipo merendahkan harga dirinya sebagai kepala keluarga. Alih-alih mencari pekerjaan lain, yang bagi Dipo tak ada pekerjaan lain yang ia kuasai, lelaki itu malah ingin pergi ke Aceh untuk menenangkan diri.
Membaca novel ini saya sangat sebal dengan karakter Dipo yang sering mengeluh, idealis, egois, berpikiran picik dengan keinginan Lie untuk bekerja, dan kekanak-kanakan dengan ‘mengharuskan’ pergi ke kota lain, jauh dari Jakarta, hanya untuk menenangkan diri walaupun untuk keberangkatannya harus berutang sana-sini.
Saya jauh lebih menyukai karakter Lie yang kuat. Perempuan muda yang cerdas, bisa mengambil sikap, berani memperjuangkan cinta dan cita-cita, serta menjaga dan merawat keluarga kecilnya dengan baik.
Lie bahkan rela dibuang dari keluarga karena ingin menikah dengan Dipo dan berpindah agama mengikuti keyakinan suaminya. Semua pengorbanan Lie jadi seperti tidak ada artinya dengan Dipo yang bersikap lemah meskipun keduanya amat sangat saling mencintai.
Lie menunjukkan nilai-nilai kepatuhannya sebagai seorang istri tapi juga mengajarkan nilai-nilai perempuan yang berani untuk mengutarakan hal-hal yang ia yakini.
Ending cerita sangat tak terduga dengan sesuatu hal yang terjadi pada Lie. Saya sebagai pembaca jadi berpikir, lah kok gitu? Saya menganggap ending-nya terlalu dipaksakan hanya demi menyudahi cerita.
Meskipun ada rasa tidak puas saat membaca novel terbitan lama ini, tapi saya sangat mengapresiasi keinginan dari sang penulis yang sekaligus seorang wartawan, yang menulis novel ini sebagai “Tribute to Lou Yun Hap”.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS