Menghargai Hidup Melalui Kisah Gadis Albino dalam Novel 'White Wedding'

Sekar Anindyah Lamase | Rie Kusuma
Menghargai Hidup Melalui Kisah Gadis Albino dalam Novel 'White Wedding'
Cover novel White Wedding (Dok. Goodreads)

White Wedding merupakan novel ke-4 karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang sudah saya tuntaskan, setelah sebelumnya saya membaca, Di Tanah Lada, Semua Ikan di Langit, dan Jakarta Sebelum Pagi.

Novel terbitan dari Pastel Books (2015) ini merupakan seri dari ‘In the Name of Color’. Novel White Wedding berkisah tentang seorang gadis berusia sebelas tahun bernama Elphira yang memiliki kelainan pada kulit.

Elphira, albino. Sejak lahir dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya putih. Kulit tubuhnya putih. Sebuah kondisi yang tak bisa diterima sang mama dan mengganggu kejiwaannya sampai harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa.

Elphira lalu dibesarkan oleh nenek dan papanya. Sang Papa yang sejak Elphira dilahirkan ternyata didiagnosis mengidap kanker darah alias leukemia. Satu hal yang membuat gadis kecil itu membenci warna putih.

Ya, Elphira benci warna putih. Seperti sel darah putih yang membuat papanya sakit. Seperti dirinya yang albino dan membuat mama histeris setiap kali melihatnya, sampai harus dirawat bertahun-tahun sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke rumah.

Sampai Sierra datang. Lelaki berambut merah yang mengajarkan Elphira untuk mencintai warna putih. Lelaki yang menjadi guru privatnya, karena ia tak bisa bersekolah dengan keadaan dirinya yang serupa hantu dan tak bisa terkena sinar matahari.

Bersama Sierra, Elphira menemukan makna lain dari warna putih yang tak melulu buruk. Sierra juga meyakinkan Elphira untuk menjalin kembali kedekatan dengan sang mama yang terputus. Sierra yang menyimpan banyak rahasia, yang satu demi satu akhirnya rela ia ungkapkan demi Elphira.

Ziggy selalu berhasil menampilkan premis menarik dan karakter-karakter yang unik dalam setiap novelnya. Seperti dalam novel White Wedding yang karakter utamanya Elphira, seorang anak kecil, albino, tapi memiliki gaya bahasa layaknya orang dewasa. Sekilas mengingatkan saya pada Suki, tokoh anak di novel Jakarta Sebelum Pagi.

Saya menyukai karakter Elphira, yang rapuh sekaligus kuat, cengeng tapi ia memang punya banyak alasan untuk semua bersedih. Dan, ketegarannya dalam menghadapi hidup yang tak mudah untuk anak seusianya.

Saya juga menyukai karakter Sierra. Di halaman-halaman awal saya sempat menduga kalau tokoh Sierra ini perempuan karena namanya. Tapi, ternyata lelaki, dan ia digambarkan serba tahu banyak hal yang membuat saya sangat menikmati setiap dialog yang terjalin antara Sierra dan Elphira yang penuh akan pengetahuan.

Meski konflik ceritanya sederhana, tapi penyajiannya sangat berbobot. Dalam novel ini kita akan belajar banyak tentang sains, filsafat, biologi, astronomi, musik, jenis-jenis warna putih, malaikat dan konsep ketuhanan. Ini menunjukkan penulis melakukan banyak riset atau memang pengetahuan sang penulis sendiri sangat luas.

Novel White Wedding dengan gaya bahasanya yang ringan, mudah dicerna, dan bisa diselesaikan dalam sekali duduk, saya pastikan akan memikat hati pembacanya. Sekaligus membuat kita akan lebih menyayangi keluarga dan menghargai hidup yang kita punya.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak